"Maaf, Lin! Sepertinya kita tidak jadi ngontrak rumah!"
Duniaku rasanya runtuh seketika. Aku bahkan enggan memandang wajah Mas Reihan yang tak pernah mampu berkutik, menolak keinginan ibu.
"Kamu nggak keberatan kan, Lin?"
Aku tidak menjawab. "Tentu saja aku keberatan!" gerutuku dalam hati.
"Lin, kamu marah? Kok diem aja, sih?"
Aku yang sedari tadi mengacuhkannya akhirnya kesal dengan pertanyaannya yang tak kunjung peka dengan perasaanku.
"Kamu maunya aku gimana, mas? Senyum? Berterimakasih tinggal lebih lama disini? Kamu lihat dan dengar sendiri kan gimana bencinya ibu sama aku? Apa kamu pikir aku baik-baik aja mas setelah mendengar semua teriakan ibu tentang aku bahkan juga ibuku?" cerocosku panjang lebar. Jangan salahkan aku, mas! Kamu sendiri yang memaksaku bicara!
"Loh, kok, jadi kamu yang nge-gas, sih?" seru Mas Reihan tak terima aku berteriak dengan ketus kepadaya.
"Aku sama ibuku memang miskin, mas! Gak sederajat sama keluarga kamu! Tapi ibuku gak pernah mengemis atau menuntutmu kan? Bahkan dia tidak pernah ikut campur masalah rumah tangga kita. Ibu bahkan tak berani menyampaikan keinginannya padamu, mas, saat rindu dan ingin bertemu denganku dan ingin aku menjenguknya! Tidak seperti ibumu yang selalu ikut campur dalam segala hal bahkan mengatur setiap hal kecil dalam urusan rumah tangga kita. Kamu sadar gak sih, mas?"
"Pelankan suaramu, Lin! Aku tak suka kamu berteriak kepadaku!" bentak Mas Reihan, di luar dugaanku. Bukannya menghiburku yang tengah terluka, Mas Reihan justru menambah beban di hatiku dengan memarahiku.
"Ya sudah, mas! Kamu nggak perlu bertanya apapun lagi sama aku! Aku memang gak pernah punya hak untuk mengutarakan perasaanku disini!" teriakku kesal sambil menangis.
"Apa maksud kamu terus berteriak kepadaku, hah?" tanya Mas Reihan geram hingga mendorong tubuhku ke dinding dan mencengkeram leherku kuat-kuat.
"Mas!" lirihku dengan mata terbelalak karena sesak.
Mas Reihan akhirnya melepaskanku dengan seruan kasar lalu pergi meninggalkan kamar setelah melemparkan gelas hingga pecah dan membanting pintu dengan keras, membuatku tertegun sedikit takut. Raisa bahkan terbangun karena kaget hingga ia menangis.
Mas Reihan benar-benar tak peduli dengan air mataku dan juga air mata anaknya.
Aku kembali nelangsa memikirkan sikap Mas Reihan dan juga ibu mertuaku. Selama ini, aku memang selalu diam tertunduk saat disalahkan. Tapi kali ini aku sudah lelah dan tak tahan harus menahan lebih banyak lagi beban dihatiku yang sudah terlampau penuh.
* * *
Rasanya hidupku semakin tak bergairah. Bi Irah bahkan mengatakan tubuhku semakin kurus dan wajahku semakin pucat. Beruntung, aku punya Raisa yang menjadi sumber kekuatanku untuk terus bertahan menyambung hidup meski batinku terus tersiksa.
Jika tidak ada Raisa, sepertinya hidupku hampa. Mungkin benar yang dikatakan Rena, aku "si putri lilin". Hidup sendirian di tengah kegelapan. Membiarkan waktu terus mengikis usiaku dalam kepahitan. Aku tak mampu menemukan kehidupan lain selain terus-menerus tersiksa dengan membakar diriku sendiri.
Aku menangis sendirian di dapur. Ibu baru saja berangkat ke pengajian setelah merampas milikku yang berharga tanpa rasa bersalah.
"Kamu harus tahu diri, Alina! Reihan itu anak lelaki. Meskipun sudah punya istri, anak lelaki tetap milik ibunya termasuk hartanya sebab selama ibunya masih hidup, anak lelaki bertanggung jawab untuk merawatnya dan membuatnya bahagia. Jadi, sebelum Reihan beliin kamu perhiasan. Dia wajib membelikan untuk ibunya dulu. Jadi satu set perhiasan ini seharusnya milik ibu!"
Aku terkejut mendengarnya. Aku bahkan tidak tahu Mas Reihan membeli satu set perhiasan.
"Gimana cantik kan kalung ibu?" tanyanya menunjukkan kalung berbandul bintang yang indah, kalung yang cantik yang gambarnya pernah kutunjukkan kepada Mas Reihan dulu. Ternyata Mas Reihan masih mengingatnya. Dulu, ia pernah berjanji untuk menghadiahiku kalung bintang tersebut di hari ulang tahunku.
"Ba... bagaimana kalung itu bisa ada di tangan ibu?"
"Reihan cerita mau beliin kamu kalung dan minta antar ibu ke toko emas. Tapi ibu berubah pikiran untuk merahasiakannya darimu sebagai kejutan. Ibu menyukai kalung ini dan kalung ini jadi milik ibu!"
"Tapi, bu! Mas Reihan kan beli itu untuk aku!"
"Oh, jadi kamu nggak mau bikin ibu mertuamu bahagia, hah? Kamu kan bisa minta dia beliin yang baru!"
"Bu! Cukup, bu! Aku sudah lelah dengan semua ini!" teriakku di luar kendali.
Ibu menangis sesenggukan saat tahu Mas Reihan baru saja pulang dan langsung mengadu.
"Reihan, lihat istrimu!" adu ibu sok paling menderita. "Dia membentak ibu karena gak mau berbagi perhiasan yang kamu beliin dengan ibu!"
"Alina! Tolonglah, mengalah demi ibu!" pinta Mas Reihan membuatku muak.
"Baik, bu! Silakan ambil semuanya untuk ibu!" jawabku dengan kesal.
Wajah akting ibu yang tengah menangis berubah sumringah.
"Jangan semuanya, bu! Kasih ke Alina yang Alina suka!"
"Aku minta kalungnya saja, bu!"
"Jangan kalung! Ini aja gelang buat kamu, Lin! Biar tangan kamu tambah cantik pakai gelang ini!" ucap ibu sambil lalu setelah menyerahkan gelang emas berbentuk rantai kecil dengan hiasan bintang di atas meja.
Setelah mengamankan perhiasannya, ibu kembali dan pamit untuk pergi menigisi pengajian.
"Maaf, ya, Lin! Kalungnya diminta ibu! Nanti aku belikan yang baru!"
Aku menangis tersedu di hadapannya sambil membisu. Bukan itu masalahnya tapi percuma menjawabnya. Seperti yang sudah-sudah, setiap aku berdebat dengan ibu, Mas Reihan tak pernah membelaku meskipun jelas-jelas aku yang selalu menjadi korban disini.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Reihan izin ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
"Aku mandi dulu ya, Lin! Udah lengket banget badan aku! Kamu siap-siap ya, kita makan malam di luar!"
Aku hanya bisa menangis sendirian di dapur. Meratapi nasibku yang entah kapan bisa terlepas dari bayang-bayang ibu mertuaku yang terang-terangan memusuhiku.
"Mama! Mamaa!" teriak Raisa menyadarkanku untuk tetap tersenyum.
"Mama nangis lagi?" tanyanya lugu dengan kening berkerut.
"Nggak, sayang! Mama kelilipan tadi! Jadi mata mama perih sampai berair!" ucapku pilu dengan tetap tersenyum.
Raisa tiba-tiba memelukku hingga air mataku tumpah bertambah deras.
"Raisa peluk mama, biar mamah sembuh, gak perih lagi matanya!" celotehnya dengan riang dalam pelukanku.
Aku buru-buru menghapus air mata saat tubuh kecil kesayanganku melepaskan pelukannya. "Pantas mama lama sekali bikinin susunya! Mama matanya perih ya, sakit?" ujarnya dengan lucu membuatku terkekeh.
"Raisa mau bantuin mama bikinin susu punya Raisa?"
Matanya yang bulat, membola dengan lebar pertanda antusias. Raisa lalu belajar menuangkan air ke dalam cangkir dan juga menyendokkan susu bubuk ke dalam cangkirnya. Ia tampak kaget saat tak sengaja menumpahkan susunya hingga berceceran di meja. Ia menatapku dengan tatapan khawatir, takut jika aku akan memarahinya.
"Gak apa-apa sayang, mama tahu kamu gak sengaja tumpahin susunya!" ucapku lembut sambil tersenyum.
Raisa pun tersenyum riang, merasa lega. Ia lalu tak sabar ingin merebut sendok yang kupegang untuk mengaduk susunya sendiri.
"Emh, enak, mama!"
"Wah, Raisa pinter udah bisa bikin susu sendiri!" pujiku sambil mengusap kepalanya dengan bangga.
"Terima kasih, mama! Raisa sayang mama!" ucapnya tulus sambil mencium pipiku.
Aku pun tersenyum kepadanya. Mendadak suhu hatiku yang panas terbakar amarah, berubah sejuk seketika dengan satu kecupan tulus dari anakku.
"Oh, Allah! Terima kasih atas hadiah terindah yang kau titipkan padaku! Aku berjanji akan merawatnya dengan penuh cinta sebagai rasa syukurku kepadaMu!"
"Ayo, berangkat!" ajak Mas Reihan sambil tersenyum melihatku tengah berpelukan erat dengan anak gadisnya yang lucu. "Aku belum siap-siap, mas!" "Aku tunggu di mobil, ya!" ucap Mas Reihan. "Mau pergi, pah?" "Iya sayang, kita ajak ibu pergi makan di luar. Hari ini ibu ulang tahun!" "Oh!" serunya lucu dengan pipi menggembung. "Ayo, nak! kita ganti baju dulu!" * * * "Mas Reihan, terima kasih, banyak!" "Selamat ulang tahun, ya! Kalungmu..." "Sudah jangan dibahas lagi, mas! Mungkin memang belum rezekiku. Aku ridho, mas! Hadiah makan malam tadi sudah cukup untukku!" "Kamu mau apa sebagai hadiah ulang tahunmu? Toko emas jam segini sepertinya sudah tutup." "Tidak perlu, mas!" "Bilang saja mau apa sebelum aku berubah pikiran." Aku menggeleng sambil tersenyum, "Mas juga sudah tahu yang aku inginkan!" "Ngontrak rumah?" tanyanya ragu-ragu. Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Tak apa, mas! Lupakan saja!" ucapku tak ingin merusak suasana bahagia. Mas Reihan terdiam seperti enggan me
Ibu melepas Mas Reihan sambil menangis. "Bu haji, kayak Reihan mau pergi ke luar negeri saja!" goda Mas Reihan membuat ibu tersenyum simpul saat menghapus dua sudut matanya yang basah. Melihatnya bersedih, aku merasa kasihan sama ibu. Ibu posesif begitu karena terlampau menyayangi anaknya. Apalagi bapak sudah meninggalkan ibu lebih dulu. Ibu pasti kesepian dan terlalu khawatir Mas Reihan akan pergi meninggalkannya karena sibuk dengan keluarga barunya. Aku jadi tak tega meninggalkan ibu, tapi jika mengingat semua sikap ibu kepadaku, aku selalu ingin kabur dari rumah ibu. "Ren, kalau nggak sibuk pulang, ya? Mas mau tinggal di rumah kontrakan mulai sekarang!" pinta Mas Reihan di telepon, membuyarkan lamunanku. "Oh, bagus kalau gitu! Mas jadi nggak khawatir karena ibu nggak sendirian!" "Gimana mas?" tanyaku penasaran setelah Mas Reihan menutup teleponnya. "Semua urusan kampus Rena sudah beres! Tinggal nunggu wisuda katanya jadi hari ini dia pulang." "Alhamdulillah, syukurlah kalau
Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi."Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.Aku merai
Berhari-hari di rumah ibu, rasanya aku merasa hampa. Anehnya, aku selalu merasa lunglay dan tak bersemangat entah karena apa. Hatiku selalu merasa tak nyaman dan gelisah."Mas, kenapa ya? Akhir-akhir ini hatiku terasa tak nyaman dan gelisah?" tanyaku tiba-tiba saat Mas Reihan tengah meneguk air putih hingga membuatnya tersedak."Loh, mas, kenapa?" tanyaku heran, Mas Reihan seperti tertangkap basah mencuri segelas air saat aku bertanya kepadanya."Kamu bikin aku kaget!""Hah? Kaget?" tanyaku semakin heran. Perasaan intonasiku bertanya biasa saja. Aku juga dari tadi ada di hadapannya tidak datang tiba-tiba.Aku memandangi Mas Reihan dengan perasaan yang berbeda. Ponselnya beberapa kali berbunyi tanda pesan masuk dan Mas Reihan membacanya sambil senyum-senyum."Baca apa, mas, sampai senyum-senyum?" selidikku agak cemburu.Mas Reihan tidak meresponku. Ia sibuk dengan ponselnya seperti tengah chatting seru dengan seseorang."MAS!"
"Terima kasih, sayang! I love you!" bisik mesra Mas Reihan membuatku bertambah mabuk kepayang."I love you more, sayang!" balasku dengan satu kecupan di bibirnya. Aku tersenyum malu-malu, setelah Mas Reihan bersikap lebih agresif padaku, aku yang awalnya pemalu, kini rasanya menjadi liar.Mas Reihan memelukku erat, menolakku beranjak dari tempat tidur."Tunggu lima menit lagi, Lin!"Aku pun menurut dan mengecupnya sekali lagi membuat Mas Reihan tersenyum dan semakin memelukku erat.Tiba-tiba terdengar dengkuran halus, membuatku tersenyum. Ku usap gurat wajah suamiku yang tampak damai dalam tidurnya."Terima kasih, mas!" gumamku senang.Aku mulai berpikir untuk terus berdamai dengan ibu mertua dan menyenangkan hatinya meskipun kadang bertolak belakang dengan gejolak hatiku. Tak peduli ibu selalu berkata pedas padaku, menganggapku musuh atau saingan, mengambil sesuka hatinya hadiah Mas Reihan untukku, bahkan uang belanja yang ia ambil d
"Alinaaa!!!" teriakan stereo ibu membuatku bergegas menghampirinya, mengabaikan Bi Irah yang masih kesulitan menjelaskan istilah firasat yang kupertanyakan."Iya, bu? Ada apa?" tanyaku panik. Suasana di sekitarku memang selalu berubah mencekam saat sedang berhadapan dengan Ibu mertua."Reihan berangkat ke kantor nggak sarapan dulu?" tanya ibu dengan raut wajah sangar. Maafkan, Bu! Meskipun raut wajah Ibu biasa, tapi aku selalu merasa ibu menatapku dengan horor saking traumanya aku berhadapan dengan Ibu yang terlampau sering mencelaku dan memarahiku."I.. iya, Bu! Mas Reihan nggak sempat sarapan tadi!""Ck!" Ibu berdecak kesal membuatku was-was. "Kamu itu gimana, sih? Reihan itu kerja dari pagi sampai sore buat nafkahin kamu! Kalau dia sakit lagi kayak kemarin gimana? Ibu itu bangun dari jam tiga, bela-belain masak makanan kesukaannya, biar Reihan bisa sarapan dulu di rumah! Kamu tinggal pastiin dia makan aja nggak becus!""Maaf, Bu!" cicit
Mas Reihan dengan posisi agak membelakangiku, belum menyadari hadirku yang sedari tadi memperhatikannya. Ia baru saja membalas ciuman perempuan cantik di hadapannya tanpa rasa canggung sedikit pun, seolah-olah hal itu sudah biasa mereka lakukan. "Mas Reihan!" kataku dengan lirih. "Alina!" serunya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan sebab mataku sudah menganak sungai lebih dulu. "Ka... kamu? Bagaimana ada disini? Sejak kapan?" rentetan pertanyaannya yang terdengar gugup hanya kutanggapi dengan gelengan kepala. Aku berusaha sekuat hati menahan isak tangis agar tak terdengar oleh mereka berdua. Mendadak aku syok dan tidak tahu harus berbuat apa. Kekecewaan dan rasa sakit yang mendominasi membuatku nyaris hilang akal jika tidak kuingat Asma Allah berkali-kali di hatiku. Tanganku yang tengah menggenggam rantang titipan ibu terasa bergetar. Aku meletakkannya di meja dan berbalik arah. Tak kuasa lagi menahan tangis yang semakin sesa
Aku mengipas-ngipaskan tangan di wajahku agar air mataku berhenti. Hatiku yang baru saja terasa lega kini terasa perih kembali. Setiap mengingat bayangan Mas Reihan, wajah perempuan yang sempat kupuji kecantikan dan penampilannya itu kembali berkelebat di benakku hingga air mataku kembali tumpah dan terus tumpah dengan sendirinya tanpa mampu kutahan. Kubasahi wajahku dengan air keran depan rumah untuk menyamarkan air mataku. Setelah agak tenang, baru kuucapkan salam yang langsung disambut riang oleh anakku, Raisa. Air mataku kembali luruh saat melihatnya. Buru-buru kuusap pipiku yang basah, agar tak ada yang menyadarinya. Aku menyerahkan sekantong makanan favorit Raisa yang langsung diterimanya dengan girang saking senangnya. Aku pun tersenyum melihatnya bahagia. Rasanya hatiku yang pilu sedikit terobati. * * * Malamnya Mas Reihan tidak pulang, hatiku bertambah gelisah dan lunglay. Beragam pertanyaan curiga memenuhi isi kepalaku. Apaka