Beberapa menit kemudian Rania mendesah lelah--pandangan itu terus tertuju pada sosok Dion yang sudah melangkah pergi, pria itu kian menjauh dari pandangannya. Dadanya berdenyut nyeri--saat ingatan itu kembali terhantar pada Devan yang memberi pelajaran pada Dion."Kasian-Dion. Padahal selama ini dia tidak melakukan hal yang buruk padaku," gumam Rania dalam hati, dia merasa ibah pada Dion atas apa yang terjadi pada pria itu tadi."Mau sampai kapan kau terus memandangnya?! Dia itu hanya seorang pria brengsek!"Nada kasar--bercampur cemburu yang mendengung ditelinganya memaksakan Rania untuk berbalik. Suara Devan cukup menyakiti gendang telinganya."Kau--sudah sangat keterlaluan, Dev! Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada Dion?!" cecar Rania, pandangan Rania telah berubah tajam--ada kemarahan yang nyata di sana."Dia memang pantas mendapatkannya!" sahut Devan acuh, dan kata-kata yang Devan lontarkan membuat Rania hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya-sebab tak terlihat s
Begitu dalam dia memandangnya-kedua mata Devan perlahan tertuju pada bibir merah jambu Rania. Lama menatap membuatnya bergairah, Devan merasa ingin. Dengan gerakan yang ragu pria itu membawa bibirnya-Devan ingin mencium bibir istrinya. Namun, baru saja akan menyentuh jari telunjuk Rania mendarat dipermukaan mulut, dan mendorongnya pelan. Dan apa yang Rania lakukan menimbulkan kekecewaan di wajah Devan, pria itu nampak marah. "Kenapa, Rania?! Aku ini suami-mu!" ujar Devan yang terdengar seperti sebuah protes, kekecewaan semakin nyata terlihat di wajahnya. "Aku tidak tinggal ditempat ini sendirian. Disamping kanan dan kiri kamar ini ada penghuninya. Apakah, kau mau mereka melihat apa yang kita lakukan?!" cecar Rania. Air muka Rania telah berubah masam, kelopak matanya memicing dan tajam--Rania benar-benar kesal dengan suaminya dan hal itu membuat Devan terkekeh--pria itu seperti baru disadarkan oleh keadaan. "Aku akan menutup pintunya!" ujar Devan dengan penuh semangat. Jujur, dia ing
Setelah memastikan kepulangan Dion--Deni kembali ke kos milik Rania. Kos yang ditempati wanita itu beberapa meter dari bibir jalan utama, dan tentunya Deni harus berjalan kaki agar dapat kembali tiba ditempat yang menjadi tujuannya. Sepanjang perjalanannya wajah Deni nampak tak biasa. Terlihat menegang, juga ada kilatan api yang membakar pada sepasang irish hitam pria itu. Bukan tanpa alasan mimik wajah Deni nampak tidak bersahabat, perkataan dari Dion tadi-terus saja terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Emosi yang sudah hampir meredup, kembali membakar. Untung saja Dion tidak berada di depannya kalau tidak! Mungkin Deni sudah memberikannya bogeman berkali-kali yang membuat Dion berpikir dua kali untuk melakukan rencananya. Tinggal beberapa meter lagi Deni tiba di kos milik Rania. Namun, tiba-tiba Deni memperlambat langkah kakinya saat mendapati pintu kamar yang berada dalam kondisi tertutup. "Pintu kamarnya terkunci? Ke mana Tuan, dan Nyonya Rania?" gumam Deni bertanya-tanya,
"Dia memang menghubungi saya--Tuan. Seperti yang sudah kita atur--kalau perginya anda dari perusahaan dalam rangka pekerjaan, karena ada pertemuan di luar kota dan Tuan besar mempercayainya." Usai perbincangan singkat itu suasana hening kembali menyelimuti di dalam mobil. Devan kembali diam, seolah tak ada yang perlu dia katakan lagi. Menolehkan wajahnya ke arah jendela, Devan menurunkan sedikit kaca jendela. Suasana kota J--dengan hembusan angin yang menerpa dipermukaan wajah mampu membuat kegamangan di hati sedikit berkurang. Ntah apa yang ada di dalam lamunan Devan saat ini, namun sepertinya pikiran pria itu tengah berkelana begitu jauh. Tiba-tiba terdengar hembusan napas yang lolos dari mulut Devan--seperti ada sesuatu yang begitu mengusiknya. Kembali tenggelam dalam lamunannya, bahkan Devan mengabaikan Deni yang diam-diam memperhatikannya. Namun, sejenak mimik wajah Devan berubah saat pikiran pria itu terhantar pada sesuatu hal. "Kau, tadi memberikan uang pada Rania'kan?!" Suar
Devan mendesahkan napasnya berat--wajah tampan pria itu telah berubah keruh--mengetahui sang kakek yang saat ini berada di perusahaan membuat moodnya benar-benar buruk, "Kalau bukan karena memikirkan dia yang sudah merawatku sejak kepergian Papa dan Mama, mungkin aku tidak sudi mengenalnya sebagai kakek'ku, lagi!" gerutu Devan dalam hati, dia benar-benar muak dengan kakeknya itu. Moodnya yang sedang tidak bagus--membuat Devan enggan untuk berbicara. Pria itu kini nampak tenggelam dalam dunianya sendiri, mengabaikan Deni yang kini tengah bersamanya. Dan, apa yang terjadi pada Devan--menarik perhatian sang anak buah yang diam-diam memperhatikan gelagat Tuannya dari kaca spion dalam mobil. "Tuan besar yang memaksanya berpisah dengan Nona Rania--membuatnya seperti malas untuk bertemu dengan kakeknya. Di rumah saja Tuan Devan selalu tidak sudi melihat wajah Tuan Darma kalau bukan karena sesuatu hal yang memaksa," gumam Deni dalam hati, yang sesekali masih melirik pada kaca spion dalam mob
"Seperti yang kau tahu, kalau Sarah memiliki usaha toko perhiasan, dan perhiasan yang dia dagangkan banyak dipakai oleh kalangan atas, maupun artis-artis tanah air dan harganya cukup terjangkau. Dan, kebetulan kita akan meluncurkan sebuah produk baru-Kakek ingin model yang mempromosikan produk baru kita memakai perhiasan, dari toko perhiasan milik Sarah," jelas kakek Darma, dan Devan yang mendengarkan penjelasan kakek Darma hanya bisa mendesahkan napasnya berat. Dadanya bergemuruh dengan hebat. Devan bergeming-mimik wajah pria itu sangat sulit dijabarkan saat ini. Begitu membenci Sarah--wanita yang sudah menorehkan luka begitu dalam untuknya. Namun, dengan menjalin kerja sama dengan wanita itu tentunya mereka akan sering bertemu, dan menghabiskan waktu bersama. "Aku begitu membencinya--namun, bagaimana pun aku harus tetap berprofesional dalam bekerja," gumam Devan dalam hati, pria itu mengusap wajahnya kasar--Devan nampak frustasi. Tak sengaja melemparkan pandangannya pada sembara
Bulan dan bintang telah bersinar terang di atas sana. Cahaya nya yang menyilaukan mampu menciptakan keindahan pada langit yang kini sudah berubah gelap. Duduk di atas ranjang-sembari memeluk kedua kakinya dengan erat--dan wajah yang dia timpahkan di atasnya. Pikiran Rania saat ini tengah berkelana begitu jauh--wanita yang akan menginjak usia 26 tahun itu saat ini tengah memikirkan rumah tangganya dan Devan, yang tak seperti rumah tangga yang dijalani pasangan suami-istri lainnya. Sejenak, Rania kembali mengingat kedatangan kakek Darma waktu itu. "Bagaimana reaksi Darma Wijaya, saat mengetahui kalau aku ternyata tidak mendengarkan peringatannya, dia pasti akan sangat marah besar," gumam Rania dengan lirih, awan hitam semakin menyelimuti wanita berlesung pipi itu. Larut dalam apa yang menjadi beban pikirannya, membuat Rania semakin tenggelam dalam dunianya sendiri, dan itu membawanya kembali mengigat kata-kata kakek Darma saat laki-laki tua itu mendatangi kos-nya yang lama. "Kamu tida
"Mungkin karena terjadinya pernikahan anda dan Tuan Devan, membuatnya malu mengakuinya. Namun, saya begitu yakin--kalau Tuan Devan begitu mencintai anda, Nona. Bahkan dia masih berani menjalin hubungan dengan anda, padahal Tuan besar sudah mengancam, bahkan sampai memaksa anda dan Tuan Devan untuk berpisah, jadi saya mohon--tolong, jangan biarkan Tuan Devan berjuang sendiri di sini. Dia pernah kehilangan orang-orang yang dia cintai, termasuk Sarah yang pergi dari hidupnya--saat Tuan Devan sudah menaruh harapan besar padanya. Jadi, saya mohon jangan buat Tuan Devan merasakan kehilangan lagi," jelas Deni, nada suaranya penuh harap, dia menatap Rania dengan memohon, dan permintaan pria itu mampu membuat tubuh Rania meremang. Beberapa jam kemudianBumi kian diselimuti kesunyian, bintang-bintang kecil yang memancarkan kemilaunya pada langit gelap kini meredup, sebab waktu telah berada dipenghujung tengah malam.Sulit sekali untuk Rania dapat menjemput alam mimpinya. Ntah, apa yang wanita i