Ibu melepas Mas Reihan sambil menangis.
"Bu haji, kayak Reihan mau pergi ke luar negeri saja!" goda Mas Reihan membuat ibu tersenyum simpul saat menghapus dua sudut matanya yang basah.
Melihatnya bersedih, aku merasa kasihan sama ibu. Ibu posesif begitu karena terlampau menyayangi anaknya. Apalagi bapak sudah meninggalkan ibu lebih dulu. Ibu pasti kesepian dan terlalu khawatir Mas Reihan akan pergi meninggalkannya karena sibuk dengan keluarga barunya.
Aku jadi tak tega meninggalkan ibu, tapi jika mengingat semua sikap ibu kepadaku, aku selalu ingin kabur dari rumah ibu.
"Ren, kalau nggak sibuk pulang, ya? Mas mau tinggal di rumah kontrakan mulai sekarang!" pinta Mas Reihan di telepon, membuyarkan lamunanku.
"Oh, bagus kalau gitu! Mas jadi nggak khawatir karena ibu nggak sendirian!"
"Gimana mas?" tanyaku penasaran setelah Mas Reihan menutup teleponnya.
"Semua urusan kampus Rena sudah beres! Tinggal nunggu wisuda katanya jadi hari ini dia pulang."
"Alhamdulillah, syukurlah kalau gitu mas, ibu nggak sendirian!"
Mas Reihan hanya mengangguk menanggapinya.
"Emh, mas, kalau boleh tahu ibu tadi pesan apa? Kok sampai bisik-bisik segala?" tanyaku penasaran.
"Oh, itu! Ibu minta aku jangan terlalu baik dan perhatian sama kamu nanti kamu ngelunjak katanya!" ucap Mas Reihan datar seolah tanpa beban.
"APA MAS?" seruku dengan dada memanas. "Kok bisa ibu berpesan begitu?" Jelas, aku merasa ibu tak adil padaku.
"Kan kamu kalau takut, nggak akan berani bantah dan manut-manut aja! Nah ibu minta aku didik kamu jadi istri penurut!" jelasnya datar.
Dadaku langsung bergemuruh. Tak habis pikir dengan ibu mertuaku yang sampai hati punya pikiran seperti itu? Ibu kan perempuan, tidakkah ibu bisa peka dan mampu meraba perasaan sesama perempuan?
"Ibu kok tega sih, mas, bilang begitu?" sesalku kecewa setengah mati. Padahal baru saja aku bersimpati padanya.
"Udah biarin aja! Nanti lagi kalau ibu minta apa-apa sama kamu, kamu nurut aja. Kamu harus belajar buat bisa ambil hati ibu, Lin!"
Aku cemberut mendengar Mas Reihan lebih membela ibu dibanding aku. Padahal jelas-jelas disini aku yang jadi korban! Tapi sudahlah, kadang Mas Reihan sama ibu sama saja. Berdebat dengan mereka yang ada membuatku terlihat semakin salah.
* * *
Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal. Beres-beres rumah dengan semangat, masak dengan semangat, semuanya seperti aku melakukannya dengan senang hati. Tidak seperti saat di rumah ibu aku melakukannya karena ada rasa segan dan tak enak sama ibu.
"Ceria banget!" tanya Mas Reihan melihat wajahku sumringah seperti bunga yang baru mekar.
Aku hanya tersenyum lebar menjawabnya.
"Gitu dong, ceria! Aku jadi tambah semangat lihat kamu senyum!" ucap Mas Reihan jujur.
Mas Reihan tidak pernah menggombal. Apa yang diucapkannya selalu jujur menyampaikan isi hatinya. Bahkan Mas Reihan selalu jujur saat aku bertanya tentang apapun. Termasuk pertanyaan satu ini yang sering membuatku dongkol.
"Apa ibu tadi menjelekkan aku lagi, mas?"
"Iya, katanya kamu lelet dan agak telmi (telat mikir) kalau disuruh racik bumbu masak." ucapnya datar.
Aku cemberut dan dongkol.
"Ibu tadi ngomongin aku, mas?"
"Iya, katanya kamu lelet kalau beres-beres rumah dan masih kelihatan berantakan!" jawabnya jujur.
Aku cemberut lagi dan kesal.
"Ibu bilang apa, mas?"
"Jangan manjain kamu, nanti kamu manja dan ngelunjak! Sekarang aja ibu kasih tahu udah berani bantah!" jawab Mas Reihan apa adanya membuat dadaku kembang-kempis menahan emosi.
Mengingat kejujurannya yang terlalu apa adanya, aku jadi penasaran dan ingin bertanya lagi padanya, "Memang wajahku biasanya gimana, mas?"
"Cemberut, merajuk, atau nangis mulu. Pokoknya bikin aku kadang lihat kamu jadi badmood!"
"Yang benar, mas?" tanyaku merasa bodoh.
"Iya, aku lebih suka lihat wajah kamu yang ceria seperti sekarang!" ucapnya datar, tak ada maksud memuji, tapi sukses bikin hatiku melayang.
"Mas mau makan sekarang?"
"Boleh! Kamu masak apa?"
"Sop Iga!"
"Wah mantap, mau dong!"
"Raisa, sayang, ayo, makan sama-sama!"
"Oke, mama!" jawab Raisa yang tengah anteng mewarnai buku bergambarnya yang baru.
Aku pun menyendokkan nasi ke piring suamiku dan ke piringku. Aku selalu makan sepiring berdua dengan Raisa.
Aku tersenyum tanpa henti, hampir empat tahun aku menanti momen indah seperti saat ini. Bertiga di meja makan, suami dan anakku lahap menikmati masakanku dan berceloteh sambil tertawa riang. Oh, indahnya... mimpiku yang sederhana akhirnya terwujud saat ini dan aku sangat bahagia.
"Emh!" seru Mas Reihan dan juga Raisa hampir bersamaan.
"Kenapa mas?"
"Aneh!" serunya sambil tertawa.
"Asin banget!" ungkap Raisa.
Aku pun penasaran mencobanya. Perasaan tadi rasanya udah pas, cuma waktu aku tambahin merica, tak sengaja kebanyakan jadi terpaksa kutambahkan gula cukup banyak buat ngurangin rasa pedasnya. Eh, malah rasanya berubah manis. Terus kutambahkan garam dan bumbu kaldu agak banyak untuk mensiasatinya.
"Asin! Aneh!" seruku lagi dengan kening berkerut. Lidahku bahkan terasa masih kesat saking asinnya masakanku yang rasanya berubah nano-nano. Jauh dari rasa khas sop iga yang enak buatan ibu mertua.
"Maaf, mas!" kataku dengan rasa bersalah.
"Iya, nggak apa-apa! Makanya kamu harus mau belajar masak sama ibu!" sarannya membuatku cemberut. 'Bisa nggak sih mas, jangan bahas ibu dulu untuk saat ini?' kesalku dalam hati.
Tapi Mas Reihan membuatku terharu, ia tetap memakannya meskipun rasanya aneh dan keasinan. Raisa bahkan tidak mau memakannya lagi. Dia memintaku menggorengkan telor pecah (telor mata sapi setengah matang yang bisa ia pecahkan kuning telurnya) untuk sarapannya.
Melihat ekspresi wajah Mas Reihan yang meringis menahan asin berkali-kali membuatku merasa bersalah.
"Udah mas, jangan dimakan lagi! Ini kan nggak enak!" ucapku merasa tak enak hati.
Mas Reihan hanya tersenyum, mencegah tanganku menarik piringnya hingga ia melahap habis semua nasi.
"Makasih ya, Lin! Besok-besok kurangin garamnya sama di-pas-in rasanya he... he... "
"Iya, mas! Nanti aku masak yang enak buat kamu. Aku kapok ngeracun kamu makanan 'aneh' lagi!" timpalku membuat Mas Reihan tertawa.
"Nanti kamu nggak usah masak, besok pagi aja! Buat makan malam aku bawain, ya?"
"Iya, mas! Makasih, ya!"
"Raisa, papa kerja dulu, ya!" pamitnya sambil melambaikan tangan pada Raisa.
"Hati-hati, mas!" pesanku sambil mengecup punggung tangannya dan melepas kepergiannya di pintu.
"Dadah, papa!" teriak Raisa sambil melambaikan tangannya.
Aku lantas menuntun Raisa ke ambang pintu, melambaikan tangan sekali lagi kepada Mas Reihan yang makin menjauh dari pekarangan rumah bersama roda besi yang ia kemudikan.
Hai Readers, jangan lupa vote dan kasih dukungan lewat komentar ya! Jejakmu di komentar sangat berarti sebagai penyemangat ribuan ide brilian di kepala author. Thank you, yaa ^;^
Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi."Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.Aku merai
Berhari-hari di rumah ibu, rasanya aku merasa hampa. Anehnya, aku selalu merasa lunglay dan tak bersemangat entah karena apa. Hatiku selalu merasa tak nyaman dan gelisah."Mas, kenapa ya? Akhir-akhir ini hatiku terasa tak nyaman dan gelisah?" tanyaku tiba-tiba saat Mas Reihan tengah meneguk air putih hingga membuatnya tersedak."Loh, mas, kenapa?" tanyaku heran, Mas Reihan seperti tertangkap basah mencuri segelas air saat aku bertanya kepadanya."Kamu bikin aku kaget!""Hah? Kaget?" tanyaku semakin heran. Perasaan intonasiku bertanya biasa saja. Aku juga dari tadi ada di hadapannya tidak datang tiba-tiba.Aku memandangi Mas Reihan dengan perasaan yang berbeda. Ponselnya beberapa kali berbunyi tanda pesan masuk dan Mas Reihan membacanya sambil senyum-senyum."Baca apa, mas, sampai senyum-senyum?" selidikku agak cemburu.Mas Reihan tidak meresponku. Ia sibuk dengan ponselnya seperti tengah chatting seru dengan seseorang."MAS!"
"Terima kasih, sayang! I love you!" bisik mesra Mas Reihan membuatku bertambah mabuk kepayang."I love you more, sayang!" balasku dengan satu kecupan di bibirnya. Aku tersenyum malu-malu, setelah Mas Reihan bersikap lebih agresif padaku, aku yang awalnya pemalu, kini rasanya menjadi liar.Mas Reihan memelukku erat, menolakku beranjak dari tempat tidur."Tunggu lima menit lagi, Lin!"Aku pun menurut dan mengecupnya sekali lagi membuat Mas Reihan tersenyum dan semakin memelukku erat.Tiba-tiba terdengar dengkuran halus, membuatku tersenyum. Ku usap gurat wajah suamiku yang tampak damai dalam tidurnya."Terima kasih, mas!" gumamku senang.Aku mulai berpikir untuk terus berdamai dengan ibu mertua dan menyenangkan hatinya meskipun kadang bertolak belakang dengan gejolak hatiku. Tak peduli ibu selalu berkata pedas padaku, menganggapku musuh atau saingan, mengambil sesuka hatinya hadiah Mas Reihan untukku, bahkan uang belanja yang ia ambil d
"Alinaaa!!!" teriakan stereo ibu membuatku bergegas menghampirinya, mengabaikan Bi Irah yang masih kesulitan menjelaskan istilah firasat yang kupertanyakan."Iya, bu? Ada apa?" tanyaku panik. Suasana di sekitarku memang selalu berubah mencekam saat sedang berhadapan dengan Ibu mertua."Reihan berangkat ke kantor nggak sarapan dulu?" tanya ibu dengan raut wajah sangar. Maafkan, Bu! Meskipun raut wajah Ibu biasa, tapi aku selalu merasa ibu menatapku dengan horor saking traumanya aku berhadapan dengan Ibu yang terlampau sering mencelaku dan memarahiku."I.. iya, Bu! Mas Reihan nggak sempat sarapan tadi!""Ck!" Ibu berdecak kesal membuatku was-was. "Kamu itu gimana, sih? Reihan itu kerja dari pagi sampai sore buat nafkahin kamu! Kalau dia sakit lagi kayak kemarin gimana? Ibu itu bangun dari jam tiga, bela-belain masak makanan kesukaannya, biar Reihan bisa sarapan dulu di rumah! Kamu tinggal pastiin dia makan aja nggak becus!""Maaf, Bu!" cicit
Mas Reihan dengan posisi agak membelakangiku, belum menyadari hadirku yang sedari tadi memperhatikannya. Ia baru saja membalas ciuman perempuan cantik di hadapannya tanpa rasa canggung sedikit pun, seolah-olah hal itu sudah biasa mereka lakukan. "Mas Reihan!" kataku dengan lirih. "Alina!" serunya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan sebab mataku sudah menganak sungai lebih dulu. "Ka... kamu? Bagaimana ada disini? Sejak kapan?" rentetan pertanyaannya yang terdengar gugup hanya kutanggapi dengan gelengan kepala. Aku berusaha sekuat hati menahan isak tangis agar tak terdengar oleh mereka berdua. Mendadak aku syok dan tidak tahu harus berbuat apa. Kekecewaan dan rasa sakit yang mendominasi membuatku nyaris hilang akal jika tidak kuingat Asma Allah berkali-kali di hatiku. Tanganku yang tengah menggenggam rantang titipan ibu terasa bergetar. Aku meletakkannya di meja dan berbalik arah. Tak kuasa lagi menahan tangis yang semakin sesa
Aku mengipas-ngipaskan tangan di wajahku agar air mataku berhenti. Hatiku yang baru saja terasa lega kini terasa perih kembali. Setiap mengingat bayangan Mas Reihan, wajah perempuan yang sempat kupuji kecantikan dan penampilannya itu kembali berkelebat di benakku hingga air mataku kembali tumpah dan terus tumpah dengan sendirinya tanpa mampu kutahan. Kubasahi wajahku dengan air keran depan rumah untuk menyamarkan air mataku. Setelah agak tenang, baru kuucapkan salam yang langsung disambut riang oleh anakku, Raisa. Air mataku kembali luruh saat melihatnya. Buru-buru kuusap pipiku yang basah, agar tak ada yang menyadarinya. Aku menyerahkan sekantong makanan favorit Raisa yang langsung diterimanya dengan girang saking senangnya. Aku pun tersenyum melihatnya bahagia. Rasanya hatiku yang pilu sedikit terobati. * * * Malamnya Mas Reihan tidak pulang, hatiku bertambah gelisah dan lunglay. Beragam pertanyaan curiga memenuhi isi kepalaku. Apaka
"Mama kenapa kaget?" tanya Raisa dengan polosnya. Aku tergugu dan menangis. "Mama kenapa nangis?" tanyanya lagi, mengusap pipiku yang basah membuat hatiku yang terluka bertambah sedih. "Nggak apa-apa, sayang!" ucapku berusaha tenang, memeluk tubuh kecilnya agar aku kuat. "Mama sedih karena kamu sedih. Kamu nggak suka punya dua mama?" tanyaku berusaha menyembunyikan isak tangis. "Nggak, Ma! Mama aku cuma satu Mama Alina aja! Aku nggak mau punya mama kayak Tante Jahat itu!" jawabnya dengan lugu membuatku terenyuh. "Tante itu jahat, Ma! Tadi aja dia pelototin aku sama cubit aku!" ucapnya membuat dadaku emosi. "Lho, kenapa?" tanyaku berusaha terlihat biasa. "Tante itu bilang kalau aku bilang sama papa nggak mau punya dua mama nanti tante cubit kayak gini!" ucapnya mencontohkan mencubit lengannya sendiri membuat amarahku benar-benar memuncak. "Dasar perempuan tak tahu diri!" umpatku dalam hati. "ALINA!" teriak Mas Reihan di ambang pintu membuatku dan Raisa spontan menatap ke arahny
"Mas Reihan!" aku buru-buru menghampirinya saat melihat dirinya akhirnya pulang. "Apa lagi, sih?" jawabnya ketus. Padahal aku menunggunya pulang selarut ini sampai tidak bisa tidur. Dan ini yang kudapati darinya? Jawaban ketus! Sementara di hadapan perempuan lain, dia bersikap lembut bahkan membelanya mati-matian. "Aku hanya ingin tahu! Apa yang dikatakan Ibu tentang laporan ke polisi..." "Iya, itu benar! Tapi tenang saja aku berhasil membujuk Karina untuk mencabut laporannya!" ucapnya dengan binar bangga. "Apa maksudnya dengan raut wajah bangga itu? Apa membujuk Karina adalah suatu prestasi?" keluhku dalam hati. "Kenapa malah bengong?" tanyanya membuyarkan tanda tanya besar yang berlarian di kepalaku. "Ish! Ditanya malah natap aku kayak begitu!" keluhnya saat melihat mataku yang spontan menatapnya setajam silet. Iya lah, aku lagi kesal! "Kamu harusnya bilang makasih, apa ke... udah ditolongin juga! Kalau nggak, kamu udah tidur di sel malam ini, tahu!" ucapnya sambil tertawa r
"Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"
Sepuluh hari berlalu, tiba saatnya menyambut kepulangan Mas Reihan dari tanah suci. Aku bersemangat menyambutnya, sampai-sampai aku melakukan perawatan dan spa terlebih dahulu agar pertemuan kami terasa spesial. Aku bahkan berbelanja pakaian tidur yang seksi spesial baginya sebab aku yakin setelah berjauhan cukup lama, kami butuh waktu saling melepas rindu. Dan aku ingin memberinya kejutan spesial dengan memanjakan dirinya malam nanti. "Assalamualaikum, Mas!" Aku tersenyum dan mengecup punggung tangannya dengan riang. Senangnya bisa melihat wajahhnya dari dekat lagi. "Waalaikumussalam! Apa senyum-senyum?" tanya Mas Reihan melihat pipiku memerah dengan senyuman mekar seperti ABG yang dimabuk cinta saat bertemu dengan lelaki pujaannya. "Kangen, Mas!" bisikku malu-malu. Aku masih sadar diri, jika kini tengah berada di tempat umum, jadi kutahan-tahan meski tak sabar ingin menghambur kepelukannya. Mas Reihan hanya tersenyum menanggapinya. Aku menghela napas kecewa terhadap reaksinya
Seperti biasa, Mas Reihan hanya luluh pada Ibu. Meski sebelah hatiku sakit dan cemburu atas sikapnya, aku tetap bersyukur sebab anakku selamat dan aku tak perlu lagi terpaksa meminum beragam pil aneh yang Mas Reihan cekokkan padaku.Terkadang, aku masih trauma dengan sikap Mas Reihan yang berlebihan cemburu sampai tega menuduhku berzina dan mengandung benih orang lain. Sampai ia tak punya hati, ingin menggugurkan janin tak berdosa yang ia sangka bukan anaknya."Ini anakmu, Mas! Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tak pernah ada niat sedikitpun untuk membalas perselingkuhanmu dulu! Aku tulus memaafkanmu tapi kamu masih saja bersikap begini! Lama-lama aku capek, Mas!" keluhku sambil menahan tangis. Jiwa-ragaku sampai terasa lelah menghadapinya.Mas Reihan mengusap wajahnya yang tampak putus asa. Ia menangis tiba-tiba membuatku kian merasa lelah. Kenapa dia yang berubah serapuh ini? Harusnya aku yang tak bisa hidup tenang sebab dibayangi dosa pengkhianatan yang paling menyakitkan. Ta
"MAS!!" teriakku dengan hati yang terluka. Sampai aku kehilangan kata-kata untuk menyangkal tuduhannya. "Kapan kalian melakukannya, HAH??" teriaknya dengan geram, mencengkeram kedua bahuku yang sudah terpojok di dinding. Aku menangis sesenggukan hingga tubuhku berguncang, namun tak kuasa melawan sebab hatiku terlampau sakit. "GUGURKAN! Aku tidak mau tahu!" ungkapnya membuatku terbelalak. Kalimat Mas Reihan terdengar seperti sambaran petir. "Ini anakmu, Mas! Kenapa kamu tega sekali mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan?" tanyaku berlomba dengan suara isak tangis. "Kamu kan selingkuh sama dia!" "Astagfirullah, Mas! Kamu jahat sekali, Mas! Jahat!" jawabku tanpa berniat mendebatnya lagi. Semua kalimatnya terdengar begitu menyayat hati. Tubuhku sampai gemetar saking tak kuasa menahan perih yang kurasakan saat ini. "Aku tidak pernah selingkuh, apalagi sampai berzina!" kataku dengan suara bergetar, lantas pergi meninggalkan
Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer
"Ahmad, ini sarapan dulu!" kataku sambil menyodorkan nasi bungkus kepadanya. "Makasih banyak, Bu!" angguknya dengan sopan membuatku spontan tersenyum menanggapinya. "Ekhem, perhatian banget kamu sama si Ahmad! Mau balas dendam?" tanyanya dengan ketus. Melemparkan sendok yang tengah digenggamnya. "Balas dendam? Balas dendam apa, Mas?" tanyaku benar-benar tak paham. "Halaah... kamu kira aku nggak tahu niat busuk kamu sok perhatian sama si itu!" katanya dengan menelengkan kepala ke arah Ahmad yang tengah duduk cukup jauh dari kami, menikmati sarapan nasi kuning. "Astaghfirullah, Mas! Kamu cemburu sama Ahmad?" "Siapa yang cemburu? Nggak usah kepedean kamu! Aku cuma ngingetin kamu jangan kecentilan!" katanya sambil lalu. "Bilang aja cemburu, Mas!" kataku dalam hati sambil senyum-senyum. Sudah lama sekali Mas Reihan tidak pernah cemburu semenjak kami menikah. *** Hari-hari berlalu. Toko Mas Reihan masih terhitung sepi. Teman-teman Ibu yang katanya dulu langganan mendiang ayah sudah
"Kenapa sih, cemberut terus? Nggak senang hari ini hari pertama kita buka toko?" tanya Mas Reihan menambah kesal setiap sudut hatiku yang tengah mengkal gara-gara omelan panjang ibu mertua tadi. Bagaimana tidak? Aku bangun kesiangan gara-gara semalam tidurku terganggu oleh kemanjaan beliau sampai mataku sulit terpejam. Sementara dia tidur nyenyak setelah mendapat pijatan enak dariku. "Kamu itu mendukung suamimu usaha nggak, sih? Belum apa-apa bangun udah kesiangan. Pantas rezeki kalian habis dipatok ayam kemarin. Lha, yang jadi istri nggak bisa dukung suaminya tambah semangat cari rezeki. Padahal kalau nggak bisa bantu-bantu tambah penghasilan, minimal bantu lewat doa yang kenceng! Bangun sepertiga malam salat tahajud, doain suami! Terus bangun pagi, siapin sarapannya biar tambah semangat nanti kerjanya.... eh, ini malah enak-enak molor!" oceh ibu mertua panjang benar-benar menguji kesabaran hatiku. "Aarrrgghhhh!!!!" teriakku pening karena telingaku terus-terusan mendenging, terngi
Hari berlalu dengan cepat. Semenjak pinjaman Mas Reihan cair, tak ada lagi bahasan tentang dosa pengkhianatan yang Mas Reihan lakukan. Ibu kembali bersikap biasa kepadaku, acuh, tak peduli, dan tampak jelas tak suka. Tidak lagi emosi meledak-ledak menyalahkan diriku atas keterpurukan ekonomi yang sedang menerpa keluarga kami. Ibu bahkan turut andil, bebenah ruko yang telah lama dibiarkan kosong. Ruko peninggalan mendiang ayah Mas Reihan yang kini akan difungsikan kembali olehnya. Ruko sederhana ini terletak di bekas pasar lama. Dulu tempat ini ramai, namun karena pemerintah telah mengalih fungsikan pasar ke tempat lain serta mengkotakkan lahan industri di beberapa wilayah, tempat ini berubah, tak seramai dulu. Bahkan banyak beberapa ruko yang dibiarkan kosong begitu saja, ditinggalkan pemiliknya, juga tak ada yang berminat mengontraknya. "Bu, sepi sekali disini? Apa jualan kita akan laku?" tanya Mas Reihan yang mulai ragu, melihat tokonya berada di tempat kurang strategis. "Lha, ka
"Salahku dimana, Mas? Aku hanya khawatir dengan keputusanmu menggadaikan rumah Ibu!" ulangku sekali lagi membuatnya tersulut emosi.Tidak tahu salahku dimana, aku pasrah menangis tanpa suara dengan mata terpejam saat tangan Mas Reihan nyaris melayang ke pipiku."Aaarrgggghh!" teriaknya membuatku gemetar. "Kamu merendahkan harga diriku dengan tidak percaya pada kemampuanku untuk melunasi pinjaman itu, Alina!"Tubuhku sampai melorot dan terduduk di lantai saat Mas Reihan mengatakan sesuatu yang jauh dari maksud yang ingin kusampaikan."Bukan begitu maksudku, Mas!" ralatku dengan gemetar. "Tidak adakah cara lain selain meminjam ke bank dengan jaminan rumah Ibu?""APA?? Pinjam ke orang tuamu??" tanyanya merendahkan status sosial kedua orang tuaku yang hanya pemilik warung kelontong di kampung. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika ada jalan lain!" ucapnya berapi-api. Ia sampai memijit kepalanya b