RumahDevan telah kembali berada di rumah-duduk santai pada sebuah kursi tunggal-- pria itu sengaja mengabaikan sang kakek yang tengah menatapnya dengan murka. Kakek Darma nampak terlihat marah, dan itu nyata terlihat dari rahangnya yang mengeras, dengan bolamata yang menggelap. Devan benar-benar menguji kesabaran lelaki tua itu. "Jangan membuat kesabaran Kakek habis." Begitu tenang lelaki tua itu bersuara, namun nyatanya ucapan itu penuh dengan sebuah ancaman.Ada lengkungan kecil yang tersungging di sudut bibir Devan. Menurunkan surat kabar, kedua kaki yang bertaut Devan lepaskan. Pria itu nampak tenang, namun ada kilatan yang membakar pada iris hitamnya."Aku tidak bisa membohongi diriku--kalau aku jatuh cinta pada wanita itu, itulah kenyataan yang sebenarnya,"ujar Devan, kembali menyeringai seraya beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Namun, baru saja Devan mengambil beberapa langkah--suara kakek Darma begitu menggelegar di dalam ruangan berhasil menghentikan langkah kaki p
Telah memiliki ponsel-Devan mencoba untuk menghubungi Rania--istrinya. Namun, dirinya harus menelan kekecewaan sebab nomor wanita itu tak dapat dihubungi. Devan resah, juga gelisah--pria itu semakin terlihat tak baik-baik saja. Hal buruk telah memenuhi isi kepala Devan tentang Rania.Devan melangkah menuju balkon kamar--menurunkan pandangan--namun dia hanya bisa menghela napasnya berat saat mendapati begitu banyak anak buah kakeknya yang berjaga tepat di bawah kamar. Devan mengeram kesal. "SHIT!" umpatnya, Devan terlihat frustasi, "Rania--, kenapa nomor HP mu--tidak aktif?" gumamnya dengan lirih, ada pedih yang nyata terlihat pada mahik hitam legamnya.Suara ketukkan menyapa pintu kamar Devan, pria itu sontak menoleh dan mendapati kedatangan salah satu anak buah kakeknya. "Tuan, Tuan besar meminta anda untuk segera turun. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda. Nona Sarah juga ada di sini," ujar lelaki berperawakan tinggi itu dengan sopan. "Aku akan segera turun, dan kau pergilah!" D
Devan mengeram kesal--pria itu telah kembali berada di dalam kamar. Mengusap wajahnya frustasi, Devan terlihat tidak baik-baik saja. Dan, apa yang terjadi pada pria itu menarik perhatian Deni yang kini tengah memperhatikannya. "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Deni takut-takut, menatap Devan dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. Menarik napasnya kasar--bahkan tarikan napas pria itu mampu terdengar jelas, "Mana bisa aku baik-baik saja. Ruang gerakku sangat terbatas, rekeningku dibekukkan, dan siTua itu membawa Sarah kemari, dan Rania pun nomor ponselnya tak bisa dihubungi sama sekali. Jujur, pikiranku sedang kusut!" keluh Devan, pria itu mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Seperti yang anda tahu, kalau Tuan besar sama sekali tidak menyetujui .hubungan anda, dan Nona Rania. Apa lagi dengan kejadian baru-baru ini, hal itu semakin menyulutkan kemarahannya. Dan, melihat sambutan hangatnya pada Nona Sarah--saya yakin kalau Tuan besar Darma ingin anda kembali bersama Nona Sarah," je
Dion tak mampu menyembunyikan keterjutannya setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh pemilik kos kalau Rania tak lagi tinggal di kos miliknya. Raut wajah Dion telah berubah, seperti apa yang dia dengar begitu mengganggu pikirannya. Ntah, merasa kehilangan atau pun marah--karena Rania adalah alat balas dendamnya, hanyalah dialah yang tahu bagaimana menjabarkan suasana hatinya kini. "Baik Nyonya--kalau begitu saya permisi dulu," pamit Dion, berbalik dan segera melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah pria itu ambil-- tiba-tiba saja ada seseorang yang menyeruhkannya, "Tuan---," panggilnya, dan Dion yang merasa dirinya dipanggil segera berbalik dan mendapati seorang gadis yang berlari kecil menuju padanya. "Apakah anda memanggil saya, Nona?" tanya Dion memastikan, pria itu menatap ragu pada wanita muda di depannya. "Iya," sahut gadis muda itu dengan napas yang nampak tersenggal, dan tersenyum menatap Dion, Dion menyerngitkan keningnya--memicingkan kedua mata-me
Desi tersenyum kikuk--ada rasa tidak nyaman di dalam diri mengingat Deni adalah orang kepercayaan seorang Devan Wijaya, "Tidak usah-Pak, saya bisa bangun sendiri," tolak Desi halus, gadis itu kembali mencoba untuk bangun. Namun, kondisi lututnya benar-benar tidak bisa diajak kerja sama. Alhasil Desi kembali jatuh, gadis itu mengeram kesal--sebab lututnya benar-benar membuatnya tak berdaya. Keadaan seperti ini sangat tidak nyaman bagi keduanya--apa lagi melihat tatapan para karyawan WG pada dirinya dan Deni, sembari berbisik, membuat rasa tidak nyaman di dalam diri Desi kian saja menjadi. Namun, keadaan memaksakan keduanya untuk harus bersama, dengan Deni yang terus memegang lengan gadis itu kala keduanya membawa langkah menuju ruang kerja milik Devan. "~Pak, bisakah Bapak melepaskan saya? Saya bisa berjalan sendiri," pinta Desi dengan nada suaranya yang lirih, dan dengan gerakan yang pelan gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan Deni. "Kalau saya membiarkan kamu jalan send
Duduk di lantai dengan kedua kaki yang dia tekukkan sembari dua tangan memeluk erat, Rania tengah tenggelam dalam sesuatu yang membebani pikirannya. Bersandar pada dinding ruangan menatap langit-langit kamar yang telah terlihat usang dengan sorot mata yang hampa. Ntah, apa yang membebani pikiran wanita itu saat ini--namun kedua pipi Rania terus dibanjiri oleh air mata. Suara ketukkan menyapa pintu kamar kos--memalingkan wajah ke arahnya Rania pun bersuara, "Siapa---?" tanya Rania dengan setengah teriakkan, suaranya pun terdengar parau akibat terlalu lama menangis. Satu detiik Dua detik Tiga detik terlewati pun tak kunjung adanya suara sambutan--dan hal itu, sontak menimbulkan rasa penasaran di dalam diri--Rania pun beranjak dari duduknya--dan menghampiri pintu kamar. Membuka pintunya dengan asal, mendapati seseorang yang tak dia harapkan kedatangannya Rania segera kembali merapatkan daun pintu. "Rania--buka, pintunya!" pinta Dion. Pria itu menahannya kuat, sebab Rania memaksa agar
Beberapa menit kemudian Rania mendesah lelah--pandangan itu terus tertuju pada sosok Dion yang sudah melangkah pergi, pria itu kian menjauh dari pandangannya. Dadanya berdenyut nyeri--saat ingatan itu kembali terhantar pada Devan yang memberi pelajaran pada Dion."Kasian-Dion. Padahal selama ini dia tidak melakukan hal yang buruk padaku," gumam Rania dalam hati, dia merasa ibah pada Dion atas apa yang terjadi pada pria itu tadi."Mau sampai kapan kau terus memandangnya?! Dia itu hanya seorang pria brengsek!"Nada kasar--bercampur cemburu yang mendengung ditelinganya memaksakan Rania untuk berbalik. Suara Devan cukup menyakiti gendang telinganya."Kau--sudah sangat keterlaluan, Dev! Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada Dion?!" cecar Rania, pandangan Rania telah berubah tajam--ada kemarahan yang nyata di sana."Dia memang pantas mendapatkannya!" sahut Devan acuh, dan kata-kata yang Devan lontarkan membuat Rania hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya-sebab tak terlihat s
Begitu dalam dia memandangnya-kedua mata Devan perlahan tertuju pada bibir merah jambu Rania. Lama menatap membuatnya bergairah, Devan merasa ingin. Dengan gerakan yang ragu pria itu membawa bibirnya-Devan ingin mencium bibir istrinya. Namun, baru saja akan menyentuh jari telunjuk Rania mendarat dipermukaan mulut, dan mendorongnya pelan. Dan apa yang Rania lakukan menimbulkan kekecewaan di wajah Devan, pria itu nampak marah. "Kenapa, Rania?! Aku ini suami-mu!" ujar Devan yang terdengar seperti sebuah protes, kekecewaan semakin nyata terlihat di wajahnya. "Aku tidak tinggal ditempat ini sendirian. Disamping kanan dan kiri kamar ini ada penghuninya. Apakah, kau mau mereka melihat apa yang kita lakukan?!" cecar Rania. Air muka Rania telah berubah masam, kelopak matanya memicing dan tajam--Rania benar-benar kesal dengan suaminya dan hal itu membuat Devan terkekeh--pria itu seperti baru disadarkan oleh keadaan. "Aku akan menutup pintunya!" ujar Devan dengan penuh semangat. Jujur, dia ing