Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Devan yang tengah duduk santai sembari membaca buku. Hanya melirik sebentar pada Rania, dan kembali memfokuskan pandangan pada buku yang dibacanya. Rania menutup kembali pintu apartemen--setelah beberapa detik mematung di depan pintu. Membawa langkah kakinya masuk dengan pandangan yang tak terputus sama sekali dari Devan. "Apakah, kamu ingin mengatakan sesuatu padaku?" tanya Devan dengan nada suaranya yang datar, dan hal itu mampu membuat seorang Rania tercengang. Wanita itu mendaratkan tubuhnya dengan tergesa-gesa, airmuka yang Rania tunjukkan nampak tidak sabaran. Dan, Devan segera meletakkan buku dalam genggamannya, dan menatap Rania dengan lekat, "Katakan. Apa, yang ingin kamu katakan?" "Ini mengenai Andra." Devan berpura-pura tertarik, walaupun sesungguhnya dia sudah mengetahui apa yang akan Rania katakan. Tersenyum samar, ada kebahagiaan di wajah Devan, "Apa, itu?" tanya Devan, masih menatap Rania dengan tatapan yang sama."Andra---.
Dua hari kemudian Deni baru saja menyelesaikan makan malamnya. Masuk ke dalam kamar-pria itu merentangkan kedua tangan lebar-lebar, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Mematahkan lehernya kekiri dan kanan, Deni merasakan tubuhnya jauh lebih baik setelah melakukan olah raga kecil."Hari yang melelahkan," gumamnya. Mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana--Deni mendapati gawainya yang mati total. Seharian beraktifitas di luar rumah-membuat daya ponsel pria itu habis. Mendaratkan tubuh pada sebuah kursi, Deni memakai kabel power bank untuk menyalahkan benda pipih miliknya itu.Begitu ponselnya telah kembali menyalah-- banyak pesan yang masuk ke dalam aplikasi WAnya, pria itu segera membaca beberapa pesan yang masuk dari beberapa teman, dan ada juga dari Devan. Setelah membalas pesan dari Devan, dengan iseng Deni masuk ke dalam aplikasi TIK-TOK nya. Senyuman membingkai di wajah pria itu, kala menonton berbagai video yang melewati berandanya.Hingga, seketika gerakan jari Deni m
Suara tawa begitu menggelegar--menggema di dalam ruangan, menciptakan kesan mistis bagi hunian yang berada tepat di bawah kaki bukit. Suara angin malam, dan suara lolongan anjing, menyatu dengan sempurna, menambah kesan horor, dan mampu membuat bulu kudukmu meremang. Tawa itu perlahan meredah. Menurunkan kedua kaki yang tersimpan di atas meja kerja, pria itu menyandarkan punggung kokohnya pada sandaran kursi--dengan senyuman kecil yang terpatri di wajahnya. "Jadi, foto-foto pada akun Tik-Tok bernama Wardhan telah terhapus?" tanya Dion, yang nampak menahan tawa. Iya-Tuan," sahut sang anak buah dengan nada suaranya yang takut-takut. Dion kembali terkekeh. Mendengar kepanikan Devan membuat pria itu terlihat sungguh sangat begitu bahagia. Dion-yakin kalau Devan pasti takut kalau foto-fotonya dan Rania, sampai terlihat oleh seorang Darma Wijaya. Tawa itu perlahan menghilang. Iris hitam Dion--telah menggelap, kala emosi telah berkobar di dalam diri pria itu. Menyeringai, laksana mata pi
Beberapa mobil berwarna hitam metalik melaju pelan, memasuki area gedung apartemen, dan hal itu menarik perhatian orang-orang yang berada disekitarnya. Beberapa menit terparkir, dari dalamnya ke luar beberapa pria bertubuh kekar dalam balutan jas berwarna hitam, dan raut wajah pria-pria itu nampak menyeramkan. Dan kedatangan pria-pria itu mampu menarik perhatian orang-orang yang berada disekitarnya. Berpijak sedikit lama, pria-pria itu akhirnya membawa langkah kaki mereka ke dalam gedung apartemen. "Siapa, mereka?" ujar salah satu wanita parubaya, dengan terus membawa pandangannya pada pria-pria berjas itu. "Iya. Siapa, ya-kira pria-pria itu? Mereka sepertia anak buah dari seorang mafia," timpal seorang wanita muda, yang berdiri bersama wanita paruh baya itu. *** *** Devan tengah larut dalam-apa yang menjadi kekhawatirannya. Pria itu terlihat panik, sebab saat ini Rania sedang tidak bersamanya. Wanita itu sedang berada di luar, Rania sedang berbelanja kebutuhan dapur disalah
Jeritan dari Rasty membuat Papa Hendra, dan Mama Anita yang tengah menikmati waktu santai mereka dengan menikmati kopi panas, sembari cemilan ringan segera berlari kecil meninggalkan apa yang menjadi sarapan keduanya."Ada-apa, Rasty?!" tanya Mama Anita, tanpa mengurangi kekalutan di wajah, nada suara wanita paruhbaya itu pun terdengar emosi. "Iya-Rasty, ada apa?" tanya Papa Hendra yang nampak jauh lebih tenang, suaranya pun jauh lebih lembut. "Lihat-ini, Maa--Paaa!" sahut Rasty, tanpa mengurangi shyok di wajah. Dengan raut wajah yang nampak menahan kemarahan--Mama Anita menghampiri depan televisi, dengan angkuhnya wanita paruhbaya itu melemparkan pandangannya pada layar televisi. Telah berhadapan dengan layar televisi, Mama Anita mendadak shyok--bahkan tubuh itu nyaris ambruk kalau Papa Hendra tidak cepat-cepat menahannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, seperti banyak kupu-kupu yang tengah beterbangan disekitarnya.Papa Hendra mengarahkan pandangannya pada layar televisi, bolam
Panggilan teleponenya yang kesekian kalinya akhirnya terjawab oleh Rania, dan itu membuat Desi terlihat sangat bahagia. "Ran, aku pengen ketemuan sama kamu!" ujar Desi, yang segera mengutarakan niatnya. "Bisa, nggak jangan hari ini? Aku lagi nggak sehat," sahut Riana dengan nada yang masih sama. Airmuka Desi tak lagi sama. Suara Rania yang terdengar parau--memancing rasa ingin tahu Desi. Dia yakin kalau ada hal serius yang tengah terjadi pada sahabat baiknya itu, "Ran, kamu baik-baik saja, ya? Sepertinya kamu sedang tidak sehat," tanya Desi, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. "Aku memang lagi ada masalah. Suami aku Devan---." Riana tak mampu menyelesaikan ucapannya, wanita itu telah terdengar menangis di sana. Dan, apa yang Rania katakan menciptakan berbagai prasangka dalam diri Desi kini. "Ran, kamu baik-baik saja?! Bagaimana kalau kita bertemu?! Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu!" pinta Desi, dengan nada suaranya yang terdengar memaksa. "Baiklah, ak
Desi duduk dengan diam. Wanita itu membiarkan Rania menangis sepuas hati meluapkan semua sesak yang bersaran dalam dadanya. Masih membiarkan Rania seperti itu, kalau dengan menangis bisa membuatnya jauh lebih lega. Tangis Rania benar-benar terdengar pilu, dan sungguh-menyayat di hati-dan itu semakin membuat Desi turut larut dalam kesedihan Rania, sebab dia dapat merasakan besarnya cinta Rania pada seorang Devan Wijaya. "Kasian Rania. Dia benar-benar tulus mencintai Devan--terlepas dari pria ituadalah seorang cucu konglomerat kaya. Namun, kalau dia tetap memaksakan untuk tetap membinah rumah tangga dengan Devan--aku yakin kalau Darma Wijaya pasti akan menghancurkan hidupnya, dan mungkin juga dengan keluarga angkatnya," gumam Desi dalam hati, tanpa memutuskan pandangannya sama sekali dari Rania yang masih saja terisak.Beberapa menit setelahnya, tangis Rania perlahan mulai mereda. Wanita itu tersenyum--seraya punggung tangannya mengusap jejak basah yang tertinggal pada kedua pipinya.
Dua hari kemudian Tidak terasa dua hari telah berlalu sejak perginya Devan dari hidup seorang Rania. Hidupnya terasa sunyi, hari-hari yang dilaluinya pun begitu hambar tanpa adanya Devan disisinya, namun bagaimanapun hidup harus tetap berjalan. Rindu, bercampur kecewa. Itulah gambaran perasaan seorang Rania saat ini. Setelah mengetahui siapa Devan--sebenarnya? Rania memutuskan untuk ke luar dari apartemen. Tinggal disebuah kos kecil, yang tentunya jauh berbeda suasana dengan apartemen yang dia tempati bersama Devan dulu. "Jadi, dia telah pergi dari apartemen, dan sekarang tinggal di kos. Bahkan telah dipecat dari Wijaya Group," ujar Dion. Pria itu tengah berada di dalam mobil, dan sedang berbicara dengan salah satu anak buahnya yang duduk di kursi kemudi. Dan, pandangan itu Dion lemparkan ke arah Rania yang berbicara dengan seorang wanita di depan supermarket. "Iya-Tuan, dan sepertinya Nona Rania sedang mencari pekerjaan." Seringai licik terukir di sudut bibir Dion, dengan soro