Terima kasih bagi yang sudah mampir membaca novel ini, dan jangan lupa follow akun IG aku, @popy-yanni untuk melihat visual Rania dan Devan
Desi tersenyum kikuk--ada rasa tidak nyaman di dalam diri mengingat Deni adalah orang kepercayaan seorang Devan Wijaya, "Tidak usah-Pak, saya bisa bangun sendiri," tolak Desi halus, gadis itu kembali mencoba untuk bangun. Namun, kondisi lututnya benar-benar tidak bisa diajak kerja sama. Alhasil Desi kembali jatuh, gadis itu mengeram kesal--sebab lututnya benar-benar membuatnya tak berdaya. Keadaan seperti ini sangat tidak nyaman bagi keduanya--apa lagi melihat tatapan para karyawan WG pada dirinya dan Deni, sembari berbisik, membuat rasa tidak nyaman di dalam diri Desi kian saja menjadi. Namun, keadaan memaksakan keduanya untuk harus bersama, dengan Deni yang terus memegang lengan gadis itu kala keduanya membawa langkah menuju ruang kerja milik Devan. "~Pak, bisakah Bapak melepaskan saya? Saya bisa berjalan sendiri," pinta Desi dengan nada suaranya yang lirih, dan dengan gerakan yang pelan gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan Deni. "Kalau saya membiarkan kamu jalan send
Duduk di lantai dengan kedua kaki yang dia tekukkan sembari dua tangan memeluk erat, Rania tengah tenggelam dalam sesuatu yang membebani pikirannya. Bersandar pada dinding ruangan menatap langit-langit kamar yang telah terlihat usang dengan sorot mata yang hampa. Ntah, apa yang membebani pikiran wanita itu saat ini--namun kedua pipi Rania terus dibanjiri oleh air mata. Suara ketukkan menyapa pintu kamar kos--memalingkan wajah ke arahnya Rania pun bersuara, "Siapa---?" tanya Rania dengan setengah teriakkan, suaranya pun terdengar parau akibat terlalu lama menangis. Satu detiik Dua detik Tiga detik terlewati pun tak kunjung adanya suara sambutan--dan hal itu, sontak menimbulkan rasa penasaran di dalam diri--Rania pun beranjak dari duduknya--dan menghampiri pintu kamar. Membuka pintunya dengan asal, mendapati seseorang yang tak dia harapkan kedatangannya Rania segera kembali merapatkan daun pintu. "Rania--buka, pintunya!" pinta Dion. Pria itu menahannya kuat, sebab Rania memaksa agar
Beberapa menit kemudian Rania mendesah lelah--pandangan itu terus tertuju pada sosok Dion yang sudah melangkah pergi, pria itu kian menjauh dari pandangannya. Dadanya berdenyut nyeri--saat ingatan itu kembali terhantar pada Devan yang memberi pelajaran pada Dion."Kasian-Dion. Padahal selama ini dia tidak melakukan hal yang buruk padaku," gumam Rania dalam hati, dia merasa ibah pada Dion atas apa yang terjadi pada pria itu tadi."Mau sampai kapan kau terus memandangnya?! Dia itu hanya seorang pria brengsek!"Nada kasar--bercampur cemburu yang mendengung ditelinganya memaksakan Rania untuk berbalik. Suara Devan cukup menyakiti gendang telinganya."Kau--sudah sangat keterlaluan, Dev! Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada Dion?!" cecar Rania, pandangan Rania telah berubah tajam--ada kemarahan yang nyata di sana."Dia memang pantas mendapatkannya!" sahut Devan acuh, dan kata-kata yang Devan lontarkan membuat Rania hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya-sebab tak terlihat s
Begitu dalam dia memandangnya-kedua mata Devan perlahan tertuju pada bibir merah jambu Rania. Lama menatap membuatnya bergairah, Devan merasa ingin. Dengan gerakan yang ragu pria itu membawa bibirnya-Devan ingin mencium bibir istrinya. Namun, baru saja akan menyentuh jari telunjuk Rania mendarat dipermukaan mulut, dan mendorongnya pelan. Dan apa yang Rania lakukan menimbulkan kekecewaan di wajah Devan, pria itu nampak marah. "Kenapa, Rania?! Aku ini suami-mu!" ujar Devan yang terdengar seperti sebuah protes, kekecewaan semakin nyata terlihat di wajahnya. "Aku tidak tinggal ditempat ini sendirian. Disamping kanan dan kiri kamar ini ada penghuninya. Apakah, kau mau mereka melihat apa yang kita lakukan?!" cecar Rania. Air muka Rania telah berubah masam, kelopak matanya memicing dan tajam--Rania benar-benar kesal dengan suaminya dan hal itu membuat Devan terkekeh--pria itu seperti baru disadarkan oleh keadaan. "Aku akan menutup pintunya!" ujar Devan dengan penuh semangat. Jujur, dia ing
Setelah memastikan kepulangan Dion--Deni kembali ke kos milik Rania. Kos yang ditempati wanita itu beberapa meter dari bibir jalan utama, dan tentunya Deni harus berjalan kaki agar dapat kembali tiba ditempat yang menjadi tujuannya. Sepanjang perjalanannya wajah Deni nampak tak biasa. Terlihat menegang, juga ada kilatan api yang membakar pada sepasang irish hitam pria itu. Bukan tanpa alasan mimik wajah Deni nampak tidak bersahabat, perkataan dari Dion tadi-terus saja terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Emosi yang sudah hampir meredup, kembali membakar. Untung saja Dion tidak berada di depannya kalau tidak! Mungkin Deni sudah memberikannya bogeman berkali-kali yang membuat Dion berpikir dua kali untuk melakukan rencananya. Tinggal beberapa meter lagi Deni tiba di kos milik Rania. Namun, tiba-tiba Deni memperlambat langkah kakinya saat mendapati pintu kamar yang berada dalam kondisi tertutup. "Pintu kamarnya terkunci? Ke mana Tuan, dan Nyonya Rania?" gumam Deni bertanya-tanya,
"Dia memang menghubungi saya--Tuan. Seperti yang sudah kita atur--kalau perginya anda dari perusahaan dalam rangka pekerjaan, karena ada pertemuan di luar kota dan Tuan besar mempercayainya." Usai perbincangan singkat itu suasana hening kembali menyelimuti di dalam mobil. Devan kembali diam, seolah tak ada yang perlu dia katakan lagi. Menolehkan wajahnya ke arah jendela, Devan menurunkan sedikit kaca jendela. Suasana kota J--dengan hembusan angin yang menerpa dipermukaan wajah mampu membuat kegamangan di hati sedikit berkurang. Ntah apa yang ada di dalam lamunan Devan saat ini, namun sepertinya pikiran pria itu tengah berkelana begitu jauh. Tiba-tiba terdengar hembusan napas yang lolos dari mulut Devan--seperti ada sesuatu yang begitu mengusiknya. Kembali tenggelam dalam lamunannya, bahkan Devan mengabaikan Deni yang diam-diam memperhatikannya. Namun, sejenak mimik wajah Devan berubah saat pikiran pria itu terhantar pada sesuatu hal. "Kau, tadi memberikan uang pada Rania'kan?!" Suar
Devan mendesahkan napasnya berat--wajah tampan pria itu telah berubah keruh--mengetahui sang kakek yang saat ini berada di perusahaan membuat moodnya benar-benar buruk, "Kalau bukan karena memikirkan dia yang sudah merawatku sejak kepergian Papa dan Mama, mungkin aku tidak sudi mengenalnya sebagai kakek'ku, lagi!" gerutu Devan dalam hati, dia benar-benar muak dengan kakeknya itu. Moodnya yang sedang tidak bagus--membuat Devan enggan untuk berbicara. Pria itu kini nampak tenggelam dalam dunianya sendiri, mengabaikan Deni yang kini tengah bersamanya. Dan, apa yang terjadi pada Devan--menarik perhatian sang anak buah yang diam-diam memperhatikan gelagat Tuannya dari kaca spion dalam mobil. "Tuan besar yang memaksanya berpisah dengan Nona Rania--membuatnya seperti malas untuk bertemu dengan kakeknya. Di rumah saja Tuan Devan selalu tidak sudi melihat wajah Tuan Darma kalau bukan karena sesuatu hal yang memaksa," gumam Deni dalam hati, yang sesekali masih melirik pada kaca spion dalam mob
"Seperti yang kau tahu, kalau Sarah memiliki usaha toko perhiasan, dan perhiasan yang dia dagangkan banyak dipakai oleh kalangan atas, maupun artis-artis tanah air dan harganya cukup terjangkau. Dan, kebetulan kita akan meluncurkan sebuah produk baru-Kakek ingin model yang mempromosikan produk baru kita memakai perhiasan, dari toko perhiasan milik Sarah," jelas kakek Darma, dan Devan yang mendengarkan penjelasan kakek Darma hanya bisa mendesahkan napasnya berat. Dadanya bergemuruh dengan hebat. Devan bergeming-mimik wajah pria itu sangat sulit dijabarkan saat ini. Begitu membenci Sarah--wanita yang sudah menorehkan luka begitu dalam untuknya. Namun, dengan menjalin kerja sama dengan wanita itu tentunya mereka akan sering bertemu, dan menghabiskan waktu bersama. "Aku begitu membencinya--namun, bagaimana pun aku harus tetap berprofesional dalam bekerja," gumam Devan dalam hati, pria itu mengusap wajahnya kasar--Devan nampak frustasi. Tak sengaja melemparkan pandangannya pada sembara