Masih jelas dalam ingatan Rania--walaupun pertemuan itu hanya sebentar saja bagaimana suara cucu dari Darma Wijaya. Pria itu mengatakan sebuah kalimat yang sama, dan itu terekam dengan jelas dalam ingatan seorang Rania. Lembut, dan berserak persis dengan suara suaminya. Rania ingin menolak untuk mempercayainya--namun suara-suara yang mengatakan kalau Devan--suaminya adalah cucu dari seorang Darma Wijaya, mendengung begitu kuat--namun diri itu masih berusaha untuk tidak mempercayainya. "Nggak mungkin. Nggak mungkin Devan suamiku, adalah cucu dari Darma Wijaya!" gerutu Rania dalam hati, menolak untuk mempercayainya. Namun, mengilas balik keanehan-keanehan yang dia temukan dalam diri Devan selama ini, membuat raut wajah itu kembali bimbang. Uang dua puluh juta. Berbagai makanan enak. Dan, juga apartemen mewah yang mereka tempati saat ini. Semua fakta itu kembali membuat Rania dilema, apakah benar-benar adalah pewaris dari Wijaya Group? Cucu dari Darma Wijaya. Membeo, Rania nampa
Tautan alis kakek Darma menekuk dengan sempurna, sorot mata itu lebih tajam dan dalam menatap sebuah gambar pada layar ponsel anak buahnya. "Siapa wanita ini?" tanya kakek Darma, mendongak menatap anak buahnya yang kini berdiri di depannya. "Dia adalah OG dari Wijaya Group, Tuan. Anda bisa melihat dari pakaian yang dia kenakan," sahut pria berbaju hitam itu dengan nada suaranya yang rendah. Dahi kakek Darma berkerut samar, bahkan kerutan itu menumpuk dengan sangat sempurna--saat rasa terkejut seketika datang dalam diri lelaki tua itu. Mencoba memperbesar tampilan layarnya, dan benar saja kemeja yang digunakan oleh wanita itu sangat tidak asing untuknya."Anak ini benar-benar memalukan! Bahkan gara-gara foto ini membuat orang memuat sebuah berita omong kosong, kalau cucu seorang Darma Wijaya saat ini tengah menjalin hubungan dengan seorang OG. Memalukan!" geram kakek Darma, wajahnya mengeras amarah nyata terlihat di sana. Nada dering yang berasal dari gawainya mengalihkan pandanga
Esok harinya Rania membelalakkan kedua matanya lebar-lebar, bahkan pupil mata itu nyaris melompat dari sarangnya setelah menatap layar ponsel milik Desi, di mana bertuliskan sebuah artikel tentangnya dan cucu, dari Darma Wijaya. CUCU DARI DARMA WIJAYA KINI TENGAH MENJALIN CINTA DENGAN SEORANG OG DARI PERUSAHAAN KAKEKNYA SENDIRI. Rania terkekeh tertahan. Amarah, dan juga shyok melebur jadi satu di dalam diri wanita itu. Apalagi melihat komentar-komentar orang-orang yang menyudutkan dirinya. "Mereka ini pasti penggemar-penggemar berat dari Pak Dev. Kata-kata mereka cukup mengerihkan. Apakah, mereka mengirah aku seperti mereka? Yang begitu mengeluk-ngelukkan Cucu dari Darma Wijaya. Aku sudah bersuami, dan aku bahagia bersamanya. Dan, apakah mereka mengirah cucu dari Darma Wijaya itu sudah nggak waras, mau sama OG seperti aku!" gerutu Rania, dengan wajah masamnya. "Tapi, aku sangat yakin kalau wanita--wanita di luar sana pasti kini sedang mengguncing, karena iri padamu. Hanya seor
Kemarahan Devan telah berada dipuncaknya. Rania yang terus terisak--frustasi memikirkan dirinya yang dipecat membuat Devan tak mampu menahan dirinya untuk segera bertemu dengan sang kakek. Dalam balutan pakaian kasualnya, pria itu setengah berlari saat membawa langkah kakinya menuju lantai bawa. Rania sontak menghentikan tangisan itu, nampak terperanjat saat mendapati Devan yang nampak akan pergi, dan pria itu terlihat terburu-buru. Devan seperti tengah mengejar sesuatu."Devan---." Rania menyeruhkan nama sang suami, pria itu bahkan mengaikan keberadaan dirinya.Pemilik tubuh jangkung itu sontak menghentikan langkah kakinya, dan berbalik menatap Rania, "Apakah kau, akan pergi?" Seolah melupakan kesedihan yang tengah dia rasakan--kini Rania menatap Devan dengan tatapan penasaran."Iya," sahut Devan pendek. Awan hitam kembali ada di wajah Rania. Wajah itu menunduk, airmata kembali luruh membasahi kedua pipi Rania, "Aku sedang bersedih, tapi ini kau malah ingin pergi," lirih Rania, wan
Harapan besar Devan kalau sang kakek mau memperkerjakan kembali Rania. Namun, keras kepala seorang Darma Wijaya, membuat Devan pulang dengan tangan hampa. Devan, dan Deni--kini berada di dalam lift--yang akan membawa kembali kedua pria itu menuju lantai bawa. Berkali-kali Devan menghela napasnya berat--bagaimana bayangan tangiasan Rania melintas dalam ingatannya. Pria itu terlihat uring-uringan, dan apa yang terjadi pada Devan begitu menarik perhatian Deni. "Tuan, anda baik-baik saja?" tanya Deni. Pria itu menatap Devan dengan tatapan penuh perhatian. Devan menghentikan gerakan tangannya. Pria itu sedang memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Memicingkan sepasang mata itu, menatap Deni dengan datar. Devan berbicara setelah beberapa detik kemudian, "Bagaimana aku bisa baik-baik saja. Rania begitu bersedih karena kehilangan pekerjaan ini. Dia terus saja menangis. Gara-gara pemberitaan sialan itu--membuat istriku begitu terus saja menangis hari ini!" umpat Devan, wajah pria i
Suara pintu terbuka membuat Ibu Enda yang tengah fokus pada lembaran yang berada di atas meja--seketika mengangkat pandangannya. Terperangah, bahkan bolamatanya membelalak--wanita bertubuh tambun itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depan matanya kini. Devan Wijaya kini berada di dalam ruangannya. "Bolehkah, saya masuk?" tanya Devan dengan sopan. Namun, suara dan airmuka yang pria itu tunjukkan mampu menciptakan atmosfer yang seketika berbeda di dalam ruangan, tentunya menciptakan ketegangan untuk Ibu Enda. Ibu Enda masih tak memindai pandangannya dari Devan--=namun seketika timbul tanda tanya di dalam diri wanita paruhbaya itu untuk apa cucu--dari Darma Wijaya datang ke ruangannya. "Apakah, saya boleh masuk?" Devan kembali bersuara, saat setelah sekian detik lamanya Ibu Enda mengabaikan keberadaannya. Tersentak, dari lamunan panjang itu--dengan airmuka yang nampak menahan kegugupan Ibu Enda akhirnya bersuara, "Tentu saja-boleh, Pak. Dan, silahkan duduk!" u
Dion begitu fokus pada kegiatannya mengotak-ngatik laptope miliknya. Namun, pandangan itu teralihkan saat terdengar suara ketukan pada pintu ruangan. "Masuk!" ujar Dion dengan setengah teriakkan. Pintu ruangan terbuka lebar. Mendapati kedatangan sosok yang sudah dia tunggu kedatangannya sedari tadi--Dion memutuskan untuk menghentikan kegiatannya dan mematikan laptope itu. Melemparkan pandangannya pada anak buahnya, dan bersuara. "Apakah, kau mendapatkan hasilnya?" tanya Dion dengan suaranya yang datar, pria itu menatap sang anak buah dengan lekat-lekat. "Seperti sesuai dengan kecurigaan anda selama ini, Tuan. Tuan Devan ternyata benar-benar memiliki hubungan dengan OG itu, bahkan keduanya telah menempati satu apartemen," ujar pria itu. Mengambil beberapa langkah, sedikit menunduk--saat meletakkan dua lembar foto di atas meja kerja Dion. Dion--terperangah, sepasang iris hitam pria itu lebih membulat, menatap tidak percaya dengan dua gambar yang berada di depan matanya kini. De
Ternyata ucapan itu hanya sebuah bualan--untuk membuat seorang Darma Wijaya marah. Devan saat ini berada disebuah restorant mewah, yang ada di tengah kota J. Pria bertubuh jangkung itu bertemu dengan seorang wanita muda, yang tak lain adakah karyawati dari Wijaya Group. "Saya sudah mendengarnya dari Pak Deni--dan saya menyetujuinya--asalkan Bapak-berani membayar saya dengan bayaran yang mahal. Saya siap melakukannya!" ujar wanita cantik itu mantap, sorot matanya menatap dengan penuh keyakinan. Devan terkekeh. Kalimat yang baru saja terucap dari mulut wanita di depannya--mampu mengocok perut pria itu. Menyeringai, Devan akhirnya kembali bersuara setelah sekian detik. "Untuk masalah bayarannya--kamu tidak perlu khawatir. Saya akan membayar kamu berkali-kali lipat dari gaji kamu di Wijaya Group, asalkan kamu dapat melakukan tugas ini sampai berhasil. Yaitu, membuat rumah tangga Andra dan istrinya hancur!" Devan menekan kata dipenghujung ucapannya. Sorot matanya menukik tajam, kala
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j