Beranda / Romansa / Status WA Mantan Suami / Hati yang Mulai Mati

Share

Hati yang Mulai Mati

Status W* Mantan Suami (8)

__________________________

 

 

Aku terkekeh, "Aku takut? Rasa takut itu bahkan telah menguap bersama dengan luka-luka yang sudah dia ciptakan," ujarku.

 

 

Bu Wira mengusap lenganku lembut. Setelah sadar, aku menutup mulut dan mengusap sudut mata yang sedikit berair.

 

 

"Duh, maaf, Bu, Mas Kevin. Tadi ... anu ... kelepasan. Malah curhat."

 

 

Keduanya tertawa melihat kegugupan yang kutunjukkan. Baru kali ini aku melihat Kevin tertawa dan bersikap seperti pria baik-baik, padahal sejauh yang kudengar, dia adalah sosok yang suka bermain perempuan. Entah benar atau tidak, aku tidak peduli.

 

 

"Santai saja, Mbak. Kalau butuh teman curhat, pundakku siap untuk kau jadikan sandaran," ucap Kevin dengan mengedipkan satu matanya.

 

 

Bu Wira menonjok lengan Kevin dengan keras. Pria itu sampai dibuat meringis dan mengusap-usap lembut bekas tonjokan Sang Ibu.

 

 

"Sana pergi!" usir Bu Wira mendelik.

 

 

Kevin mendengkus, "Ayolah, Ma. Karyawan cantik kayak dia sepertinya cocok untuk dijadikan menantu di rumah ini."

 

 

Aku mendongak. Menatap tidak percaya pada gurauannya. Pun Bu Wira, wanita itu bangkit dan menyeret tangan Kevin untuk masuk ke dalam ruang keluarga.

 

 

"Ini upah kamu, Han. Ucapan Kevin jangan diambil hati, dia emang gitu, tapi percaya sama Ibu, dia aslinya baik. Hanya saja ...." Bu Wira menggigit bibirnya dengan mata yang mulai berembun. "Ah, untuk masalah pengalihan tempat jualan, besok kita diskusikan sama karyawan yang lain ya," sambungnya mengalihkan pembicaraan.

 

 

Mau tidak mau aku mengangguk. Menerima upah hari ini dan berpamitan untuk pulang. 

 

 

Jika saja tabunganku sudah cukup, aku tentu tidak mau bekerja di lingkungan ini lagi. Aku benar-benar ingin bangkit dan melupakan sakit hati di masa lalu. Tapi sayang, aku bahkan bekerja belum genap seminggu di tempat Bu Wira, juga tempat kos yang kutinggali sudah termasuk yang paling murah saat ini. Sepertinya memang aku harus sedikit bersabar hingga bisa benar-benar pergi dan memulai kehidupan yang baru. Ah, aku rindu Emak dan Bapak. Apa aku pulang saja dan melupakan keinginan balas dendam pada keluarga Mas Ari? 

 

 

Tidak, Hana. Kamu pasti bisa! Aku pernah hancur sebelum benar-benar bisa bangkit saat ini, akan kubuat Mas Ari dan Mbak Risa hancur pula. Bagaimanapun caranya!

 

 

_______________________

 

 

Plak!

Plak!

 

 

Ibu menamparku dengan keras hingga hampir saja aku limbung jika tidak sigap menopang tubuh.

 

 

"Omong kosong apa yang sedang kamu bicarakan, Hana? Apa kamu sadar dengan semua ucapanmu itu, hah?!"

 

 

Air mataku mengalir deras. Tamparan ini tidak lebih sakit daripada mengetahui kebenaran tentang hubungan Mas Ari dan Mbak Risa. Perih di pipi tidak lagi kurasakan, sebab dengan tidak percayanya ibu pada ucapanku sudah membuat duniaku semakin hancur.

 

 

"Ayolah, Han. Mbak Risa tadi hanya sedang meminta solusi, kenapa kamu membual tentang ... ah, rasanya sungguh tidak pantas seorang istri memfitnah suaminya," tutur Mas Ari dengan menunduk.

 

 

Belum sempat aku membuka mulut untuk menyanggah elakan Mas Ari, Mbak Risa duduk bersimpuh di kakiku dengan menangis pilu membuat Ibu semakin menatap tajam ke arahku.

 

 

"Jangan memfitnah kami, Han. Kamu tau kan kalau aku ini kakak iparmu, bagaimana bisa kamu mengatakan kalau kami ... berciuman?"

 

 

Aku membuang muka. Mereka berdua benar-benar pemain handal. Pantas saja selama ini Ibu tidak mengendus kelicikan keduanya.

 

 

"Cukup ... cukup! Aku muak dengan kebohongan kalian berdua. Sekarang talak aku, Mas!" teriakku lantang.

 

 

Mbak Risa menganga, sementara Mas Ari mengusap rambutnya kasar. Hanya Ibu yang sepertinya memang menanti aku dan Mas Ari berpisah, terlihat jelas dari segaris senyuman di bibirnya.

 

 

"Tidak, Han. Aku tidak akan pernah menceraikanmu!" tolak Mas Ari tegas.

 

 

"Aku lelah, Mas. Untuk apa hidup dengan orang yang jelas-jelas mencintai wanita lain? Aku manusia ... punya hati dan perasaan, kau tau itu?!" selorohku. "Selama ini aku diam karena merasa tidak cukup bukti atas ulah kalian berdua. Tapi hari ini ... aku menyerah. Biarkan aku pergi," sambungku lagi.

 

 

Mas Ari menggeleng cepat. Dia menarik tubuhku dalam pelukannya meskipun aku sempat memberontak. Kulihat Mbak Risa membuang muka dan bibir Ibu mencebik melihat aksi putranya.

 

 

"Hentikan drama ini, Hana!" desisnya tertahan. "Kalau kau masih ingin hidup."

 

 

Tubuhku menegang. Mas Ari melepaskan pelukannya dan menggenggam erat jemariku dengan senyuman menyeringai.

 

 

"Jangan marah lagi ya, Sayang. Ayo kita pulang," ajak suamiku lembut.

 

 

Antara ingin memberontak dan menurut, perasaan takut ini benar-benar sulit untuk kulawan. Di kota aku hanya sebatang kara, sangat mudah bagi Mas Ari untuk melenyapkanku mengingat Emak dan Bapak yang jauh di kampung. Ah ... lagi-lagi aku merutuki kebodohanku.

 

 

Mau tidak mau aku mengekor di belakangnya setelah histeris meminta cerai. Ibu nampak menghentakkan kakinya dan membantu Mbak Risa untuk berdiri.

 

 

"Oalah, Hana ... Hana ... bikin kaget warga komplek aja!" cibir Mbak Juli ketika aku melewati depan rumahnya. "Cemburu sama ipar boleh, karena Astri memang cantik. Tapi ya jangan kelewatan gitu lah, pakai segala sebar fitnah. Gila!" umpatnya lantang.

 

 

"Ya gitu memang, Jul. Dia seolah nggak suka kalau aku dekat dengan adik iparku. Padahal aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri," sahut Mbak Risa di depan rumah Ibu.

 

 

Suara keduanya masih jelas kudengar. Kasak-kusuk tetangga pun mulai santer di telinga. Apakah aku terlalu gegabah? Dalam perjalanan menuju rumah yang hanya berjarak dua rumah tetangga, aku merasakan putus asa yang teramat dalam. Kepada siapa lagi aku mengadu jika Ibu mertua bahkan tidak percaya dengan ucapanku?

 

 

Ah, harusnya aku sadar diri. Mana ada seorang ibu yang membela menantu dari kampung sementara anak dan menantu lainnya begitu dia sayangi.

 

 

Tanpa kusadari, air mata sudah kembali membasahi pipi. Mas Ari semakin mengeratkan cekalan tangannya pada pergelangan tanganku. Sekali lagi, luka fisik yang kuterima tidak lebih sakit daripada luka hati yang mereka ciptakan.

 

 

 

Bersambung

 

 

Akan ada part yang menjelaskan bagaimana bisa Hana yang penakut, kurang sigap dan bodoh tiba-tiba menjadi Hana yang kuat dan tidak lagi terkalahkan oleh perlakuan Ari dan Risa. Tunggu ya!

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status