Gosip berhenti karena Mas Reihan pulang.
Aku berubah tegang dan Bi Irah langsung terdiam saat mendengar seseorang berdekhem mendekat.
"Loh, Mas Reihan sudah pulang?" tanyaku dengan senyuman cerah.
Meskipun Mas Reihan tak pernah bersikap manis padaku, apalagi pada saat ada ibu. Tetapi kehadiran Mas Reihan di rumah ini, membuatku merasa jauh lebih tenang.
"Iya, Lin! Ada hal penting yang mau aku bicarakan. Ibu kemana?"
"Ibu sedang ke pengajian." jawabku. "Mas Reihan mau makan?" tanyaku menawarkan.
"Tidak, Lin. Aku masih kenyang. Raisa tidur?"
"Iya, mas!"
Mas Reihan lalu sibuk bertelepon dengan serius saat seseorang menghubunginya.
"Lin, aku sepertinya harus ke kantor lagi! Ada yang harus aku urus. Aku di mutasi kerja ke cabang kantor lain tapi masih di kota ini, sih! Sepertinya setelah selesai urusan di kantor aku mau cari rumah dulu untuk kita kontrak sementara waktu."
"Apa mas?" tanyaku tak percaya dengan mata membola.
"Iya, kita akan mengontrak rumah, Lin! Aku akan cari rumah yang dekat kantor. Nanti setelah aku dapat yang cocok aku ajak kamu untuk melihat, kalau kamu juga cocok kita akan pindah kesana."
"Ya Allah, mas? Ini serius??" tanyaku tak percaya. Seperti mimpi indah di siang bolong.
"Iya, Lin! Akhirnya keinginanmu untuk kita hidup mandiri, bisa terkabul."
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, mas! Selamat juga atas keberhasilanmu, mas! Aku sangat bahagia dan bangga..." ucapku penuh haru. Aku bahkan memeluknya dengan mesra.
Mas Reihan tampak tersenyum senang. Ia lalu pamit setelah teleponnya kembali berdering memintanya segera kembali ke kantor.
Aku pun melepas kepergian Mas Reihan dengan senyum ceria. Tak hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan. Setelah tiga tahun membujuk Mas Reihan untuk tinggal berpisah dari rumah ibu, akhirnya Mas Reihan mau mendengarkan keinginanku.
"Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah, Engkau telah menjawab doaku hari ini." ucapku sambil menangis dalam sujud syukur.
Aku bahkan berteriak girang, memeluk Bi Irah sambil menangis haru. Saking bahagianya, aku berjingkrak-jingkrak, menggenggam tangan Bi Irah yang sudah kuanggap sebagai keluargaku.
"Ya ampun, mbak! Pelan-pelan! Ada apa ini?" tanyanya heran melihatku bahagia seperti orang kesurupan.
"Astagfirullah, maaf, bi! Aku kelewat senang!" ujarku dengan sumringah. "Akhirnya, Mas Reihan mau cari rumah kontrakan, bi!"
"Alhamdulillah, syukur alhamdulillah, mbak! Bibi ikut senang, akhirnya Mbak Alin bisa lebih leluasa dan bahagia tinggal di rumah sendiri, mbak!"
"Iya, bi! Belum pindah aja aku sudah sebahagia ini, ya, bi!" kikikku malu-malu dengan tingkahku yang kekanakkan tadi.
"Ya, pasti, lah, mbak! Suami istri yang sudah menikah itu, pasti impiannya punya rumah sendiri. Lagipula lama-lama tinggal satu atap sama mertua sama ipar itu pasti nggak nyaman."
"Iya, betul, bi! Tapi aku baru mau ngontrak, bi, belum rencana beli rumah... masih harus menabung... apalagi aku nggak kerja...."
"Hush! Rezeki suami istri itu rezeki berdua, mbak! Meskipun Mbak Alin gak kerja, Mbak Alin berjuang di belakang layar, doain suaminya siang-malam biar pintu rezekinya terbuka lebar."
Aku tersenyum mendengar penuturan Bi Irah. "Terima kasih telah menghiburku, bi! Aku pasti bakalan kangen sama bibi...." ucapku membuat Bi Irah tersenyum seolah aku akan pergi jauh saja.
* * *
Malamnya, ibu menceramahiku panjang lebar hingga senyumku yang sepanjang hari ini mekar, layu seketika.
"Kamu sengaja, Lin? Mau ngontrak rumah buat jauhin Reihan dari ibu?" tanya ibu tanpa basa-basi, langsung menohok ke ulu hati.
"Bu! Aku kan udah jelasin, aku di mutasi kerja." jawab Mas Reihan berusaha jujur.
"Diam kamu, Reihan! Jangan sekalipun membela wanita ini di depan ibu kalau kamu gak mau jadi anak durhaka yang tega menyakiti hati ibumu!" pelotot ibu membuat Mas Reihan membisu dan mati kutu.
Aku sudah tak tahan lagi untuk tidak berlari menjauh dari hadapan ibu. Aku ingin menangis dengan keras, kenapa ibu sebenci ini sama aku? Apa salahku?
"Pokoknya ibu nggak setuju!" ucapnya sambil lalu.
"Tapi, bu! Aku sudah mengontrak rumahnya dan membayarnya untuk satu tahun!" timpal Mas Reihan jujur membuat ibu berbalik arah dengan emosi.
Ibu tampak tak mampu berkata-kata. Tatapan tajamnya beralih ke arahku. Aku sampai takut menatapnya hingga kutundukkan wajahku semakin dalam, berusaha menghindari tatapannya yang setajam silet.
"KAMU!" teriak ibu histeris tiba-tiba. "INI SEMUA GARA-GARA KAMU!" tuduhnya lagi ke arahku dengan geram. Suara ibu sampai serak saat berteriak kepadaku.
Tubuhku bergetar ketakutan melihat ibu melotot seperti mau menelanku hidup-hidup. Beruntung Mas Reihan sigap memeluk ibu dari belakang agar menjauh dariku. Aku pun berlari menjauh sambil menangis setelah Mas Reihan mengisyaratkan dengan matanya agar aku segera pergi.
Aku mengunci pintu kamar dan memeluk Raisa yang terlelap dengan tubuh bergetar. Aku menangis sesenggukan saat kudengar teriakan ibu yang tak henti berteriak menyumpah-serapahiku.
"Dari dulu ibu gak pernah setuju kamu menikah dengan wanita miskin itu! Dia itu pakai guna-guna buat pelet kamu, Reihan! Dia hanya ingin menguasai harta kamu!" teriak ibu membuat mataku basah dan hatiku terluka.
"Kenapa kamu nggak mau nurut sama ibu? Menikahi anak gadis Haji Jazuli, Si Juragan Berlian, tetangga kita?"
"Bu! Aku nggak cinta sama si Putri yang gendut itu!"
"Tapi dia kaya raya, Reihan! Hartanya gak akan habis tujuh turunan. Gendut itu gampang tinggal disuruh diet. Tuh lihat, sekarang Si Putri sudah menikah bahkan suaminya langsung dibelikan mobil baru. Ibunya juga pamer sama ibu tadi di pengajian. Dia dihadiahi satu set perhiasan mewah oleh besannya. Bulan madu mereka bahkan umrah sama dua keluarga besar." Jelas ibu panjang lebar dalam satu tarikan nafas.
"Sementara Si Alina dan ibunya yang miskin itu, mereka malah terus mengemis minta dikasihani sama kamu! Boro-boro ngasih kamu hadiah mobil, bisanya cuma minta dan ngabisin duit kamu! Sekarang kamu lihat sendiri kan? Dia mulai berencana jahat. Dia mau jauhin kamu dari ibu! Biar dia bisa puas nikmatin uang jerih payah kamu sendirian!" cerocos ibu panjang lebar membuatku tak kuasa menahan sakit.Bu
Kuremas dadaku berkali-kali agar kuat. "Ibuku bahkan tak pernah meminta apapun pada Mas Reihan. Ibu tega sekali mengatakan sesuatu sejahat itu? Aku memang berasal dari keluarga miskin, bu! Jauh berbeda derajat keluargaku dengan ibu yang serba ada... tapi aku dan ibuku tidak pernah mengemis apapun pada Mas Reihan apalagi pada ibu...." belaku dalam hati.
Ku dengar Mas Reihan tengah berbicara dengan suara tetap lembut. Entah Mas Reihan mengatakan apa, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Lalu kudengar langkah ibu dan Mas Reihan menjauh dari depan kamarku. Sepertinya Mas Reihan berhasil menenangkan ibu.
"Mama? Mama nangis?" tanya Raisa yang tak kusadari terbangun dari tidurnya.
"Maafkan mama, sayang!" ucapku memeluknya penuh sayang. "Mama bangunin kamu tidur, ya?" tanyaku memaksakan tersenyum.
Namun mataku tidak bisa di ajak kompromi. Ia terus mengalirkan air dengan deras.
Raisa bahkan berinisiatif menghapus dua mataku yang terus-menerus basah. Sikap pedulinya membuatku terharu dan ingin memeluknya sekali lagi.
"Terima kasih, sayang!"
Raisa lalu tersenyum lucu, "Mama cantik kalau senyum!" ucapnya dengan bahasa cadel membuatku terhibur.
Kupeluk buah hatiku sekali lagi, dan menjawil hidung mancungnya dengan gemas.
"Mama jangan sedih! Nanti dadaku dan kepalaku pusing!" ucapnya cadel dengan mata berputar-putar menambah gemas raut wajahnya.
"Kok bisa?" tanyaku pura-pura heran.
"Hemh!" jawabnya dengan gaya lucu, mengangkat bahu dan kedua telapak tangannya bersamaan.
Aku pun tertawa melihat tingkah lucunya.
"Aku ingin nangis dan pusing kalau mama sedih!"
"Wah, masa?" tanyaku dengan ekspresi ingin tahu lebih jauh.
"Iya, tapi kalau mama senyum aku suka!" ucapnya dengan lucu.
Aku pun tersenyum dan memeluknya sekali lagi. Mungkinkah ini alasan Raisa terus-menerus rewel saat hati dan jiwaku sedang tidak baik-baik saja? Saat aku bahagia sepanjang hari tadi, aku baru sadar, jika Raisa begitu ceria setelah bangun tidur tadi.
"Tuh kan, mbak! Kalau Mbak Alin bahagia, Non Raisa juga ceria!" ucap Bi Irah yang baru kupahami sekarang saat aku curhat pada Bi Irah tadi siang jika aku mulai lelah karena Raisa terus-terusan rewel.
"Ya jelas, rewel! Lah, mamanya juga dibuat nelangsa terus disini...."
Ku pikir Bi Irah menjawab asal tadi. Monologku dalam hati sambil menepuk jidat.
Aku pun mencium ubun-ubun kepala anakku sambil mendoakan yang baik-baik untuknya. Rasa sayangku kepadanya bertambah lagi ribuan persen. Bahkan saat aku terpuruk setelah harga diriku terinjak, aku masih bisa tersenyum dan terhibur berkat Raisa, anakku.
"Lin!"
Aku segera bergegas membuka kunci pintu.
"Maafkan, mas, Lin! Sepertinya kita tidak jadi ngontrak!"
Rasanya duniaku benar-benar runtuh dalam sekejap.
"Maaf, Lin! Sepertinya kita tidak jadi ngontrak rumah!" Duniaku rasanya runtuh seketika. Aku bahkan enggan memandang wajah Mas Reihan yang tak pernah mampu berkutik, menolak keinginan ibu. "Kamu nggak keberatan kan, Lin?" Aku tidak menjawab. "Tentu saja aku keberatan!" gerutuku dalam hati. "Lin, kamu marah? Kok diem aja, sih?" Aku yang sedari tadi mengacuhkannya akhirnya kesal dengan pertanyaannya yang tak kunjung peka dengan perasaanku. "Kamu maunya aku gimana, mas? Senyum? Berterimakasih tinggal lebih lama disini? Kamu lihat dan dengar sendiri kan gimana bencinya ibu sama aku? Apa kamu pikir aku baik-baik aja mas setelah mendengar semua teriakan ibu tentang aku bahkan juga ibuku?" cerocosku panjang lebar. Jangan salahkan aku, mas! Kamu sendiri yang memaksaku bicara! "Loh, kok, jadi kamu yang nge-gas, sih?" seru Mas Reihan tak terima aku berteriak dengan ketus kepadaya. "Aku sama ibuku memang miskin, mas! Gak sederajat sama keluarga kamu! Tapi ibuku gak pernah mengemis atau m
"Ayo, berangkat!" ajak Mas Reihan sambil tersenyum melihatku tengah berpelukan erat dengan anak gadisnya yang lucu. "Aku belum siap-siap, mas!" "Aku tunggu di mobil, ya!" ucap Mas Reihan. "Mau pergi, pah?" "Iya sayang, kita ajak ibu pergi makan di luar. Hari ini ibu ulang tahun!" "Oh!" serunya lucu dengan pipi menggembung. "Ayo, nak! kita ganti baju dulu!" * * * "Mas Reihan, terima kasih, banyak!" "Selamat ulang tahun, ya! Kalungmu..." "Sudah jangan dibahas lagi, mas! Mungkin memang belum rezekiku. Aku ridho, mas! Hadiah makan malam tadi sudah cukup untukku!" "Kamu mau apa sebagai hadiah ulang tahunmu? Toko emas jam segini sepertinya sudah tutup." "Tidak perlu, mas!" "Bilang saja mau apa sebelum aku berubah pikiran." Aku menggeleng sambil tersenyum, "Mas juga sudah tahu yang aku inginkan!" "Ngontrak rumah?" tanyanya ragu-ragu. Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Tak apa, mas! Lupakan saja!" ucapku tak ingin merusak suasana bahagia. Mas Reihan terdiam seperti enggan me
Ibu melepas Mas Reihan sambil menangis. "Bu haji, kayak Reihan mau pergi ke luar negeri saja!" goda Mas Reihan membuat ibu tersenyum simpul saat menghapus dua sudut matanya yang basah. Melihatnya bersedih, aku merasa kasihan sama ibu. Ibu posesif begitu karena terlampau menyayangi anaknya. Apalagi bapak sudah meninggalkan ibu lebih dulu. Ibu pasti kesepian dan terlalu khawatir Mas Reihan akan pergi meninggalkannya karena sibuk dengan keluarga barunya. Aku jadi tak tega meninggalkan ibu, tapi jika mengingat semua sikap ibu kepadaku, aku selalu ingin kabur dari rumah ibu. "Ren, kalau nggak sibuk pulang, ya? Mas mau tinggal di rumah kontrakan mulai sekarang!" pinta Mas Reihan di telepon, membuyarkan lamunanku. "Oh, bagus kalau gitu! Mas jadi nggak khawatir karena ibu nggak sendirian!" "Gimana mas?" tanyaku penasaran setelah Mas Reihan menutup teleponnya. "Semua urusan kampus Rena sudah beres! Tinggal nunggu wisuda katanya jadi hari ini dia pulang." "Alhamdulillah, syukurlah kalau
Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi."Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.Aku merai
Berhari-hari di rumah ibu, rasanya aku merasa hampa. Anehnya, aku selalu merasa lunglay dan tak bersemangat entah karena apa. Hatiku selalu merasa tak nyaman dan gelisah."Mas, kenapa ya? Akhir-akhir ini hatiku terasa tak nyaman dan gelisah?" tanyaku tiba-tiba saat Mas Reihan tengah meneguk air putih hingga membuatnya tersedak."Loh, mas, kenapa?" tanyaku heran, Mas Reihan seperti tertangkap basah mencuri segelas air saat aku bertanya kepadanya."Kamu bikin aku kaget!""Hah? Kaget?" tanyaku semakin heran. Perasaan intonasiku bertanya biasa saja. Aku juga dari tadi ada di hadapannya tidak datang tiba-tiba.Aku memandangi Mas Reihan dengan perasaan yang berbeda. Ponselnya beberapa kali berbunyi tanda pesan masuk dan Mas Reihan membacanya sambil senyum-senyum."Baca apa, mas, sampai senyum-senyum?" selidikku agak cemburu.Mas Reihan tidak meresponku. Ia sibuk dengan ponselnya seperti tengah chatting seru dengan seseorang."MAS!"
"Terima kasih, sayang! I love you!" bisik mesra Mas Reihan membuatku bertambah mabuk kepayang."I love you more, sayang!" balasku dengan satu kecupan di bibirnya. Aku tersenyum malu-malu, setelah Mas Reihan bersikap lebih agresif padaku, aku yang awalnya pemalu, kini rasanya menjadi liar.Mas Reihan memelukku erat, menolakku beranjak dari tempat tidur."Tunggu lima menit lagi, Lin!"Aku pun menurut dan mengecupnya sekali lagi membuat Mas Reihan tersenyum dan semakin memelukku erat.Tiba-tiba terdengar dengkuran halus, membuatku tersenyum. Ku usap gurat wajah suamiku yang tampak damai dalam tidurnya."Terima kasih, mas!" gumamku senang.Aku mulai berpikir untuk terus berdamai dengan ibu mertua dan menyenangkan hatinya meskipun kadang bertolak belakang dengan gejolak hatiku. Tak peduli ibu selalu berkata pedas padaku, menganggapku musuh atau saingan, mengambil sesuka hatinya hadiah Mas Reihan untukku, bahkan uang belanja yang ia ambil d
"Alinaaa!!!" teriakan stereo ibu membuatku bergegas menghampirinya, mengabaikan Bi Irah yang masih kesulitan menjelaskan istilah firasat yang kupertanyakan."Iya, bu? Ada apa?" tanyaku panik. Suasana di sekitarku memang selalu berubah mencekam saat sedang berhadapan dengan Ibu mertua."Reihan berangkat ke kantor nggak sarapan dulu?" tanya ibu dengan raut wajah sangar. Maafkan, Bu! Meskipun raut wajah Ibu biasa, tapi aku selalu merasa ibu menatapku dengan horor saking traumanya aku berhadapan dengan Ibu yang terlampau sering mencelaku dan memarahiku."I.. iya, Bu! Mas Reihan nggak sempat sarapan tadi!""Ck!" Ibu berdecak kesal membuatku was-was. "Kamu itu gimana, sih? Reihan itu kerja dari pagi sampai sore buat nafkahin kamu! Kalau dia sakit lagi kayak kemarin gimana? Ibu itu bangun dari jam tiga, bela-belain masak makanan kesukaannya, biar Reihan bisa sarapan dulu di rumah! Kamu tinggal pastiin dia makan aja nggak becus!""Maaf, Bu!" cicit
Mas Reihan dengan posisi agak membelakangiku, belum menyadari hadirku yang sedari tadi memperhatikannya. Ia baru saja membalas ciuman perempuan cantik di hadapannya tanpa rasa canggung sedikit pun, seolah-olah hal itu sudah biasa mereka lakukan. "Mas Reihan!" kataku dengan lirih. "Alina!" serunya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan sebab mataku sudah menganak sungai lebih dulu. "Ka... kamu? Bagaimana ada disini? Sejak kapan?" rentetan pertanyaannya yang terdengar gugup hanya kutanggapi dengan gelengan kepala. Aku berusaha sekuat hati menahan isak tangis agar tak terdengar oleh mereka berdua. Mendadak aku syok dan tidak tahu harus berbuat apa. Kekecewaan dan rasa sakit yang mendominasi membuatku nyaris hilang akal jika tidak kuingat Asma Allah berkali-kali di hatiku. Tanganku yang tengah menggenggam rantang titipan ibu terasa bergetar. Aku meletakkannya di meja dan berbalik arah. Tak kuasa lagi menahan tangis yang semakin sesa