"Ayo, berangkat!" ajak Mas Reihan sambil tersenyum melihatku tengah berpelukan erat dengan anak gadisnya yang lucu.
"Aku belum siap-siap, mas!"
"Aku tunggu di mobil, ya!" ucap Mas Reihan.
"Mau pergi, pah?"
"Iya sayang, kita ajak ibu pergi makan di luar. Hari ini ibu ulang tahun!"
"Oh!" serunya lucu dengan pipi menggembung.
"Ayo, nak! kita ganti baju dulu!"
* * *
"Mas Reihan, terima kasih, banyak!"
"Selamat ulang tahun, ya! Kalungmu..."
"Sudah jangan dibahas lagi, mas! Mungkin memang belum rezekiku. Aku ridho, mas! Hadiah makan malam tadi sudah cukup untukku!"
"Kamu mau apa sebagai hadiah ulang tahunmu? Toko emas jam segini sepertinya sudah tutup."
"Tidak perlu, mas!"
"Bilang saja mau apa sebelum aku berubah pikiran."
Aku menggeleng sambil tersenyum, "Mas juga sudah tahu yang aku inginkan!"
"Ngontrak rumah?" tanyanya ragu-ragu.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Tak apa, mas! Lupakan saja!" ucapku tak ingin merusak suasana bahagia.
Mas Reihan terdiam seperti enggan menanggapinya bahkan sepanjang perjalanan kami pulang tak ada suara yang keluar darinya. Aku mencuri pandang ke arahnya sesekali dan kulihat Mas Reihan hanya sibuk menatap jalanan, fokus menyetir dengan kening berkerut.
Aku tahu Mas Reihan tak pernah berani menolak permintaan ibu. Sepertinya aku harus belajar untuk menerima takdirku tinggal satu atap selamanya dengan ibu mertuaku.
Aku menghela napas panjang saat kedua mataku kembali basah.
"Ya Allah, kuatkan aku! Kaulah pemilik setiap hati, tolong bukakan pintu hati suamiku agar mampu melihat lemahnya diriku di hadapan ibunya hingga aku merasa tertekan tinggal di rumahnya. Tolong, Ya Allah!" lirihku dalam doa yang ku gumamkan dalam hati. Selama ini tempatku bercerita hanya kepada Sang Pemilik Hati.
Aku tak berani bercerita pada ibu karena takut membuatnya sedih dan tak tenang berjauhan dariku. Ibu harus tahu kalau aku baik-baik saja dan aku tak salah pilih telah memilih Mas Reihan sebagai suamiku meski ibu terpaksa merestuinya.
Aku kembali menangis dalam diam. Mengingat setiap kali ibu berkata jika ia sebetulnya berat hati menerima lamaran Mas Reihan sebagai suamiku.
"Oh, Allah, apakah ini dosaku pada ibu karena sudah melawan restunya? Sehingga pernikahanku terasa seberat ini?" lirihku lagi sambil menatap jalanan malam dari kaca jendela mobil, memalingkan wajah dari Mas Reihan yang sebetulnya menyembunyikan air mataku yang mengalir diam-diam.
* * *
Setelah sarapan pagi, rumah kembali heboh dengan teriakan ibu. Ibu bahkan histeris di hadapanku sampai menunjuk-nunjukku dengan kasar.
Sambil menahan tangis, aku meminta Raisa yang tampak bingung dan ketakutan, bersembunyi di belakang tubuhku, untuk mencari Bi Irah di belakang dan pergi jajan.
"Bu, tenang, bu!" ucap Mas Reihan berusaha menuntun ibu agak menjauh dariku dan Raisa.
"Nenek kalau marah seram ya, ma?" lirihnya membuatku memaksakan senyum kepadanya sambil menghapus air mata di wajahku.
"Raisa jajan sama naik odong-odong dulu sama Bi Irah ya, sampai nenek berhenti marah!" pintaku jujur. Kepalang, Raisa sudah lihat neneknya marah-marah.
"Kenapa nenek marah sama mama? Aku jadi takut dan sedih. Nenek nggak boleh marahin mama!" ucapnya lugu membuatku terharu.
Kupeluk tubuhnya yang bergetar karena takut mendengar neneknya berteriak.
"ALINAA!!" teriaknya lagi memanggilku dengan tak sabar.
"Ayo, cepat! Bi Irah lagi jemur di belakang. Pergi ke tokonya lewat belakang aja ya, seram, nenek lagi marah kalau lewat depan!" bisikku membuat Raisa tertawa dan segera berlari tak sabar memanggil-manggil Bi Irah.
"ALINAA!! SINI KAMUU!!" dikte ibu tak sabar.
Aku bergegas mendekati ibu dan duduk di seberangnya.
"Kamu gak punya etika! Ibu lagi bicara malah sibuk ngobrol sama bocah kamu!"
"Dia anakku, bu! Cucu ibu. Tidak sepantasnya ibu marah di depan Raisa sampai dia ketakutan!"
"Oh! Sudah berani jawab ya, sekarang kamu! Bagus!" sinis ibu sambil bersedekap. "Reihan! Lihat dia! Gara-gara kamu mulai manjain dia, sudah gak hormat lagi sama ibu!"
"Bu!"
"REIHAN! Ibu gak sudi kalau kamu lebih bela dia daripada ibu? Mau jadi anak durhaka kamu? Kamu gak akan bisa masuk surga jika ibumu tidak ridho!" pelotot ibu membuat Mas Reihan tertunduk lesu.
"Astaghfirullahal'adzim!" aku hanya menggumamkan istighfar dalam hati berpuluh kali agar tidak terpancing untuk mendebat ibu.
"Dengar, Alina! Ibu gak mau lagi dengar kamu minta anak ibu pergi dari rumah ibu! Jangan kamu coba-coa pisahin ibu dari Reihan!"
"Bu! Aku tidak ada niat mau pisahin Reihan dari ibu sama sekali.... sungguh, bu! Aku hanya...."
"Cukup Alina! Jangan membantah ibu!"
"Kamu itu pakai guna-guna apa sampai Reihan tega mau pergi ninggalin rumah ibu demi kamu?"
"Astaghfirullah, bu! Bukannya ibu lebih paham perkara agama, bu? Kenapa ibu menuduhku dengan keji?" aku tak terima. Tuduhan ibu sudah kelewatan. Ku tatap Mas Reihan yang hanya diam tertunduk, tidak membelaku sama sekali.
"Kalau begitu tetap tinggal disini! Jangan jauhkan Reihan dari ibu!"
"Kenapa ibu bahas itu terus? Aku dan Mas Reihan disini, bu! Tidak kemana-mana. Rumah kontrakan yang sudah di bayar Mas Reihan pun aku bahkan belum melihatnya secara langsung, bu! Kami tetap disini demi menuruti keinginan ibu!" ucapku dengan kesal sampai tak sadar intonasiku meninggi.
"Reihan! Alina bahkan sudah kurang ajar, berani berteriak di depan wajah ibu! Kamu didik istrimu gimana, sih?" ucap ibu sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Ia lalu pergi meninggalkan kami berdua dengan hati dongkol.
"Mas, jelaskan!" tanyaku beralih padanya dengan tak sabar.
"Aku izin pada ibu untuk tinggal di rumah kontrakan kita hari ini. Tapi ibu tiba-tiba meledak...."
"Ya Allah, mas!" entah aku merasakan apa saat mendengarnya. Senangkah karena Mas Reihan telah berupaya untuk mengabulkan keinginanku untuk tinggal terpisah dengan ibu? Tapi hatiku yang masih dongkol dan juga ibu yang keras kepala dan egois membuat semua rasa senangku seolah menguap bahkan sebelum sampai ke hatiku.
"Kamu lihat sendiri kan, Lin? Gimana kerasnya ibu?"
"Iya, mas! Ya sudah, tidak perlu bahas rumah kontrakan lagi! ucapku setengah hati sambil lalu.
Jujur, aku masih kesal dengan Mas Reihan! Dia selalu mati kutu di hadapan ibu. Ibu juga, pendakwah tapi posesif banget sama Mas Reihan. Bukankah setelah menikah, seorang suami punya kewajiban untuk menggauli istrinya dengan baik? Menyediakan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk istri dan anak-anaknya? Sedangkan aku tertekan dengan sikap ibu disini. Andai ibu bersikap baik dan ramah kepadaku, mungkin aku akan bahagia dan tenang tinggal disini.
Kusentuh air yang terasa dingin ditanganku. Kubilas wajah, lengan sampai sikut, kepala, dan kakiku hingga terasa segar dan sejuk hingga ke hati. Ku gelar sajadah, menunaikan sunnah duha dua rakaat dan menangis dengan puas dalam sujud terakhirku. Mengadu kepada Tuhan, Sang Pemilik Hati.
* * *
Hari-hari berlalu. Mas Reihan akhirnya sakit, ibu pun sibuk hilir mudik ke kamarku untuk merawatnya. Ibu tidak mengizinkan aku sama sekali mendekatinya kecuali saat malam atau saat ibu pergi ke pengajian.
Tiga hari Mas Reihan terbaring di tempat tidur dan ibu lah yang sibuk merawatnya. Sebetulnya aku merasa menjadi istri yang tidak tahu diri, suami sakit, ibu mertua yang sibuk mengurusnya. Tapi ya sudahlah, itu keinginan ibu dan ibu selalu melotot jika aku bertanya pada Mas Reihan jika ia perlu sesuatu atau ingin dibuatkan sesuatu.
Ajaib. Doaku hari ini terkabul. Tanpa hujan tanpa angin, setelah Mas Reihan sedikit membaik dan kembali masuk kerja, ibu mengizinkan kami pindah ke rumah kontrakan kami.
Aku bahkan berterima kasih berkali-kali pada ibu, tak peduli dengan tatapan sinis ibu jika dia mengizinkan pindah bukan karena aku tapi demi kebaikan putra kesayangannya agar tidak capek di perjalanan dari tempat kerja ke rumah.
"Janji ya, tiap kamu libur kerja pulang dan nginap disini!"
"Iya, bu! Insya Allah!"
"Ingat juga, pesan ibu!"
"Pesan ibu? Yang mana?" tanya Mas Reihan tampak bingung.
"Yang itu!" jawab ibu menatapku dengan sinis, seolah aku tak boleh tahu tentang isi pesannya.
Ibu lalu berbisik di telinga Mas Reihan sambil menatapku tajam. Membuatku curiga jangan-jangan isi pesannya membahas tentang aku?
Ibu melepas Mas Reihan sambil menangis. "Bu haji, kayak Reihan mau pergi ke luar negeri saja!" goda Mas Reihan membuat ibu tersenyum simpul saat menghapus dua sudut matanya yang basah. Melihatnya bersedih, aku merasa kasihan sama ibu. Ibu posesif begitu karena terlampau menyayangi anaknya. Apalagi bapak sudah meninggalkan ibu lebih dulu. Ibu pasti kesepian dan terlalu khawatir Mas Reihan akan pergi meninggalkannya karena sibuk dengan keluarga barunya. Aku jadi tak tega meninggalkan ibu, tapi jika mengingat semua sikap ibu kepadaku, aku selalu ingin kabur dari rumah ibu. "Ren, kalau nggak sibuk pulang, ya? Mas mau tinggal di rumah kontrakan mulai sekarang!" pinta Mas Reihan di telepon, membuyarkan lamunanku. "Oh, bagus kalau gitu! Mas jadi nggak khawatir karena ibu nggak sendirian!" "Gimana mas?" tanyaku penasaran setelah Mas Reihan menutup teleponnya. "Semua urusan kampus Rena sudah beres! Tinggal nunggu wisuda katanya jadi hari ini dia pulang." "Alhamdulillah, syukurlah kalau
Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi."Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.Aku merai
Berhari-hari di rumah ibu, rasanya aku merasa hampa. Anehnya, aku selalu merasa lunglay dan tak bersemangat entah karena apa. Hatiku selalu merasa tak nyaman dan gelisah."Mas, kenapa ya? Akhir-akhir ini hatiku terasa tak nyaman dan gelisah?" tanyaku tiba-tiba saat Mas Reihan tengah meneguk air putih hingga membuatnya tersedak."Loh, mas, kenapa?" tanyaku heran, Mas Reihan seperti tertangkap basah mencuri segelas air saat aku bertanya kepadanya."Kamu bikin aku kaget!""Hah? Kaget?" tanyaku semakin heran. Perasaan intonasiku bertanya biasa saja. Aku juga dari tadi ada di hadapannya tidak datang tiba-tiba.Aku memandangi Mas Reihan dengan perasaan yang berbeda. Ponselnya beberapa kali berbunyi tanda pesan masuk dan Mas Reihan membacanya sambil senyum-senyum."Baca apa, mas, sampai senyum-senyum?" selidikku agak cemburu.Mas Reihan tidak meresponku. Ia sibuk dengan ponselnya seperti tengah chatting seru dengan seseorang."MAS!"
"Terima kasih, sayang! I love you!" bisik mesra Mas Reihan membuatku bertambah mabuk kepayang."I love you more, sayang!" balasku dengan satu kecupan di bibirnya. Aku tersenyum malu-malu, setelah Mas Reihan bersikap lebih agresif padaku, aku yang awalnya pemalu, kini rasanya menjadi liar.Mas Reihan memelukku erat, menolakku beranjak dari tempat tidur."Tunggu lima menit lagi, Lin!"Aku pun menurut dan mengecupnya sekali lagi membuat Mas Reihan tersenyum dan semakin memelukku erat.Tiba-tiba terdengar dengkuran halus, membuatku tersenyum. Ku usap gurat wajah suamiku yang tampak damai dalam tidurnya."Terima kasih, mas!" gumamku senang.Aku mulai berpikir untuk terus berdamai dengan ibu mertua dan menyenangkan hatinya meskipun kadang bertolak belakang dengan gejolak hatiku. Tak peduli ibu selalu berkata pedas padaku, menganggapku musuh atau saingan, mengambil sesuka hatinya hadiah Mas Reihan untukku, bahkan uang belanja yang ia ambil d
"Alinaaa!!!" teriakan stereo ibu membuatku bergegas menghampirinya, mengabaikan Bi Irah yang masih kesulitan menjelaskan istilah firasat yang kupertanyakan."Iya, bu? Ada apa?" tanyaku panik. Suasana di sekitarku memang selalu berubah mencekam saat sedang berhadapan dengan Ibu mertua."Reihan berangkat ke kantor nggak sarapan dulu?" tanya ibu dengan raut wajah sangar. Maafkan, Bu! Meskipun raut wajah Ibu biasa, tapi aku selalu merasa ibu menatapku dengan horor saking traumanya aku berhadapan dengan Ibu yang terlampau sering mencelaku dan memarahiku."I.. iya, Bu! Mas Reihan nggak sempat sarapan tadi!""Ck!" Ibu berdecak kesal membuatku was-was. "Kamu itu gimana, sih? Reihan itu kerja dari pagi sampai sore buat nafkahin kamu! Kalau dia sakit lagi kayak kemarin gimana? Ibu itu bangun dari jam tiga, bela-belain masak makanan kesukaannya, biar Reihan bisa sarapan dulu di rumah! Kamu tinggal pastiin dia makan aja nggak becus!""Maaf, Bu!" cicit
Mas Reihan dengan posisi agak membelakangiku, belum menyadari hadirku yang sedari tadi memperhatikannya. Ia baru saja membalas ciuman perempuan cantik di hadapannya tanpa rasa canggung sedikit pun, seolah-olah hal itu sudah biasa mereka lakukan. "Mas Reihan!" kataku dengan lirih. "Alina!" serunya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan sebab mataku sudah menganak sungai lebih dulu. "Ka... kamu? Bagaimana ada disini? Sejak kapan?" rentetan pertanyaannya yang terdengar gugup hanya kutanggapi dengan gelengan kepala. Aku berusaha sekuat hati menahan isak tangis agar tak terdengar oleh mereka berdua. Mendadak aku syok dan tidak tahu harus berbuat apa. Kekecewaan dan rasa sakit yang mendominasi membuatku nyaris hilang akal jika tidak kuingat Asma Allah berkali-kali di hatiku. Tanganku yang tengah menggenggam rantang titipan ibu terasa bergetar. Aku meletakkannya di meja dan berbalik arah. Tak kuasa lagi menahan tangis yang semakin sesa
Aku mengipas-ngipaskan tangan di wajahku agar air mataku berhenti. Hatiku yang baru saja terasa lega kini terasa perih kembali. Setiap mengingat bayangan Mas Reihan, wajah perempuan yang sempat kupuji kecantikan dan penampilannya itu kembali berkelebat di benakku hingga air mataku kembali tumpah dan terus tumpah dengan sendirinya tanpa mampu kutahan. Kubasahi wajahku dengan air keran depan rumah untuk menyamarkan air mataku. Setelah agak tenang, baru kuucapkan salam yang langsung disambut riang oleh anakku, Raisa. Air mataku kembali luruh saat melihatnya. Buru-buru kuusap pipiku yang basah, agar tak ada yang menyadarinya. Aku menyerahkan sekantong makanan favorit Raisa yang langsung diterimanya dengan girang saking senangnya. Aku pun tersenyum melihatnya bahagia. Rasanya hatiku yang pilu sedikit terobati. * * * Malamnya Mas Reihan tidak pulang, hatiku bertambah gelisah dan lunglay. Beragam pertanyaan curiga memenuhi isi kepalaku. Apaka
"Mama kenapa kaget?" tanya Raisa dengan polosnya. Aku tergugu dan menangis. "Mama kenapa nangis?" tanyanya lagi, mengusap pipiku yang basah membuat hatiku yang terluka bertambah sedih. "Nggak apa-apa, sayang!" ucapku berusaha tenang, memeluk tubuh kecilnya agar aku kuat. "Mama sedih karena kamu sedih. Kamu nggak suka punya dua mama?" tanyaku berusaha menyembunyikan isak tangis. "Nggak, Ma! Mama aku cuma satu Mama Alina aja! Aku nggak mau punya mama kayak Tante Jahat itu!" jawabnya dengan lugu membuatku terenyuh. "Tante itu jahat, Ma! Tadi aja dia pelototin aku sama cubit aku!" ucapnya membuat dadaku emosi. "Lho, kenapa?" tanyaku berusaha terlihat biasa. "Tante itu bilang kalau aku bilang sama papa nggak mau punya dua mama nanti tante cubit kayak gini!" ucapnya mencontohkan mencubit lengannya sendiri membuat amarahku benar-benar memuncak. "Dasar perempuan tak tahu diri!" umpatku dalam hati. "ALINA!" teriak Mas Reihan di ambang pintu membuatku dan Raisa spontan menatap ke arahny