Hari-hari yang kulalui di rumah kontrakan begitu membahagiakan. Rasanya beban di jiwaku luruh dalam sekejap. Meski lelah karena tak ada Bi Irah yang membantuku, aku lebih bahagia dan merasa ringan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Jauh berbeda saat di rumah ibu. Meskipun ada Bi Irah yang membantuku, tapi aku merasa jauh lebih lelah meskipun pekerjaan rumah yang kukerjakan tak seberapa.
Pagi ini aku bangun kesiangan karena semalaman Raisa demam dan rewel. Aku baru tidur nyenyak setelah menunaikan salat subuh. Kulihat Mas Reihan sudah tak ada di tempat tidur. Mobilnya juga sudah menghilang dari garasi.
Kulihat jam di dinding, baru jam setengah tujuh pagi.
"Kok tumben, udah berangkat? Gak bangunin aku lagi!" ucapku merasa heran, seolah ada yang berbeda dengan sikap Mas Reihan namun aku segera menepisnya dan mencoba berpikir positif.
Aku kembali ke kamar melihat Raisa yang masih terlelap. Aku merasa lega saat mengecek suhu tubuhnya yang sudah mulai normal.
Aku meraih ponselku dan membaca sebuah balasan pesan yang masuk dari Mas Reihan.
Aku buru-buru karena ada rapat, Lin! Mau bangunin kamu gak tega semalaman urusin Raisa.
Iya, mas! Gak apa-apa! Jangan lupa sarapan ya, mas! Maaf gak sempat buatin kamu sarapan.
Iya, Lin!
Aku bersyukur Raisa lebih banyak tertidur hari ini. Mungkin efek obat juga kelelahan setelah semalaman menangis. Aku pun merasa sangat lelah hari ini dan entah kenapa merasa sangat lunglai juga tak bersemangat. Mungkinkah karena begadang semalam? Tapi ini bukan yang pertama kalinya begadang buat aku dan tidak pernah sampai selemas ini.
Aku terus bertanya-tanya dengan diriku, ada apa? Kenapa hatiku tiba-tiba terasa tak nyaman dan lunglay? Tapi aku juga tidak merasa sedang sakit, rasanya tubuhku baik-baik saja.
Sorenya, Mas Reihan pulang kerja lebih awal dan langsung memintaku membereskan semua pakaian.
"Loh, mas ada apa?"
"Ibu sakit! Kita ke rumah ibu secepatnya!"
"Berapa lama kita di rumah ibu, mas?"
"Sudah jangan banyak tanya, cepat bereskan semua pakaian dan barang-barang kita! Mumpung Raisa masih tidur!" diktenya agak ketus.
"Tapi mas.... aku lebih nyaman tinggal disini!" pintaku penuh harap agar tidak kembali tinggal di rumah ibu.
"Tapi ibu sakit, Lin! Dia minta kita pulang dan kembali tinggal disana lagi! Ibu tidak tenang jauh dari kita, dia kepikiran terus...."
"Kan bisa mas kita jenguk ibu dan tinggal beberapa hari disana sampai ibu sembuh...."
"Benar ya, kata ibu! Kamu tuh kalau dibaikin sedikit aja jadinya ngelunjak!"
Aku tertegun mendengarnya, "Apa maksud kamu, mas? Salah aku dimana?"
"Kamu gak sadar salah kamu dimana? Oke, cukup tahu aja!"
"Apa maksudnya, mas? Kasih tahu aku kalau aku salah!"
"Hhh!" seru Mas Reihan dengan sinis. "Kamu sadar gak, kamu barusan bantah aku, gak mau aku ajak tinggal di rumah ibu?"
"Bb...bukan begitu maksudku, mas! Aku gak keberatan jenguk ibu, rawat ibu, tapii...."
"Halaah, udah, gak usah ngeles! Kamu emang gak peduli kan sama ibu aku?"
"MAS!" seruku tak terima.
"APA? MAU BANTAH LAGI? BERANI KAMU BENTAK SUAMI KAMU SEKARANG, HAH?" teriak Mas Reihan tak kalah tinggi membuatku mencicit dan menunduk.
Menjawab atau mendebat Mas Reihan hanya akan membuatku semakin terlihat salah di matanya. Aku pun memilih diam.
Melihatku membisu, Mas Reihan memelankan kembali suaranya.
"Ibu gak bisa tenang kita tinggal jauh dari dia, Lin!"
"Ibu yang gak tenang atau kamu yang gak bisa jauh dari ibu, mas?" tanyaku masih bernada kesal.
"Lin! Tolong kamu pahami kondisi ibu dan juga aku!"
"Ibu terus yang harus dipahami! Kapan ibu bisa memahami perasaanku? Kenapa kamu gak bisa tegas, mas?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku gak bisa menahan emosiku kali ini.
"ALINA!" pelototnya tajam membuatku sedikit berigidik.
"Kamu udah gak sayang sama ibu?" tuduh Reihan ketus sangat kekanak-kanakkan. Dadaku bergejolak semakin panas. "Dia itu ibu yang melahirkan aku, Lin! Kalau bukan karena dia, belum tentu aku ada disini, bisa nikahin kamu, nafkahin kamu....." ceramahnya panjang lebar membuatku geleng-geleng. "Kamu lupa apa yang dikatakan ibu? Anak laki-laki itu milik ibunya! Surganya ada di telapak kakinya. Kamu keberatan kalau suamimu berusaha berbakti sama ibunya?"
Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Lihat kan? Aku semakin terlihat salah dimatanya. Padahal aku hanya ingin membela diri dan menyampaikan uneg-unegku.
"Maaf, mas! Jangan salah paham! Aku hanya tak nyaman di rumah ibu karena sikap ibu yang selalu memusuhiku!"
"Makanya kamu berusaha dong, ambil hati ibu!"
"Iya, mas, maaf!" tundukku dalam-dalam. Aku harus mengalah dan meminta maaf sesegera mungkin agar perdebatan ini segera berakhir.
Mas Reihan lalu beranjak, mengambil ponselnya yang berdering di atas meja.
Dari jarak yang cukup, aku mendelik kesal kepadanya. Dia selalu menunduk tak berdaya di hadapan ibunya. Ia lemah lembut kepada ibunya, dan kasar kepadaku. Aku merasa diperlakukan tak adil oleh Mas Reihan.
"Hey!" ucapnya sambil melemparkan tas baju ke wajahku. Mungkin niatnya bercanda, tapi bagiku itu tak lucu apalagi aku dan dia baru saja berdebat.
"Ngelamun aja kerjaannya! Cepat beresin baju! Kita berangkat secepatnya! Ibu udah telepon barusan!"
Aku pun melangkah dengan kesal dan memasukan semua pakaian dengan emosi.
Ibu menyambut kedatangan kami di halaman rumahnya dengan wajah sumringah. Ia langsung menuntun Mas Reihan masuk dan mengajaknya ke meja makan.
Aku hanya bisa tersenyum saat ibu berjalan menuntun Mas Reihan masuk, melupakan kehadiran aku dan cucunya yang sudah terlelap dalam gendonganku. Ibu bahkan tidak melihat ke arahku apalagi menyapaku.
Aku berusaha tak peduli dan menegarkan hatiku agar tidak terbawa perasaan. Aku langsung berjalan ke kamarku untuk menidurkan Raisa. Ku intip sekejap ke ruang dapur, ternyata ibu tengah menyuapi Mas Reihan makan dengan mata berbinar saking bahagianya melepas rindu. Seakan-akan Mas Reihan sudah tak pulang puluhan tahun dari luar negeri. Padahal dua minggu yang lalu, kami baru berkunjung ke rumah ibu saat Mas Reihan libur dan tengah luang.
Aku memilih tertidur memeluk Raisa tanpa menemui ibu. Toh, hanya Mas Reihan yang ibu harapkan kembali ke sini. Bagi ibu, mungkin aku hanya pelengkap Mas Reihan yang tidak mungkin ditinggal. Ya, kurasa itu lebih baik daripada ibu menganggapku musuh yang ingin merebut anaknya dari sisinya.
Apa aku tampak sejahat itu, ya, di mata ibu?
Entahlah, lebih baik aku tidur!
Berhari-hari di rumah ibu, rasanya aku merasa hampa. Anehnya, aku selalu merasa lunglay dan tak bersemangat entah karena apa. Hatiku selalu merasa tak nyaman dan gelisah."Mas, kenapa ya? Akhir-akhir ini hatiku terasa tak nyaman dan gelisah?" tanyaku tiba-tiba saat Mas Reihan tengah meneguk air putih hingga membuatnya tersedak."Loh, mas, kenapa?" tanyaku heran, Mas Reihan seperti tertangkap basah mencuri segelas air saat aku bertanya kepadanya."Kamu bikin aku kaget!""Hah? Kaget?" tanyaku semakin heran. Perasaan intonasiku bertanya biasa saja. Aku juga dari tadi ada di hadapannya tidak datang tiba-tiba.Aku memandangi Mas Reihan dengan perasaan yang berbeda. Ponselnya beberapa kali berbunyi tanda pesan masuk dan Mas Reihan membacanya sambil senyum-senyum."Baca apa, mas, sampai senyum-senyum?" selidikku agak cemburu.Mas Reihan tidak meresponku. Ia sibuk dengan ponselnya seperti tengah chatting seru dengan seseorang."MAS!"
"Terima kasih, sayang! I love you!" bisik mesra Mas Reihan membuatku bertambah mabuk kepayang."I love you more, sayang!" balasku dengan satu kecupan di bibirnya. Aku tersenyum malu-malu, setelah Mas Reihan bersikap lebih agresif padaku, aku yang awalnya pemalu, kini rasanya menjadi liar.Mas Reihan memelukku erat, menolakku beranjak dari tempat tidur."Tunggu lima menit lagi, Lin!"Aku pun menurut dan mengecupnya sekali lagi membuat Mas Reihan tersenyum dan semakin memelukku erat.Tiba-tiba terdengar dengkuran halus, membuatku tersenyum. Ku usap gurat wajah suamiku yang tampak damai dalam tidurnya."Terima kasih, mas!" gumamku senang.Aku mulai berpikir untuk terus berdamai dengan ibu mertua dan menyenangkan hatinya meskipun kadang bertolak belakang dengan gejolak hatiku. Tak peduli ibu selalu berkata pedas padaku, menganggapku musuh atau saingan, mengambil sesuka hatinya hadiah Mas Reihan untukku, bahkan uang belanja yang ia ambil d
"Alinaaa!!!" teriakan stereo ibu membuatku bergegas menghampirinya, mengabaikan Bi Irah yang masih kesulitan menjelaskan istilah firasat yang kupertanyakan."Iya, bu? Ada apa?" tanyaku panik. Suasana di sekitarku memang selalu berubah mencekam saat sedang berhadapan dengan Ibu mertua."Reihan berangkat ke kantor nggak sarapan dulu?" tanya ibu dengan raut wajah sangar. Maafkan, Bu! Meskipun raut wajah Ibu biasa, tapi aku selalu merasa ibu menatapku dengan horor saking traumanya aku berhadapan dengan Ibu yang terlampau sering mencelaku dan memarahiku."I.. iya, Bu! Mas Reihan nggak sempat sarapan tadi!""Ck!" Ibu berdecak kesal membuatku was-was. "Kamu itu gimana, sih? Reihan itu kerja dari pagi sampai sore buat nafkahin kamu! Kalau dia sakit lagi kayak kemarin gimana? Ibu itu bangun dari jam tiga, bela-belain masak makanan kesukaannya, biar Reihan bisa sarapan dulu di rumah! Kamu tinggal pastiin dia makan aja nggak becus!""Maaf, Bu!" cicit
Mas Reihan dengan posisi agak membelakangiku, belum menyadari hadirku yang sedari tadi memperhatikannya. Ia baru saja membalas ciuman perempuan cantik di hadapannya tanpa rasa canggung sedikit pun, seolah-olah hal itu sudah biasa mereka lakukan. "Mas Reihan!" kataku dengan lirih. "Alina!" serunya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan sebab mataku sudah menganak sungai lebih dulu. "Ka... kamu? Bagaimana ada disini? Sejak kapan?" rentetan pertanyaannya yang terdengar gugup hanya kutanggapi dengan gelengan kepala. Aku berusaha sekuat hati menahan isak tangis agar tak terdengar oleh mereka berdua. Mendadak aku syok dan tidak tahu harus berbuat apa. Kekecewaan dan rasa sakit yang mendominasi membuatku nyaris hilang akal jika tidak kuingat Asma Allah berkali-kali di hatiku. Tanganku yang tengah menggenggam rantang titipan ibu terasa bergetar. Aku meletakkannya di meja dan berbalik arah. Tak kuasa lagi menahan tangis yang semakin sesa
Aku mengipas-ngipaskan tangan di wajahku agar air mataku berhenti. Hatiku yang baru saja terasa lega kini terasa perih kembali. Setiap mengingat bayangan Mas Reihan, wajah perempuan yang sempat kupuji kecantikan dan penampilannya itu kembali berkelebat di benakku hingga air mataku kembali tumpah dan terus tumpah dengan sendirinya tanpa mampu kutahan. Kubasahi wajahku dengan air keran depan rumah untuk menyamarkan air mataku. Setelah agak tenang, baru kuucapkan salam yang langsung disambut riang oleh anakku, Raisa. Air mataku kembali luruh saat melihatnya. Buru-buru kuusap pipiku yang basah, agar tak ada yang menyadarinya. Aku menyerahkan sekantong makanan favorit Raisa yang langsung diterimanya dengan girang saking senangnya. Aku pun tersenyum melihatnya bahagia. Rasanya hatiku yang pilu sedikit terobati. * * * Malamnya Mas Reihan tidak pulang, hatiku bertambah gelisah dan lunglay. Beragam pertanyaan curiga memenuhi isi kepalaku. Apaka
"Mama kenapa kaget?" tanya Raisa dengan polosnya. Aku tergugu dan menangis. "Mama kenapa nangis?" tanyanya lagi, mengusap pipiku yang basah membuat hatiku yang terluka bertambah sedih. "Nggak apa-apa, sayang!" ucapku berusaha tenang, memeluk tubuh kecilnya agar aku kuat. "Mama sedih karena kamu sedih. Kamu nggak suka punya dua mama?" tanyaku berusaha menyembunyikan isak tangis. "Nggak, Ma! Mama aku cuma satu Mama Alina aja! Aku nggak mau punya mama kayak Tante Jahat itu!" jawabnya dengan lugu membuatku terenyuh. "Tante itu jahat, Ma! Tadi aja dia pelototin aku sama cubit aku!" ucapnya membuat dadaku emosi. "Lho, kenapa?" tanyaku berusaha terlihat biasa. "Tante itu bilang kalau aku bilang sama papa nggak mau punya dua mama nanti tante cubit kayak gini!" ucapnya mencontohkan mencubit lengannya sendiri membuat amarahku benar-benar memuncak. "Dasar perempuan tak tahu diri!" umpatku dalam hati. "ALINA!" teriak Mas Reihan di ambang pintu membuatku dan Raisa spontan menatap ke arahny
"Mas Reihan!" aku buru-buru menghampirinya saat melihat dirinya akhirnya pulang. "Apa lagi, sih?" jawabnya ketus. Padahal aku menunggunya pulang selarut ini sampai tidak bisa tidur. Dan ini yang kudapati darinya? Jawaban ketus! Sementara di hadapan perempuan lain, dia bersikap lembut bahkan membelanya mati-matian. "Aku hanya ingin tahu! Apa yang dikatakan Ibu tentang laporan ke polisi..." "Iya, itu benar! Tapi tenang saja aku berhasil membujuk Karina untuk mencabut laporannya!" ucapnya dengan binar bangga. "Apa maksudnya dengan raut wajah bangga itu? Apa membujuk Karina adalah suatu prestasi?" keluhku dalam hati. "Kenapa malah bengong?" tanyanya membuyarkan tanda tanya besar yang berlarian di kepalaku. "Ish! Ditanya malah natap aku kayak begitu!" keluhnya saat melihat mataku yang spontan menatapnya setajam silet. Iya lah, aku lagi kesal! "Kamu harusnya bilang makasih, apa ke... udah ditolongin juga! Kalau nggak, kamu udah tidur di sel malam ini, tahu!" ucapnya sambil tertawa r
"Kamu nguping?" todong Ibu membuatku terkejut. "Eh, Ibu! Sejak kapan Ibu ada di situ?" tanyaku dengan gugup. "Hhhh!" senyumnya dengan sinis, meninggalkanku begitu saja. Aku hanya mengelus dada dengan lega, Ibu tidak berkomentar apapun tentang diriku. Diam-diam aku berterima kasih pada Ibu, karena Ibu mendukungku meskipun tidak menunjukkannya secara langsung. Ya, meskipun aku tahu satu hal yang baru jika Mas Reihan menunda menikahi Karina tidak semata-mata karena menunggu izinku, tetapi dia menunggu restu Ibu. Mas Reihan mana berani melawan Ibu! *** "Cepat izinin aku, Alina!" paksa Mas Reihan membuatku terluka. Ia sengaja mencengkeram tanganku di hadapan si perempuan hina yang kini tersenyum sambil bersedekap. "Apa susahnya sih, Mbak tinggal kasih izin aja, beres, kan?" tanyanya dengan santai. Ingin rasanya aku merobek mulutnya yang nista itu! Mas Reihan sampai membohongiku, berpura-pura mengajakku jalan-jalan ya