Reihan terdiam seribu bahasa, tak punya jawaban atas pertanyaan yang ibunya lontarkan. Bayang-bayang Karina dengan wajah menyebalkan, membawa kabur uang tabungannya membuatnya dongkol."Ditanya malah bengong!" gerutu Ibu dengan wajah kesal. "Reihan!" teriaknya membuat Reihan terkesiap."I... iya, Bu?""Modalnya gimana? Kamu punya rencana lain nggak?""A... aku.... ada simpanan uang pendidikan Raisa yang baru kusimpan, Bu!" ucapnya terbata."Bagus kalau gitu? Ada seratus juta?" tanya Ibu membuat Reihan tergagap."Ada lima juta, Bu!" ucapnya dengan wajah tertunduk."Ya Allah, Rei..." jawab Ibu sambil mengelus dadanya. "Ya sudah, kamu pikirkan saja usaha apa yang pantas dengan modal segitu yang kamu miliki!" ucap Ibu sambil lalu."Bu...!" Reihan terus mengejar langkah ibunya yang ditolaknya mentah-mentah setiap kali Reihan meminta menggenggam tangannya untuk meminta maaf."Ibu mau siap-siap ada pengajian! Kamu bisa bicara sama Ibu kalau sudah ada ide mau usaha apa!" ucapnya tanpa mempedu
"Alinaaa!!" teriak Reihan, tak sabar menungguku yang tak kunjung datang menghampirinya."Ada apa??" tanyaku dengan kesal meski nada bicaraku kuatur dalam tempo senormal mungkin."Lama banget, sih?" "Sabar, dong, Mas! Gara-gara kamu teriak-teriak dan marah-marah terus, Raisa ketakutan! Aku harus tenangin dia dulu!""Alaah... banyak alasan!" keluhnya tak terima dengan penjelasanku. "Cepat bantu aku pikirin buka usaha apa!""Buka usaha? Maksud Mas, Mas berhenti kerja?" tanyaku tak percaya."Udah nggak usah banyak nanya! Kamu mau aku jauhin tuh perempuan kan?" Aku mengangguk cepat-cepat, memang iya. "Tapi.... apa sampai harus berhenti kerja, Mas?""Kamu! Aku lakuin ini bela-belain demi kamu tahu!' ucapnya sambil menunjuk ke arahku. Pengorbanan yang ia tunjukkan padaku menjadi terasa aneh dan tidak spesial sama sekali."Heh! Kenapa malah menatapku seperti itu?" protesnya saat aku justru menatapnya dengan tatapan curiga."Mas ngelakuin ini untukku?" tanyaku secara spontan."Iya! Sekarang
"Mas? Kok bengong?" tanyaku terheran-heran melihatnya bengong, tanpa ekspresi."Aku siap temani kamu berjuang dari nol lagi, Mas!" ucapku sambil tersenyum dan menggenggam tangannya."Benarkah?" tanyanya dengan binar bahagia.Aku mengangguk mantap. "Selama kamu setia sama aku, nggak khianatin aku lagi!" jawabku yang ia tanggapi dengan anggukan berkali-kali."Aku janji, Lin... aku janji!" ucapnya berulang-ulang, lantas sibuk menciumi tangan dan pipiku."Iya...., iyaa, Mas, iyaa!" jawabku setelah merasa cukup geli dengan sentuhannya.Esoknya, kami berdua sibuk membelanjakan modal kami yang sekadarnya ke barang-barang dagangan yang akan kami jual. Kami berdua pun sibuk menata barang di atas etalase sederhana yang telah kami beli sebelumnya, warung pun kami buka di garasi rumah yang kebetulan menghadap jalan raya.Hari pertama jualan, kami bahagia karena untuk pertama buka, warung kami terhitung cukup ramai.Hari kedua sepi, kami pun mulai lesu. Hari ketiga dan seterusnya, kami lebih banya
"Salahku dimana, Mas? Aku hanya khawatir dengan keputusanmu menggadaikan rumah Ibu!" ulangku sekali lagi membuatnya tersulut emosi.Tidak tahu salahku dimana, aku pasrah menangis tanpa suara dengan mata terpejam saat tangan Mas Reihan nyaris melayang ke pipiku."Aaarrgggghh!" teriaknya membuatku gemetar. "Kamu merendahkan harga diriku dengan tidak percaya pada kemampuanku untuk melunasi pinjaman itu, Alina!"Tubuhku sampai melorot dan terduduk di lantai saat Mas Reihan mengatakan sesuatu yang jauh dari maksud yang ingin kusampaikan."Bukan begitu maksudku, Mas!" ralatku dengan gemetar. "Tidak adakah cara lain selain meminjam ke bank dengan jaminan rumah Ibu?""APA?? Pinjam ke orang tuamu??" tanyanya merendahkan status sosial kedua orang tuaku yang hanya pemilik warung kelontong di kampung. "Aku sudah melakukannya dari dulu jika ada jalan lain!" ucapnya berapi-api. Ia sampai memijit kepalanya b
Hari berlalu dengan cepat. Semenjak pinjaman Mas Reihan cair, tak ada lagi bahasan tentang dosa pengkhianatan yang Mas Reihan lakukan. Ibu kembali bersikap biasa kepadaku, acuh, tak peduli, dan tampak jelas tak suka. Tidak lagi emosi meledak-ledak menyalahkan diriku atas keterpurukan ekonomi yang sedang menerpa keluarga kami. Ibu bahkan turut andil, bebenah ruko yang telah lama dibiarkan kosong. Ruko peninggalan mendiang ayah Mas Reihan yang kini akan difungsikan kembali olehnya. Ruko sederhana ini terletak di bekas pasar lama. Dulu tempat ini ramai, namun karena pemerintah telah mengalih fungsikan pasar ke tempat lain serta mengkotakkan lahan industri di beberapa wilayah, tempat ini berubah, tak seramai dulu. Bahkan banyak beberapa ruko yang dibiarkan kosong begitu saja, ditinggalkan pemiliknya, juga tak ada yang berminat mengontraknya. "Bu, sepi sekali disini? Apa jualan kita akan laku?" tanya Mas Reihan yang mulai ragu, melihat tokonya berada di tempat kurang strategis. "Lha, ka
"Kenapa sih, cemberut terus? Nggak senang hari ini hari pertama kita buka toko?" tanya Mas Reihan menambah kesal setiap sudut hatiku yang tengah mengkal gara-gara omelan panjang ibu mertua tadi. Bagaimana tidak? Aku bangun kesiangan gara-gara semalam tidurku terganggu oleh kemanjaan beliau sampai mataku sulit terpejam. Sementara dia tidur nyenyak setelah mendapat pijatan enak dariku. "Kamu itu mendukung suamimu usaha nggak, sih? Belum apa-apa bangun udah kesiangan. Pantas rezeki kalian habis dipatok ayam kemarin. Lha, yang jadi istri nggak bisa dukung suaminya tambah semangat cari rezeki. Padahal kalau nggak bisa bantu-bantu tambah penghasilan, minimal bantu lewat doa yang kenceng! Bangun sepertiga malam salat tahajud, doain suami! Terus bangun pagi, siapin sarapannya biar tambah semangat nanti kerjanya.... eh, ini malah enak-enak molor!" oceh ibu mertua panjang benar-benar menguji kesabaran hatiku. "Aarrrgghhhh!!!!" teriakku pening karena telingaku terus-terusan mendenging, terngi
"Ahmad, ini sarapan dulu!" kataku sambil menyodorkan nasi bungkus kepadanya. "Makasih banyak, Bu!" angguknya dengan sopan membuatku spontan tersenyum menanggapinya. "Ekhem, perhatian banget kamu sama si Ahmad! Mau balas dendam?" tanyanya dengan ketus. Melemparkan sendok yang tengah digenggamnya. "Balas dendam? Balas dendam apa, Mas?" tanyaku benar-benar tak paham. "Halaah... kamu kira aku nggak tahu niat busuk kamu sok perhatian sama si itu!" katanya dengan menelengkan kepala ke arah Ahmad yang tengah duduk cukup jauh dari kami, menikmati sarapan nasi kuning. "Astaghfirullah, Mas! Kamu cemburu sama Ahmad?" "Siapa yang cemburu? Nggak usah kepedean kamu! Aku cuma ngingetin kamu jangan kecentilan!" katanya sambil lalu. "Bilang aja cemburu, Mas!" kataku dalam hati sambil senyum-senyum. Sudah lama sekali Mas Reihan tidak pernah cemburu semenjak kami menikah. *** Hari-hari berlalu. Toko Mas Reihan masih terhitung sepi. Teman-teman Ibu yang katanya dulu langganan mendiang ayah sudah
Hatiku diliputi semangat menggebu saat mengawali hari pertama tanpa "kuliah subuh" yang panjang dari Ibu mertua. Bahkan aku beres-beres rumah sambil bersenandung saking bahagianya tanganku sibuk menyapu dan mengepel lantai yang berdebu yang kulakukan sepenuh hati. Tanpa tekanan perasaan tak enak karena Ibu atau cemas mendengar komentar Ibu yang tak pernah disaring kalimat pedasnya. Memasak pun kulakukan sepenuh cinta. Meski tetap saja rasanya aneh, tak seenak masakan Ibu. Aku termenung di depan kompor, gagal lagi memasak sop daging yang rasanya manis nggak karu-karuan. "Masa harus dibuang? Kan sayang!" keluhku dengan kepala tertunduk, menangisi nasibku yang tidak pernah berbakat memasak. Selepas salat Subuh, kulihat Mas Reihan sudah sibuk berbenah toko. Ia bahkan menghubungi Ahmad agar tiba lebih pagi. "Lapar, mama!" ungkap Raisa yang tidak biasanya, bangun tidur minta makan. "Mama goreng telur, ya?" "Nggak mau, bosan!" Raisa mer