Suara panggian dari Rasty cukup membuat Andra terkejut. Lelaki itu memutuskan untuk mengakhiri panggilan teleponenya dan Susi. "Sus, Mas tutup teleponenya--istri Mas datang," bisik Andra dengan nada suaranya yang tergesa-gesa, namun pias yang juga kepanikan nyata terlihat di wajah pria itu. Susi tersenyum--sebelumnya akhirnya wanita itu bersuara, "Oke, Mas~sampai ketemu nanti," pamit Susi dengan nada suaranya yang mendayu-dayu, dan memutuskan sambungan teleponenya dan Andra. Andra mengeram kesal. Wajahnya itu menegang, nyata terlihat kilatan api yang membakar manik hitam legamnya-bagi pria itu-kedatangan Rasty hanya mengganggu kesenangannya saja. "Andra! Mas Andra!" Terdengar kembali Rasty yang menyeruhkan dirinya dengan lantang, seraya memaksa membuka pintu kamar mandi. Suara panggilan dari Rasty lagi semakin menyalahkan api amarah di dalam diri Andra. Memasukkan gawai ke dalam saku celana, dan membuka pintu kamar mandi dengan kasar. "Apa yang kamu lakukan di dalam?!" tany
Beberapa menit melakukan perjalanan dari kontrakkan Susi, kini Devan telah kembali tiba di depan sebuah gedung bertingkat. Pria itu tak langsung turun dari dalam mobil. Devan terlihat sedang sibuk, pria itu sedang menggantikan pakaian mewahnya, dengan pakaian yang begitu sederhana. Membuka kaos bermerek, dan menggantikannya dengan kaos yang memiliki harga yang murah, dan apa yang pria itu lakukan ternyata mengalihkan perhatian Deni. Lelaki muda itu terus menatap sang Majikan lewat kaca spion dalam mobil, dengan senyum yang menbungkus. Deni seperti tengah menahan tawa. "Hidup anda benar-benar merepotkan. Cinta benar-benar bisa membuat orang jadi gila, dan terlihat bodoh," gumam Deni dalam hati, masih dengan diam-diam menatap Devan. Tak sengaja melemparkan pandangannya ke arah lain. Gerakan tangan Devan sontak berhenti, kala mendapati senyuman Deni [padanya. Pria itu yakin, kalau Deni tengah menertawakan dirinya dalam hati. Wajahnya menegang, sorot mata Devan--sontak berubah tajam
Wajahnya membeku, dengan tak ada kedipan sama sekali, berkali-kali Andra menelan ludanya kelat, pemandangan di depan mata--sungguh menggiurkan. Bagaimana Andra tidak tergoda, kini Susi melebarkan kedua paha--wanita itu kini terlentang pasrah, memamerkan inti miliknya yang sudah basah. Telah terbakar oleh api gairahnya, Susi benar-benar tersiksa kala Andra tak kunjung memasukinya. Menurunkan pandangan di mana Andra masih setia menatap pada area intinya. "Mas Andra, ayo--," lirih Susi, dengan nada suaranya yang seperti desahan. Wanita itu menatap Andra dengan harap, nyata terlihat kabut gairah yang sudah membakar pada kedua manik hitam legamnya. Panggilan dari Susi berhasil membela dunia dari Andra. Pria itu sontak melemparkan pandangannya pada Susi, di mana wanita itu tengah menatapnya dengan penuh napsu. Sebagai pria normal--tentunya Andra pasti sangat menginginkannya. Apa lagi melihat inti Susi yang sudah sangat basah oleh cairannya, Andra benar-benar tidak tahan. Namun, kedu
Rasty benar-benar tak mampu membendung rasa sakit hatinya itu lagi. Riana! Riana! Riana! Dia yakin--kalau hanya nama itu yang menjadi semua akar dari permasalahannya dan Andra. Tak, memperdulikan guncingan orang-orang nanti, tak memperdulikan kehamilannya yang sudah membesar--Rasty kembali mendatangi Wijaya Group. Sengaja datang lebih awal, menunggu kedatangan Rania--yang juga belum menunjukkan batang hidungnya. Rasty benar-benar menebalkan mukanya, tak memperdulikan tatapan para karyawan WG--yang menatapnya seraya berbisik. "Aku nggak perduli kalau sampai Mas Andra, yang semakin membenciku--yang jelas aku harus memberikan pelajaran pada Rania!" geram Rasty dengan wajah yang kian mengeras, bahkan dadanya sampai kembang-kempis akan emosinya yang teramat sangat. Duduk disebuah bangku yang terletak tak jauh dari bibir jalan raya--pandangan Rasty terus dia lemparkan pada arah, di mana biasanya kedatangan Rania. Lama menunggu, sosok yang ditunggu akhirnya datang juga. Rasty bera
Seolah melupakan kesedihan yang tengah dia rasakan--Rania begitu terkejut, bahkan juga shyok saat melihat pemandangan di depan mata. Takut, sesuatu terjadi pada Rasty dan bayinya dengan segera Rania menghampiri Rasty yang terus meringis kesakitan, bahkan telah menangis. Menyentuh pundak Rasty, namun langsung ditepis oleh wanita itu. "Lepaskan! Jangan menyentuhku! Aku tidak sudi disentuh--oleh anak pelacur, dan pembawa sial seperti dirimu!" teriak Rasty dengan nada penuh emosi. Begitu membenci Rania--membuatnya enggan disentuh oleh wanita itu. "Aku juga tidak sudi menolongmu, sebab aku tahu--kau begitu membenciku. Namun, kau harus segera dilarikan ke rumah sakit!" sahut Rania dengan lantang. "Lepaskan! Pergi kau, Rania---Pergi!" teriak Rasty dengan kemarahan semakin menjadi-jadi, wanita itu benar-benar enggan ditolong oleh Rania. Namun, sekejap Rasty berteriak kesakitan--kala merasakan sakit pada perutnya. "Mas, Andra cepat bawa mobil kamu kemari, kita bawa kak Rasty ke rumah sakit
Dahi Rania berkerut samar--pertanyaan yang sang ayah angkat--layangkan menciptakan kebingungan di wajah wanita berusia 25 tahun itu. Rania menatap papa Hendra dengan pandangan yang sangat sulit untuk diartikan. "Andra?" sahut Rania setelah sekian detik lamanya. "Iya. Apakah, kau masih berhubungan dengannya?" tanya Papa Hendra, kedua pualam laki-laki berusia setengah abad itu menatap Rania dengan lekat-lekat. Rania terkekeh tertahan--airmuka tak lagi sama. Ada rasa menggelitik, namun juga marah,"Aku dan Mas Andra, benar-benar sudah berakhir, Paa--, jadi apa yang dituduhkan Mama dan kak Rasty itu sama sekali tidak benar! Aju benar-benar sudah mengikhlaskan Mas Andra untuk kak Rasty!" Rania menekan kata dipenghujung ucapannya, agar Papa Hendra dapat percaya dengan kebenaran yang dia katakan. Airmuka Papa Hendra tak lagi sama. Berarti selama ini kecemburuan putrinya tak beralasan. Rania-anak angkatnya ternyata telah benar-benar berakhir dengan Andra, "Papa mengirah kau dan Andra, diam
Andra mengayunkan langkah kaki--membawa kembali diri pada ruangan yang menjadi ruang operasi sang istri. Dari jauh airmuka itu mendadak berubah begitu dirinya mendapati sang Ibu mertua yang tengah terisak, dan nampak sang ayah mertua sedang berusaha menenangkan. Penasaran--dengan apa yang terjadi, Andra mempercepat langkah kaki itu."Paa, Maa, apa yang terjadi?!" tanya Andra dengan nada suaranya yang menuntut, pria itu menurunkan pandangannya menatap kedua sosok mertua yang duduk disebuah kursi tunggu. Papa Hendra, dan Mama Anita--sontak mengangkat wajah mereka. Airmuka Mama Anita berubah tegang begitu dirinya mendapati keberadaan Andra di depan mata. Menyalahkan atas apa yang terjadi pada putrinya akibat sang menantu, dengan segera Mama Anita bangkit berdiri. Membawa langkah kakinya pada Andra, dan setelah mendekat, wanita paruhbaya itu segera menghadiai pipi Andra dengan sebuah tamparan yang cukup keras.PLAAK!Papa Hendra terperangah--mulutnya setengah terbuka--lelaki paruhbaya it
Hawa dingin yang menyeruak di dalam tubuh, dan pemandangan taman yang menghijau, dengan beraneka bunga yang tersaji di depan mata, mampu membuat suasana hati Rania jauh lebih baik. Setidaknya kesedihan itu sedikit mampu terobati walaupun hanya sesaat saja. "Bagaimana? Apakah, sudah jauh lebih baik?" tanya Devan setelah sekian detik lamanya, dan saat mendapati ice cream milik Rania hanya tersisa setengah saja, Mengulas senyum di wajah, dan bersuara, "Setidaknya suasana hatiku sudah jauh lebih baik," sahut Rania, dan diakhir ucapannya wanita itu kembali menciptakan senyum kecilnya. Hening kembali menyelimuti--kala Devan dan Rania kembali diam, menikmati keindahan taman larut dalam dunianya masing-masing. Begitu menikmati dunia mereka, membuat pasangan suami-istri itu sampai tidak menyadari kalau sedari tadi ada seseorang yang mengabadikan kebersamaan keduanya. Seringai licik tersungging disudut bibir Dion, saat melihat gambar-gambar hasil jepretannya, "Aku tidak bisa membayangka
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j