"Terima kasih, sayang! I love you!" bisik mesra Mas Reihan membuatku bertambah mabuk kepayang.
"I love you more, sayang!" balasku dengan satu kecupan di bibirnya. Aku tersenyum malu-malu, setelah Mas Reihan bersikap lebih agresif padaku, aku yang awalnya pemalu, kini rasanya menjadi liar.
Mas Reihan memelukku erat, menolakku beranjak dari tempat tidur.
"Tunggu lima menit lagi, Lin!"
Aku pun menurut dan mengecupnya sekali lagi membuat Mas Reihan tersenyum dan semakin memelukku erat.
Tiba-tiba terdengar dengkuran halus, membuatku tersenyum. Ku usap gurat wajah suamiku yang tampak damai dalam tidurnya.
"Terima kasih, mas!" gumamku senang.
Aku mulai berpikir untuk terus berdamai dengan ibu mertua dan menyenangkan hatinya meskipun kadang bertolak belakang dengan gejolak hatiku. Tak peduli ibu selalu berkata pedas padaku, menganggapku musuh atau saingan, mengambil sesuka hatinya hadiah Mas Reihan untukku, bahkan uang belanja yang ia ambil d
"Alinaaa!!!" teriakan stereo ibu membuatku bergegas menghampirinya, mengabaikan Bi Irah yang masih kesulitan menjelaskan istilah firasat yang kupertanyakan."Iya, bu? Ada apa?" tanyaku panik. Suasana di sekitarku memang selalu berubah mencekam saat sedang berhadapan dengan Ibu mertua."Reihan berangkat ke kantor nggak sarapan dulu?" tanya ibu dengan raut wajah sangar. Maafkan, Bu! Meskipun raut wajah Ibu biasa, tapi aku selalu merasa ibu menatapku dengan horor saking traumanya aku berhadapan dengan Ibu yang terlampau sering mencelaku dan memarahiku."I.. iya, Bu! Mas Reihan nggak sempat sarapan tadi!""Ck!" Ibu berdecak kesal membuatku was-was. "Kamu itu gimana, sih? Reihan itu kerja dari pagi sampai sore buat nafkahin kamu! Kalau dia sakit lagi kayak kemarin gimana? Ibu itu bangun dari jam tiga, bela-belain masak makanan kesukaannya, biar Reihan bisa sarapan dulu di rumah! Kamu tinggal pastiin dia makan aja nggak becus!""Maaf, Bu!" cicit
Mas Reihan dengan posisi agak membelakangiku, belum menyadari hadirku yang sedari tadi memperhatikannya. Ia baru saja membalas ciuman perempuan cantik di hadapannya tanpa rasa canggung sedikit pun, seolah-olah hal itu sudah biasa mereka lakukan. "Mas Reihan!" kataku dengan lirih. "Alina!" serunya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan sebab mataku sudah menganak sungai lebih dulu. "Ka... kamu? Bagaimana ada disini? Sejak kapan?" rentetan pertanyaannya yang terdengar gugup hanya kutanggapi dengan gelengan kepala. Aku berusaha sekuat hati menahan isak tangis agar tak terdengar oleh mereka berdua. Mendadak aku syok dan tidak tahu harus berbuat apa. Kekecewaan dan rasa sakit yang mendominasi membuatku nyaris hilang akal jika tidak kuingat Asma Allah berkali-kali di hatiku. Tanganku yang tengah menggenggam rantang titipan ibu terasa bergetar. Aku meletakkannya di meja dan berbalik arah. Tak kuasa lagi menahan tangis yang semakin sesa
Aku mengipas-ngipaskan tangan di wajahku agar air mataku berhenti. Hatiku yang baru saja terasa lega kini terasa perih kembali. Setiap mengingat bayangan Mas Reihan, wajah perempuan yang sempat kupuji kecantikan dan penampilannya itu kembali berkelebat di benakku hingga air mataku kembali tumpah dan terus tumpah dengan sendirinya tanpa mampu kutahan. Kubasahi wajahku dengan air keran depan rumah untuk menyamarkan air mataku. Setelah agak tenang, baru kuucapkan salam yang langsung disambut riang oleh anakku, Raisa. Air mataku kembali luruh saat melihatnya. Buru-buru kuusap pipiku yang basah, agar tak ada yang menyadarinya. Aku menyerahkan sekantong makanan favorit Raisa yang langsung diterimanya dengan girang saking senangnya. Aku pun tersenyum melihatnya bahagia. Rasanya hatiku yang pilu sedikit terobati. * * * Malamnya Mas Reihan tidak pulang, hatiku bertambah gelisah dan lunglay. Beragam pertanyaan curiga memenuhi isi kepalaku. Apaka
"Mama kenapa kaget?" tanya Raisa dengan polosnya. Aku tergugu dan menangis. "Mama kenapa nangis?" tanyanya lagi, mengusap pipiku yang basah membuat hatiku yang terluka bertambah sedih. "Nggak apa-apa, sayang!" ucapku berusaha tenang, memeluk tubuh kecilnya agar aku kuat. "Mama sedih karena kamu sedih. Kamu nggak suka punya dua mama?" tanyaku berusaha menyembunyikan isak tangis. "Nggak, Ma! Mama aku cuma satu Mama Alina aja! Aku nggak mau punya mama kayak Tante Jahat itu!" jawabnya dengan lugu membuatku terenyuh. "Tante itu jahat, Ma! Tadi aja dia pelototin aku sama cubit aku!" ucapnya membuat dadaku emosi. "Lho, kenapa?" tanyaku berusaha terlihat biasa. "Tante itu bilang kalau aku bilang sama papa nggak mau punya dua mama nanti tante cubit kayak gini!" ucapnya mencontohkan mencubit lengannya sendiri membuat amarahku benar-benar memuncak. "Dasar perempuan tak tahu diri!" umpatku dalam hati. "ALINA!" teriak Mas Reihan di ambang pintu membuatku dan Raisa spontan menatap ke arahny
"Mas Reihan!" aku buru-buru menghampirinya saat melihat dirinya akhirnya pulang. "Apa lagi, sih?" jawabnya ketus. Padahal aku menunggunya pulang selarut ini sampai tidak bisa tidur. Dan ini yang kudapati darinya? Jawaban ketus! Sementara di hadapan perempuan lain, dia bersikap lembut bahkan membelanya mati-matian. "Aku hanya ingin tahu! Apa yang dikatakan Ibu tentang laporan ke polisi..." "Iya, itu benar! Tapi tenang saja aku berhasil membujuk Karina untuk mencabut laporannya!" ucapnya dengan binar bangga. "Apa maksudnya dengan raut wajah bangga itu? Apa membujuk Karina adalah suatu prestasi?" keluhku dalam hati. "Kenapa malah bengong?" tanyanya membuyarkan tanda tanya besar yang berlarian di kepalaku. "Ish! Ditanya malah natap aku kayak begitu!" keluhnya saat melihat mataku yang spontan menatapnya setajam silet. Iya lah, aku lagi kesal! "Kamu harusnya bilang makasih, apa ke... udah ditolongin juga! Kalau nggak, kamu udah tidur di sel malam ini, tahu!" ucapnya sambil tertawa r
"Kamu nguping?" todong Ibu membuatku terkejut. "Eh, Ibu! Sejak kapan Ibu ada di situ?" tanyaku dengan gugup. "Hhhh!" senyumnya dengan sinis, meninggalkanku begitu saja. Aku hanya mengelus dada dengan lega, Ibu tidak berkomentar apapun tentang diriku. Diam-diam aku berterima kasih pada Ibu, karena Ibu mendukungku meskipun tidak menunjukkannya secara langsung. Ya, meskipun aku tahu satu hal yang baru jika Mas Reihan menunda menikahi Karina tidak semata-mata karena menunggu izinku, tetapi dia menunggu restu Ibu. Mas Reihan mana berani melawan Ibu! *** "Cepat izinin aku, Alina!" paksa Mas Reihan membuatku terluka. Ia sengaja mencengkeram tanganku di hadapan si perempuan hina yang kini tersenyum sambil bersedekap. "Apa susahnya sih, Mbak tinggal kasih izin aja, beres, kan?" tanyanya dengan santai. Ingin rasanya aku merobek mulutnya yang nista itu! Mas Reihan sampai membohongiku, berpura-pura mengajakku jalan-jalan ya
"Bu, aku mau bicara!" pinta Reihan yang langsung ibunya tanggapi dengan wajah tak suka. "Kalau mau bicara, ya tinggal bicara aja!" jawab Ibu agak ketus. "Ekhem! Ibu kok judes banget, sih!" rayu Reihan berusaha mencairkan suasana. "Tapi Ibu tetap cantik kok meski jutek!" godanya yang langsung Ibu tepis tangannya agar menjauh darinya. "Ibu lagi nggak mau bercanda, Reihan!" tolaknya dengan tegas. "Aku juga nggak lagi bercanda, Bu! Ibu memang cantik dan awet muda apalagi kalau pasang wajah sebal gitu sama aku, tambah gemas!" kikik Reihan membuat Ibu melotot. Reihan pun pura-pura kaget lalu tertawa kecil, menggoda ibunya yang kentara betul masih sebal kepadanya. Kesal dengan sikap main-main Reihan, Ibu memilih bangkit dan meninggalkannya tanpa menanggapinya. "Bu, tunggu, Bu! Aku minta maaf, Bu!" ujarnya sembari mengusap wajahnya, menyesal telah membercandai ib
"Kamu yakin dengan keputusan kamu menikahi perempuan itu?" tanya Ibu dengan nada tinggi, membuatku mendongak.Hatiku mendadak was-was menunggu kalimat Ibu berikutnya. Apakah Ibu akan merestuinya? Oh, tidak! Kecemasan tingkat tinggi mulai menyerangku."Yakin, Bu! Aku rasa Karina akan menjadi pendamping yang lebih baik dari Alina!" tutur Mas Reihan membuatku terluka. Rasanya sakit sekali dibandingkan kalah telak dengan si pelakor itu oleh suamiku sendiri."Mas Reihan tega sekali!" sedihku kian berlarut-larut."Kamu tahu dari mana si perempuan itu bakal lebih baik dari istrimu?" tanya Ibu dengan nada meragukan."Karina, Bu! Dia punya nama!" ralat Mas Reihan membuatku kesal."Bela terus, Mas! Bela dia terus sampai mampus!" keluhku penuh emosi."Iya lah itu!" jawab Ibu asal. Kentara betul dari nada Ibu bicara jika ia sebetulnya tak suka