Devan mengeluarkan pandangan lewat kaca jendela mobil--guna mengintip apa yang kini menjadi pusat perhatian para pengguna jalan lainnya. Sontak, kedua mata pria itu membelalak lebar begitu mendapati sosok tidak asing untuknya. Kedua pria muda nampak menghancurkan dagangan milik Rania, dan yang lebih menyedihkan orang-orang disekitar hanya menontonnya saja. Devan geram--pria itu benar-benar tidak terima dengan apa yang kedua pria asing itu lakukan pada istrinya. Membuka pintu mobil dengan kasar, Devan akan menurunkan kedua kakinya. Namun cekalan tangan Deni, menghentikan gerakan kaki itu. Berbalik, dan menatap Deni dengan penuh tanda tanya."Saya mohon, jangan lakukan ini, Tuan, Ini terlalu beresiko-untuk anda!" ujar Deni memperingatkan, kekhawatiran nyata terlihat di wajah pria yang usianya satu tahun di bawah Devan itu.Devan menghempaskan kuat tangan Deni--yang membuat cekalan tangan pria itu seketika terlepas. Bara kian terlihat nyata di wajah tampan Devan, "Kau tidak dapat memaham
Begitu lembut ciuman yang Devan ciptakan, mampu menghadirkan gelenyar aneh yang menembus hingga ke tulang sum-sum. Bagai benang kusut, Rania mencoba untuk mengenyahkan semua hal buruk akan kenyataan hubungannya dan Devan yang sebenarnya. Dia menikmati ciuman panas suaminya--membiarkan diri itu tenggelam dalam lautan birahi bersama pria yang dia cintai. Hanyut, bolamata Rania telah nampak sayup-sayup Devan berhasil membangkitkan napsu birahi yang sudah lama hilang. Namun, kenyataan itu kembali melintas--begitu kuat dalam ingatan memaksa Rania agar ke luar. Membiarkan Devan beraksi--sebab semua telah terasa hambar. Hingga, remassan pada salah satu dadanya membuat tautan bibir itu sontak Rania lepaskan. Segera memberi jarak antara dirinya dan suami, dengan napas yang masih tersenggal-membiarkan diri tersiksa dalam birahi yang tak mampu tersalur. "Kenapa? Apakah, ada yang salah? Aku ini suami mu, Rania---?" Suara bariton itu telah berubah parau, awan hitam pun sudah menyelimuti wajah t
RumahDevan telah kembali berada di rumah-duduk santai pada sebuah kursi tunggal-- pria itu sengaja mengabaikan sang kakek yang tengah menatapnya dengan murka. Kakek Darma nampak terlihat marah, dan itu nyata terlihat dari rahangnya yang mengeras, dengan bolamata yang menggelap. Devan benar-benar menguji kesabaran lelaki tua itu. "Jangan membuat kesabaran Kakek habis." Begitu tenang lelaki tua itu bersuara, namun nyatanya ucapan itu penuh dengan sebuah ancaman.Ada lengkungan kecil yang tersungging di sudut bibir Devan. Menurunkan surat kabar, kedua kaki yang bertaut Devan lepaskan. Pria itu nampak tenang, namun ada kilatan yang membakar pada iris hitamnya."Aku tidak bisa membohongi diriku--kalau aku jatuh cinta pada wanita itu, itulah kenyataan yang sebenarnya,"ujar Devan, kembali menyeringai seraya beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Namun, baru saja Devan mengambil beberapa langkah--suara kakek Darma begitu menggelegar di dalam ruangan berhasil menghentikan langkah kaki p
Telah memiliki ponsel-Devan mencoba untuk menghubungi Rania--istrinya. Namun, dirinya harus menelan kekecewaan sebab nomor wanita itu tak dapat dihubungi. Devan resah, juga gelisah--pria itu semakin terlihat tak baik-baik saja. Hal buruk telah memenuhi isi kepala Devan tentang Rania.Devan melangkah menuju balkon kamar--menurunkan pandangan--namun dia hanya bisa menghela napasnya berat saat mendapati begitu banyak anak buah kakeknya yang berjaga tepat di bawah kamar. Devan mengeram kesal. "SHIT!" umpatnya, Devan terlihat frustasi, "Rania--, kenapa nomor HP mu--tidak aktif?" gumamnya dengan lirih, ada pedih yang nyata terlihat pada mahik hitam legamnya.Suara ketukkan menyapa pintu kamar Devan, pria itu sontak menoleh dan mendapati kedatangan salah satu anak buah kakeknya. "Tuan, Tuan besar meminta anda untuk segera turun. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda. Nona Sarah juga ada di sini," ujar lelaki berperawakan tinggi itu dengan sopan. "Aku akan segera turun, dan kau pergilah!" D
Devan mengeram kesal--pria itu telah kembali berada di dalam kamar. Mengusap wajahnya frustasi, Devan terlihat tidak baik-baik saja. Dan, apa yang terjadi pada pria itu menarik perhatian Deni yang kini tengah memperhatikannya. "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Deni takut-takut, menatap Devan dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. Menarik napasnya kasar--bahkan tarikan napas pria itu mampu terdengar jelas, "Mana bisa aku baik-baik saja. Ruang gerakku sangat terbatas, rekeningku dibekukkan, dan siTua itu membawa Sarah kemari, dan Rania pun nomor ponselnya tak bisa dihubungi sama sekali. Jujur, pikiranku sedang kusut!" keluh Devan, pria itu mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Seperti yang anda tahu, kalau Tuan besar sama sekali tidak menyetujui .hubungan anda, dan Nona Rania. Apa lagi dengan kejadian baru-baru ini, hal itu semakin menyulutkan kemarahannya. Dan, melihat sambutan hangatnya pada Nona Sarah--saya yakin kalau Tuan besar Darma ingin anda kembali bersama Nona Sarah," je
Dion tak mampu menyembunyikan keterjutannya setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh pemilik kos kalau Rania tak lagi tinggal di kos miliknya. Raut wajah Dion telah berubah, seperti apa yang dia dengar begitu mengganggu pikirannya. Ntah, merasa kehilangan atau pun marah--karena Rania adalah alat balas dendamnya, hanyalah dialah yang tahu bagaimana menjabarkan suasana hatinya kini. "Baik Nyonya--kalau begitu saya permisi dulu," pamit Dion, berbalik dan segera melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah pria itu ambil-- tiba-tiba saja ada seseorang yang menyeruhkannya, "Tuan---," panggilnya, dan Dion yang merasa dirinya dipanggil segera berbalik dan mendapati seorang gadis yang berlari kecil menuju padanya. "Apakah anda memanggil saya, Nona?" tanya Dion memastikan, pria itu menatap ragu pada wanita muda di depannya. "Iya," sahut gadis muda itu dengan napas yang nampak tersenggal, dan tersenyum menatap Dion, Dion menyerngitkan keningnya--memicingkan kedua mata-me
Desi tersenyum kikuk--ada rasa tidak nyaman di dalam diri mengingat Deni adalah orang kepercayaan seorang Devan Wijaya, "Tidak usah-Pak, saya bisa bangun sendiri," tolak Desi halus, gadis itu kembali mencoba untuk bangun. Namun, kondisi lututnya benar-benar tidak bisa diajak kerja sama. Alhasil Desi kembali jatuh, gadis itu mengeram kesal--sebab lututnya benar-benar membuatnya tak berdaya. Keadaan seperti ini sangat tidak nyaman bagi keduanya--apa lagi melihat tatapan para karyawan WG pada dirinya dan Deni, sembari berbisik, membuat rasa tidak nyaman di dalam diri Desi kian saja menjadi. Namun, keadaan memaksakan keduanya untuk harus bersama, dengan Deni yang terus memegang lengan gadis itu kala keduanya membawa langkah menuju ruang kerja milik Devan. "~Pak, bisakah Bapak melepaskan saya? Saya bisa berjalan sendiri," pinta Desi dengan nada suaranya yang lirih, dan dengan gerakan yang pelan gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan Deni. "Kalau saya membiarkan kamu jalan send
Duduk di lantai dengan kedua kaki yang dia tekukkan sembari dua tangan memeluk erat, Rania tengah tenggelam dalam sesuatu yang membebani pikirannya. Bersandar pada dinding ruangan menatap langit-langit kamar yang telah terlihat usang dengan sorot mata yang hampa. Ntah, apa yang membebani pikiran wanita itu saat ini--namun kedua pipi Rania terus dibanjiri oleh air mata. Suara ketukkan menyapa pintu kamar kos--memalingkan wajah ke arahnya Rania pun bersuara, "Siapa---?" tanya Rania dengan setengah teriakkan, suaranya pun terdengar parau akibat terlalu lama menangis. Satu detiik Dua detik Tiga detik terlewati pun tak kunjung adanya suara sambutan--dan hal itu, sontak menimbulkan rasa penasaran di dalam diri--Rania pun beranjak dari duduknya--dan menghampiri pintu kamar. Membuka pintunya dengan asal, mendapati seseorang yang tak dia harapkan kedatangannya Rania segera kembali merapatkan daun pintu. "Rania--buka, pintunya!" pinta Dion. Pria itu menahannya kuat, sebab Rania memaksa agar
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j