"Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"
"Apa mas? Kembali ke rumah ibu?" tanyaku setengah hati, berusaha menyembunyikan nada kesal yang kutahan susah payah. "Iya, Lin! Ibu katanya nggak tenang kalau kita jauh!" "Ibu yang nggak tenang atau kamu yang nggak bisa jauh dari ibu, mas?" tanyaku agak ketus sebab aku hanya bisa mengeluh dalam hati. Suamiku yang berusia jauh lima tahun diatasku masih saja bergantung pada ibunya bahkan setelah kami punya anak. "Kok gitu sih, Lin? Kamu nggak sayang sama ibuku, ya?" tanya Reihan sangat kekanak-kanakkan membuat dadaku seketika memanas. "Dia ibu yang melahirkan aku, Lin! Tanpa dia belum tentu aku ada disini, bisa nikahin kamu dan nafkahin kamu." cerocosnya panjang lebar membuatku geleng-geleng. "Kamu lupa apa yang dikatakan ibuku? Anak laki-laki itu milik ibunya! Surganya ada di telapak kakinya. Kamu keberatan kalau suamimu berusaha berbakti sama ibunya?" Aku beristighfar dalam hati. Menahan gejolak di hati yang semakin membara. "Sabar, Alina, sabar!" gumamku menenangkan dalam hati. S
Dadaku perih melihat senyuman sebelah ibu yang tampak jelas diwajahnya. Itu seperti isyarat yang terang jika ibu bahagia di atas penderitaanku. "Sampai kapanpun, kau tak akan bisa mengalahkan posisi ibu di hati Reihan, Alina!" Ibu seolah berkata begitu dengan bahasa tubuhnya padaku. Harga diriku rasanya benar-benar terhempas di hadapan ibu. Pertahananku untuk berdiri tegar rasanya runtuh setiap kali Mas Reihan membentakku dan menghinaku di depan ibu. Setelah puas meluapkan amarahnya padaku, Mas Reihan kembali ke kamarnya, melanjutkan tidurnya yang terganggu. Melihat anaknya telah menghilang dari hadapan, ibu buru-buru menurunkan Raisa dan bersikap kembali acuh meskipun Raisa merengek masih ingin di gendong olehnya. "Nenek harus pergi! Ada pengajian. Raisa jangan rewel! Pusing nenek denger kamu nangis terus. Kasian papa kamu tidurnya keganggu." Aku buru-buru meraih anakku dan memeluknya. Mataku kembali mengembun, menyaksikan keinginan anakku untuk memeluk neneknya ditolak terang-
Gosip berhenti karena Mas Reihan pulang. Aku berubah tegang dan Bi Irah langsung terdiam saat mendengar seseorang berdekhem mendekat. "Loh, Mas Reihan sudah pulang?" tanyaku dengan senyuman cerah. Meskipun Mas Reihan tak pernah bersikap manis padaku, apalagi pada saat ada ibu. Tetapi kehadiran Mas Reihan di rumah ini, membuatku merasa jauh lebih tenang. "Iya, Lin! Ada hal penting yang mau aku bicarakan. Ibu kemana?" "Ibu sedang ke pengajian." jawabku. "Mas Reihan mau makan?" tanyaku menawarkan. "Tidak, Lin. Aku masih kenyang. Raisa tidur?" "Iya, mas!" Mas Reihan lalu sibuk bertelepon dengan serius saat seseorang menghubunginya. "Lin, aku sepertinya harus ke kantor lagi! Ada yang harus aku urus. Aku di mutasi kerja ke cabang kantor lain tapi masih di kota ini, sih! Sepertinya setelah selesai urusan di kantor aku mau cari rumah dulu untuk kita kontrak sementara waktu." "Apa mas?" tanyaku tak percaya dengan mata membola. "Iya, kita akan mengontrak rumah, Lin! Aku akan cari rum
"Maaf, Lin! Sepertinya kita tidak jadi ngontrak rumah!" Duniaku rasanya runtuh seketika. Aku bahkan enggan memandang wajah Mas Reihan yang tak pernah mampu berkutik, menolak keinginan ibu. "Kamu nggak keberatan kan, Lin?" Aku tidak menjawab. "Tentu saja aku keberatan!" gerutuku dalam hati. "Lin, kamu marah? Kok diem aja, sih?" Aku yang sedari tadi mengacuhkannya akhirnya kesal dengan pertanyaannya yang tak kunjung peka dengan perasaanku. "Kamu maunya aku gimana, mas? Senyum? Berterimakasih tinggal lebih lama disini? Kamu lihat dan dengar sendiri kan gimana bencinya ibu sama aku? Apa kamu pikir aku baik-baik aja mas setelah mendengar semua teriakan ibu tentang aku bahkan juga ibuku?" cerocosku panjang lebar. Jangan salahkan aku, mas! Kamu sendiri yang memaksaku bicara! "Loh, kok, jadi kamu yang nge-gas, sih?" seru Mas Reihan tak terima aku berteriak dengan ketus kepadaya. "Aku sama ibuku memang miskin, mas! Gak sederajat sama keluarga kamu! Tapi ibuku gak pernah mengemis atau m
"Ayo, berangkat!" ajak Mas Reihan sambil tersenyum melihatku tengah berpelukan erat dengan anak gadisnya yang lucu. "Aku belum siap-siap, mas!" "Aku tunggu di mobil, ya!" ucap Mas Reihan. "Mau pergi, pah?" "Iya sayang, kita ajak ibu pergi makan di luar. Hari ini ibu ulang tahun!" "Oh!" serunya lucu dengan pipi menggembung. "Ayo, nak! kita ganti baju dulu!" * * * "Mas Reihan, terima kasih, banyak!" "Selamat ulang tahun, ya! Kalungmu..." "Sudah jangan dibahas lagi, mas! Mungkin memang belum rezekiku. Aku ridho, mas! Hadiah makan malam tadi sudah cukup untukku!" "Kamu mau apa sebagai hadiah ulang tahunmu? Toko emas jam segini sepertinya sudah tutup." "Tidak perlu, mas!" "Bilang saja mau apa sebelum aku berubah pikiran." Aku menggeleng sambil tersenyum, "Mas juga sudah tahu yang aku inginkan!" "Ngontrak rumah?" tanyanya ragu-ragu. Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Tak apa, mas! Lupakan saja!" ucapku tak ingin merusak suasana bahagia. Mas Reihan terdiam seperti enggan me
Ibu melepas Mas Reihan sambil menangis. "Bu haji, kayak Reihan mau pergi ke luar negeri saja!" goda Mas Reihan membuat ibu tersenyum simpul saat menghapus dua sudut matanya yang basah. Melihatnya bersedih, aku merasa kasihan sama ibu. Ibu posesif begitu karena terlampau menyayangi anaknya. Apalagi bapak sudah meninggalkan ibu lebih dulu. Ibu pasti kesepian dan terlalu khawatir Mas Reihan akan pergi meninggalkannya karena sibuk dengan keluarga barunya. Aku jadi tak tega meninggalkan ibu, tapi jika mengingat semua sikap ibu kepadaku, aku selalu ingin kabur dari rumah ibu. "Ren, kalau nggak sibuk pulang, ya? Mas mau tinggal di rumah kontrakan mulai sekarang!" pinta Mas Reihan di telepon, membuyarkan lamunanku. "Oh, bagus kalau gitu! Mas jadi nggak khawatir karena ibu nggak sendirian!" "Gimana mas?" tanyaku penasaran setelah Mas Reihan menutup teleponnya. "Semua urusan kampus Rena sudah beres! Tinggal nunggu wisuda katanya jadi hari ini dia pulang." "Alhamdulillah, syukurlah kalau
Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi."Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.Aku merai