Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer
"MAS!!" teriakku dengan hati yang terluka. Sampai aku kehilangan kata-kata untuk menyangkal tuduhannya. "Kapan kalian melakukannya, HAH??" teriaknya dengan geram, mencengkeram kedua bahuku yang sudah terpojok di dinding. Aku menangis sesenggukan hingga tubuhku berguncang, namun tak kuasa melawan sebab hatiku terlampau sakit. "GUGURKAN! Aku tidak mau tahu!" ungkapnya membuatku terbelalak. Kalimat Mas Reihan terdengar seperti sambaran petir. "Ini anakmu, Mas! Kenapa kamu tega sekali mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan?" tanyaku berlomba dengan suara isak tangis. "Kamu kan selingkuh sama dia!" "Astagfirullah, Mas! Kamu jahat sekali, Mas! Jahat!" jawabku tanpa berniat mendebatnya lagi. Semua kalimatnya terdengar begitu menyayat hati. Tubuhku sampai gemetar saking tak kuasa menahan perih yang kurasakan saat ini. "Aku tidak pernah selingkuh, apalagi sampai berzina!" kataku dengan suara bergetar, lantas pergi meninggalkan
Seperti biasa, Mas Reihan hanya luluh pada Ibu. Meski sebelah hatiku sakit dan cemburu atas sikapnya, aku tetap bersyukur sebab anakku selamat dan aku tak perlu lagi terpaksa meminum beragam pil aneh yang Mas Reihan cekokkan padaku.Terkadang, aku masih trauma dengan sikap Mas Reihan yang berlebihan cemburu sampai tega menuduhku berzina dan mengandung benih orang lain. Sampai ia tak punya hati, ingin menggugurkan janin tak berdosa yang ia sangka bukan anaknya."Ini anakmu, Mas! Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tak pernah ada niat sedikitpun untuk membalas perselingkuhanmu dulu! Aku tulus memaafkanmu tapi kamu masih saja bersikap begini! Lama-lama aku capek, Mas!" keluhku sambil menahan tangis. Jiwa-ragaku sampai terasa lelah menghadapinya.Mas Reihan mengusap wajahnya yang tampak putus asa. Ia menangis tiba-tiba membuatku kian merasa lelah. Kenapa dia yang berubah serapuh ini? Harusnya aku yang tak bisa hidup tenang sebab dibayangi dosa pengkhianatan yang paling menyakitkan. Ta
Sepuluh hari berlalu, tiba saatnya menyambut kepulangan Mas Reihan dari tanah suci. Aku bersemangat menyambutnya, sampai-sampai aku melakukan perawatan dan spa terlebih dahulu agar pertemuan kami terasa spesial. Aku bahkan berbelanja pakaian tidur yang seksi spesial baginya sebab aku yakin setelah berjauhan cukup lama, kami butuh waktu saling melepas rindu. Dan aku ingin memberinya kejutan spesial dengan memanjakan dirinya malam nanti. "Assalamualaikum, Mas!" Aku tersenyum dan mengecup punggung tangannya dengan riang. Senangnya bisa melihat wajahhnya dari dekat lagi. "Waalaikumussalam! Apa senyum-senyum?" tanya Mas Reihan melihat pipiku memerah dengan senyuman mekar seperti ABG yang dimabuk cinta saat bertemu dengan lelaki pujaannya. "Kangen, Mas!" bisikku malu-malu. Aku masih sadar diri, jika kini tengah berada di tempat umum, jadi kutahan-tahan meski tak sabar ingin menghambur kepelukannya. Mas Reihan hanya tersenyum menanggapinya. Aku menghela napas kecewa terhadap reaksinya
"Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"
"Apa mas? Kembali ke rumah ibu?" tanyaku setengah hati, berusaha menyembunyikan nada kesal yang kutahan susah payah. "Iya, Lin! Ibu katanya nggak tenang kalau kita jauh!" "Ibu yang nggak tenang atau kamu yang nggak bisa jauh dari ibu, mas?" tanyaku agak ketus sebab aku hanya bisa mengeluh dalam hati. Suamiku yang berusia jauh lima tahun diatasku masih saja bergantung pada ibunya bahkan setelah kami punya anak. "Kok gitu sih, Lin? Kamu nggak sayang sama ibuku, ya?" tanya Reihan sangat kekanak-kanakkan membuat dadaku seketika memanas. "Dia ibu yang melahirkan aku, Lin! Tanpa dia belum tentu aku ada disini, bisa nikahin kamu dan nafkahin kamu." cerocosnya panjang lebar membuatku geleng-geleng. "Kamu lupa apa yang dikatakan ibuku? Anak laki-laki itu milik ibunya! Surganya ada di telapak kakinya. Kamu keberatan kalau suamimu berusaha berbakti sama ibunya?" Aku beristighfar dalam hati. Menahan gejolak di hati yang semakin membara. "Sabar, Alina, sabar!" gumamku menenangkan dalam hati. S
Dadaku perih melihat senyuman sebelah ibu yang tampak jelas diwajahnya. Itu seperti isyarat yang terang jika ibu bahagia di atas penderitaanku. "Sampai kapanpun, kau tak akan bisa mengalahkan posisi ibu di hati Reihan, Alina!" Ibu seolah berkata begitu dengan bahasa tubuhnya padaku. Harga diriku rasanya benar-benar terhempas di hadapan ibu. Pertahananku untuk berdiri tegar rasanya runtuh setiap kali Mas Reihan membentakku dan menghinaku di depan ibu. Setelah puas meluapkan amarahnya padaku, Mas Reihan kembali ke kamarnya, melanjutkan tidurnya yang terganggu. Melihat anaknya telah menghilang dari hadapan, ibu buru-buru menurunkan Raisa dan bersikap kembali acuh meskipun Raisa merengek masih ingin di gendong olehnya. "Nenek harus pergi! Ada pengajian. Raisa jangan rewel! Pusing nenek denger kamu nangis terus. Kasian papa kamu tidurnya keganggu." Aku buru-buru meraih anakku dan memeluknya. Mataku kembali mengembun, menyaksikan keinginan anakku untuk memeluk neneknya ditolak terang-
Gosip berhenti karena Mas Reihan pulang. Aku berubah tegang dan Bi Irah langsung terdiam saat mendengar seseorang berdekhem mendekat. "Loh, Mas Reihan sudah pulang?" tanyaku dengan senyuman cerah. Meskipun Mas Reihan tak pernah bersikap manis padaku, apalagi pada saat ada ibu. Tetapi kehadiran Mas Reihan di rumah ini, membuatku merasa jauh lebih tenang. "Iya, Lin! Ada hal penting yang mau aku bicarakan. Ibu kemana?" "Ibu sedang ke pengajian." jawabku. "Mas Reihan mau makan?" tanyaku menawarkan. "Tidak, Lin. Aku masih kenyang. Raisa tidur?" "Iya, mas!" Mas Reihan lalu sibuk bertelepon dengan serius saat seseorang menghubunginya. "Lin, aku sepertinya harus ke kantor lagi! Ada yang harus aku urus. Aku di mutasi kerja ke cabang kantor lain tapi masih di kota ini, sih! Sepertinya setelah selesai urusan di kantor aku mau cari rumah dulu untuk kita kontrak sementara waktu." "Apa mas?" tanyaku tak percaya dengan mata membola. "Iya, kita akan mengontrak rumah, Lin! Aku akan cari rum