"Kamu nguping?" todong Ibu membuatku terkejut.
"Eh, Ibu! Sejak kapan Ibu ada di situ?" tanyaku dengan gugup.
"Hhhh!" senyumnya dengan sinis, meninggalkanku begitu saja.
Aku hanya mengelus dada dengan lega, Ibu tidak berkomentar apapun tentang diriku.
Diam-diam aku berterima kasih pada Ibu, karena Ibu mendukungku meskipun tidak menunjukkannya secara langsung. Ya, meskipun aku tahu satu hal yang baru jika Mas Reihan menunda menikahi Karina tidak semata-mata karena menunggu izinku, tetapi dia menunggu restu Ibu.
Mas Reihan mana berani melawan Ibu!
***
"Cepat izinin aku, Alina!" paksa Mas Reihan membuatku terluka. Ia sengaja mencengkeram tanganku di hadapan si perempuan hina yang kini tersenyum sambil bersedekap.
"Apa susahnya sih, Mbak tinggal kasih izin aja, beres, kan?" tanyanya dengan santai. Ingin rasanya aku merobek mulutnya yang nista itu!
Mas Reihan sampai membohongiku, berpura-pura mengajakku jalan-jalan ya
"Bu, aku mau bicara!" pinta Reihan yang langsung ibunya tanggapi dengan wajah tak suka. "Kalau mau bicara, ya tinggal bicara aja!" jawab Ibu agak ketus. "Ekhem! Ibu kok judes banget, sih!" rayu Reihan berusaha mencairkan suasana. "Tapi Ibu tetap cantik kok meski jutek!" godanya yang langsung Ibu tepis tangannya agar menjauh darinya. "Ibu lagi nggak mau bercanda, Reihan!" tolaknya dengan tegas. "Aku juga nggak lagi bercanda, Bu! Ibu memang cantik dan awet muda apalagi kalau pasang wajah sebal gitu sama aku, tambah gemas!" kikik Reihan membuat Ibu melotot. Reihan pun pura-pura kaget lalu tertawa kecil, menggoda ibunya yang kentara betul masih sebal kepadanya. Kesal dengan sikap main-main Reihan, Ibu memilih bangkit dan meninggalkannya tanpa menanggapinya. "Bu, tunggu, Bu! Aku minta maaf, Bu!" ujarnya sembari mengusap wajahnya, menyesal telah membercandai ib
"Kamu yakin dengan keputusan kamu menikahi perempuan itu?" tanya Ibu dengan nada tinggi, membuatku mendongak.Hatiku mendadak was-was menunggu kalimat Ibu berikutnya. Apakah Ibu akan merestuinya? Oh, tidak! Kecemasan tingkat tinggi mulai menyerangku."Yakin, Bu! Aku rasa Karina akan menjadi pendamping yang lebih baik dari Alina!" tutur Mas Reihan membuatku terluka. Rasanya sakit sekali dibandingkan kalah telak dengan si pelakor itu oleh suamiku sendiri."Mas Reihan tega sekali!" sedihku kian berlarut-larut."Kamu tahu dari mana si perempuan itu bakal lebih baik dari istrimu?" tanya Ibu dengan nada meragukan."Karina, Bu! Dia punya nama!" ralat Mas Reihan membuatku kesal."Bela terus, Mas! Bela dia terus sampai mampus!" keluhku penuh emosi."Iya lah itu!" jawab Ibu asal. Kentara betul dari nada Ibu bicara jika ia sebetulnya tak suka
Reihan tampak tertekan dengan permintaan Ibu meminta kembali uang yang telah ia berikan kepada Karina. Ia menyugar rambutnya berkali-kali dan berjalan hilir-mudik tanpa arah seperti setrikaan.Sementara aku menangis sesenggukan, mendengar obrolan Ibu dengan Mas Reihan. Sebegitu memujanya Mas Reihan sama perempuan nyebelin itu! Aku sendiri bahkan tidak tahu sebanyak apa uang tabungan yang Mas Reihan miliki. Mas Reihan bahkan membatasi uang belanjaku. Dan ia sering mengomel jika sebelum jatuh tempo, aku sudah meminta uang tambahan karena kurangnya uang belanja yang ia berikan padaku dengan alasan aku harus berhemat sebab Mas Reihan menanggung kehidupan Ibu dan juga Rena, adiknya, yang masih kuliah.Sakit rasanya hatiku mengetahui Mas Reihan begitu dermawan kepada perempuan lain yang bahkan belum jelas status dirinya baginya.Aku yang harus selalu mengalah demi ibunya. Aku bahkan sering menahan keinginanku untuk membeli kebutuh
Reihan pulang larut malam dengan tampilan berantakan. Ia seperti mayat hidup yang berjalan sempoyongan tanpa arah. Raganya tampak kosong. Ia seperti kehilangan jiwanya sendiri. "Apa yang terjadi, Mas?" tanyaku saat menyambutnya pulang. Reihan menangis sesenggukan, seperti anak kecil. Melihatnya seterluka itu, membuat hatiku luluh karena iba. Padahal sudah kurencanakan sebelumnya serangan fajar, memaksanya mentalakku jika ia tetap pada pilihannya, menikahi si perempuan jahanam itu. Aku tak sanggup dimadu dengannya. Sekarang aja sebelum menikah, Mas Reihan sudah sangat berat sebelah. Padahal aku yang bertahun-tahun menemaninya jatuh-bangun dari awal menikah hingga ia berada di titik ini. Tapi matanya sudah terlanjur dibutakan oleh cinta berbalut nafsu dengan perempuan yang baru ia kenali sesaat. Rasanya sangat tak adil bagiku. Aku tak mau mati perlahan karena terus-menerus tertekan secara batin. Tanpa terasa, air mataku ikut luruh. Aku tak pernah melihat Mas Reihan serapuh ini sebel
Reihan terdiam seribu bahasa, tak punya jawaban atas pertanyaan yang ibunya lontarkan. Bayang-bayang Karina dengan wajah menyebalkan, membawa kabur uang tabungannya membuatnya dongkol."Ditanya malah bengong!" gerutu Ibu dengan wajah kesal. "Reihan!" teriaknya membuat Reihan terkesiap."I... iya, Bu?""Modalnya gimana? Kamu punya rencana lain nggak?""A... aku.... ada simpanan uang pendidikan Raisa yang baru kusimpan, Bu!" ucapnya terbata."Bagus kalau gitu? Ada seratus juta?" tanya Ibu membuat Reihan tergagap."Ada lima juta, Bu!" ucapnya dengan wajah tertunduk."Ya Allah, Rei..." jawab Ibu sambil mengelus dadanya. "Ya sudah, kamu pikirkan saja usaha apa yang pantas dengan modal segitu yang kamu miliki!" ucap Ibu sambil lalu."Bu...!" Reihan terus mengejar langkah ibunya yang ditolaknya mentah-mentah setiap kali Reihan meminta menggenggam tangannya untuk meminta maaf."Ibu mau siap-siap ada pengajian! Kamu bisa bicara sama Ibu kalau sudah ada ide mau usaha apa!" ucapnya tanpa mempedu
"Alinaaa!!" teriak Reihan, tak sabar menungguku yang tak kunjung datang menghampirinya."Ada apa??" tanyaku dengan kesal meski nada bicaraku kuatur dalam tempo senormal mungkin."Lama banget, sih?" "Sabar, dong, Mas! Gara-gara kamu teriak-teriak dan marah-marah terus, Raisa ketakutan! Aku harus tenangin dia dulu!""Alaah... banyak alasan!" keluhnya tak terima dengan penjelasanku. "Cepat bantu aku pikirin buka usaha apa!""Buka usaha? Maksud Mas, Mas berhenti kerja?" tanyaku tak percaya."Udah nggak usah banyak nanya! Kamu mau aku jauhin tuh perempuan kan?" Aku mengangguk cepat-cepat, memang iya. "Tapi.... apa sampai harus berhenti kerja, Mas?""Kamu! Aku lakuin ini bela-belain demi kamu tahu!' ucapnya sambil menunjuk ke arahku. Pengorbanan yang ia tunjukkan padaku menjadi terasa aneh dan tidak spesial sama sekali."Heh! Kenapa malah menatapku seperti itu?" protesnya saat aku justru menatapnya dengan tatapan curiga."Mas ngelakuin ini untukku?" tanyaku secara spontan."Iya! Sekarang
"Mas? Kok bengong?" tanyaku terheran-heran melihatnya bengong, tanpa ekspresi."Aku siap temani kamu berjuang dari nol lagi, Mas!" ucapku sambil tersenyum dan menggenggam tangannya."Benarkah?" tanyanya dengan binar bahagia.Aku mengangguk mantap. "Selama kamu setia sama aku, nggak khianatin aku lagi!" jawabku yang ia tanggapi dengan anggukan berkali-kali."Aku janji, Lin... aku janji!" ucapnya berulang-ulang, lantas sibuk menciumi tangan dan pipiku."Iya...., iyaa, Mas, iyaa!" jawabku setelah merasa cukup geli dengan sentuhannya.Esoknya, kami berdua sibuk membelanjakan modal kami yang sekadarnya ke barang-barang dagangan yang akan kami jual. Kami berdua pun sibuk menata barang di atas etalase sederhana yang telah kami beli sebelumnya, warung pun kami buka di garasi rumah yang kebetulan menghadap jalan raya.Hari pertama jualan, kami bahagia karena untuk pertama buka, warung kami terhitung cukup ramai.Hari kedua sepi, kami pun mulai lesu. Hari ketiga dan seterusnya, kami lebih banya
"Salahku dimana, Mas? Aku hanya khawatir dengan keputusanmu menggadaikan rumah Ibu!" ulangku sekali lagi membuatnya tersulut emosi.Tidak tahu salahku dimana, aku pasrah menangis tanpa suara dengan mata terpejam saat tangan Mas Reihan nyaris melayang ke pipiku."Aaarrgggghh!" teriaknya membuatku gemetar. "Kamu merendahkan harga diriku dengan tidak percaya pada kemampuanku untuk melunasi pinjaman itu, Alina!"Tubuhku sampai melorot dan terduduk di lantai saat Mas Reihan mengatakan sesuatu yang jauh dari maksud yang ingin kusampaikan."Bukan begitu maksudku, Mas!" ralatku dengan gemetar. "Tidak adakah cara lain selain meminjam ke bank dengan jaminan rumah Ibu?""APA?? Pinjam ke orang tuamu??" tanyanya merendahkan status sosial kedua orang tuaku yang hanya pemilik warung kelontong di kampung. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika ada jalan lain!" ucapnya berapi-api. Ia sampai memijit kepalanya b
"Rei, lihat tuh mertua kamu, nggak ada bantu-bantunya sama sekali! Masa galon habis aja nyuruh si Dadan yang isiin! Kelihatan banget, uangnya sayang kepakai buat keperluan rumah kamu!" ungkap Reihan menirukan suara ibunya kemarin. Ia tengah bercerita kepadaku, kecewa dengan sikap ibuku yang menurutnya terlalu perhitungan sampai air galon yang tidak seberapa pun enggan berkorban."Astaghfirullah, Mas! Ibuku nggak kayak gitu, Mas! Air galon habis, ibu cuma nyuruh isiin, Mas! Aku dan Ibu mana kuat angkat galon? Ibumu ini kenapa sih, ngadu yang nggak-nggak deh!" Kesal setengah mati aku mendengarnya. Sampai aku tak tahan lagi untuk sekadar diam, menahan emosi. Kali ini ibuku yang ia komentari, dan itu lebih menyakitkan daripada aku yang dihina."Hhh! Jelaslah kamu bela, orang dia ibumu!""Jadi kamu nggak percaya, Mas?" tanyaku tak kalah sengit. "O, iya aku lupa! Cuma omongan ibumu kan yang biasanya kamu dengar? Nggak peduli salah atau benar, ibumu selalu jadi yang paling benar di matamu!"
Sepuluh hari berlalu, tiba saatnya menyambut kepulangan Mas Reihan dari tanah suci. Aku bersemangat menyambutnya, sampai-sampai aku melakukan perawatan dan spa terlebih dahulu agar pertemuan kami terasa spesial. Aku bahkan berbelanja pakaian tidur yang seksi spesial baginya sebab aku yakin setelah berjauhan cukup lama, kami butuh waktu saling melepas rindu. Dan aku ingin memberinya kejutan spesial dengan memanjakan dirinya malam nanti. "Assalamualaikum, Mas!" Aku tersenyum dan mengecup punggung tangannya dengan riang. Senangnya bisa melihat wajahhnya dari dekat lagi. "Waalaikumussalam! Apa senyum-senyum?" tanya Mas Reihan melihat pipiku memerah dengan senyuman mekar seperti ABG yang dimabuk cinta saat bertemu dengan lelaki pujaannya. "Kangen, Mas!" bisikku malu-malu. Aku masih sadar diri, jika kini tengah berada di tempat umum, jadi kutahan-tahan meski tak sabar ingin menghambur kepelukannya. Mas Reihan hanya tersenyum menanggapinya. Aku menghela napas kecewa terhadap reaksinya
Seperti biasa, Mas Reihan hanya luluh pada Ibu. Meski sebelah hatiku sakit dan cemburu atas sikapnya, aku tetap bersyukur sebab anakku selamat dan aku tak perlu lagi terpaksa meminum beragam pil aneh yang Mas Reihan cekokkan padaku.Terkadang, aku masih trauma dengan sikap Mas Reihan yang berlebihan cemburu sampai tega menuduhku berzina dan mengandung benih orang lain. Sampai ia tak punya hati, ingin menggugurkan janin tak berdosa yang ia sangka bukan anaknya."Ini anakmu, Mas! Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tak pernah ada niat sedikitpun untuk membalas perselingkuhanmu dulu! Aku tulus memaafkanmu tapi kamu masih saja bersikap begini! Lama-lama aku capek, Mas!" keluhku sambil menahan tangis. Jiwa-ragaku sampai terasa lelah menghadapinya.Mas Reihan mengusap wajahnya yang tampak putus asa. Ia menangis tiba-tiba membuatku kian merasa lelah. Kenapa dia yang berubah serapuh ini? Harusnya aku yang tak bisa hidup tenang sebab dibayangi dosa pengkhianatan yang paling menyakitkan. Ta
"MAS!!" teriakku dengan hati yang terluka. Sampai aku kehilangan kata-kata untuk menyangkal tuduhannya. "Kapan kalian melakukannya, HAH??" teriaknya dengan geram, mencengkeram kedua bahuku yang sudah terpojok di dinding. Aku menangis sesenggukan hingga tubuhku berguncang, namun tak kuasa melawan sebab hatiku terlampau sakit. "GUGURKAN! Aku tidak mau tahu!" ungkapnya membuatku terbelalak. Kalimat Mas Reihan terdengar seperti sambaran petir. "Ini anakmu, Mas! Kenapa kamu tega sekali mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan?" tanyaku berlomba dengan suara isak tangis. "Kamu kan selingkuh sama dia!" "Astagfirullah, Mas! Kamu jahat sekali, Mas! Jahat!" jawabku tanpa berniat mendebatnya lagi. Semua kalimatnya terdengar begitu menyayat hati. Tubuhku sampai gemetar saking tak kuasa menahan perih yang kurasakan saat ini. "Aku tidak pernah selingkuh, apalagi sampai berzina!" kataku dengan suara bergetar, lantas pergi meninggalkan
Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer
"Ahmad, ini sarapan dulu!" kataku sambil menyodorkan nasi bungkus kepadanya. "Makasih banyak, Bu!" angguknya dengan sopan membuatku spontan tersenyum menanggapinya. "Ekhem, perhatian banget kamu sama si Ahmad! Mau balas dendam?" tanyanya dengan ketus. Melemparkan sendok yang tengah digenggamnya. "Balas dendam? Balas dendam apa, Mas?" tanyaku benar-benar tak paham. "Halaah... kamu kira aku nggak tahu niat busuk kamu sok perhatian sama si itu!" katanya dengan menelengkan kepala ke arah Ahmad yang tengah duduk cukup jauh dari kami, menikmati sarapan nasi kuning. "Astaghfirullah, Mas! Kamu cemburu sama Ahmad?" "Siapa yang cemburu? Nggak usah kepedean kamu! Aku cuma ngingetin kamu jangan kecentilan!" katanya sambil lalu. "Bilang aja cemburu, Mas!" kataku dalam hati sambil senyum-senyum. Sudah lama sekali Mas Reihan tidak pernah cemburu semenjak kami menikah. *** Hari-hari berlalu. Toko Mas Reihan masih terhitung sepi. Teman-teman Ibu yang katanya dulu langganan mendiang ayah sudah
"Kenapa sih, cemberut terus? Nggak senang hari ini hari pertama kita buka toko?" tanya Mas Reihan menambah kesal setiap sudut hatiku yang tengah mengkal gara-gara omelan panjang ibu mertua tadi. Bagaimana tidak? Aku bangun kesiangan gara-gara semalam tidurku terganggu oleh kemanjaan beliau sampai mataku sulit terpejam. Sementara dia tidur nyenyak setelah mendapat pijatan enak dariku. "Kamu itu mendukung suamimu usaha nggak, sih? Belum apa-apa bangun udah kesiangan. Pantas rezeki kalian habis dipatok ayam kemarin. Lha, yang jadi istri nggak bisa dukung suaminya tambah semangat cari rezeki. Padahal kalau nggak bisa bantu-bantu tambah penghasilan, minimal bantu lewat doa yang kenceng! Bangun sepertiga malam salat tahajud, doain suami! Terus bangun pagi, siapin sarapannya biar tambah semangat nanti kerjanya.... eh, ini malah enak-enak molor!" oceh ibu mertua panjang benar-benar menguji kesabaran hatiku. "Aarrrgghhhh!!!!" teriakku pening karena telingaku terus-terusan mendenging, terngi
Hari berlalu dengan cepat. Semenjak pinjaman Mas Reihan cair, tak ada lagi bahasan tentang dosa pengkhianatan yang Mas Reihan lakukan. Ibu kembali bersikap biasa kepadaku, acuh, tak peduli, dan tampak jelas tak suka. Tidak lagi emosi meledak-ledak menyalahkan diriku atas keterpurukan ekonomi yang sedang menerpa keluarga kami. Ibu bahkan turut andil, bebenah ruko yang telah lama dibiarkan kosong. Ruko peninggalan mendiang ayah Mas Reihan yang kini akan difungsikan kembali olehnya. Ruko sederhana ini terletak di bekas pasar lama. Dulu tempat ini ramai, namun karena pemerintah telah mengalih fungsikan pasar ke tempat lain serta mengkotakkan lahan industri di beberapa wilayah, tempat ini berubah, tak seramai dulu. Bahkan banyak beberapa ruko yang dibiarkan kosong begitu saja, ditinggalkan pemiliknya, juga tak ada yang berminat mengontraknya. "Bu, sepi sekali disini? Apa jualan kita akan laku?" tanya Mas Reihan yang mulai ragu, melihat tokonya berada di tempat kurang strategis. "Lha, ka
"Salahku dimana, Mas? Aku hanya khawatir dengan keputusanmu menggadaikan rumah Ibu!" ulangku sekali lagi membuatnya tersulut emosi.Tidak tahu salahku dimana, aku pasrah menangis tanpa suara dengan mata terpejam saat tangan Mas Reihan nyaris melayang ke pipiku."Aaarrgggghh!" teriaknya membuatku gemetar. "Kamu merendahkan harga diriku dengan tidak percaya pada kemampuanku untuk melunasi pinjaman itu, Alina!"Tubuhku sampai melorot dan terduduk di lantai saat Mas Reihan mengatakan sesuatu yang jauh dari maksud yang ingin kusampaikan."Bukan begitu maksudku, Mas!" ralatku dengan gemetar. "Tidak adakah cara lain selain meminjam ke bank dengan jaminan rumah Ibu?""APA?? Pinjam ke orang tuamu??" tanyanya merendahkan status sosial kedua orang tuaku yang hanya pemilik warung kelontong di kampung. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika ada jalan lain!" ucapnya berapi-api. Ia sampai memijit kepalanya b