Share

Pengakuan Ari

Status W* Mantan Suami (4)

________________________

 

"Hana ... Hana ....!"

 

 

Aku yang sedang menyiapkan makan malam di dapur sedikit terkesiap mendengar Mas Ari berteriak lantang dari depan. Segera kumatikan kompor dan menghampirinya yang sudah berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang.

 

 

 

"Ada apa, Mas? Kenapa teriak-teriak?" 

 

 

"Ada apa kamu bilang, hah? Kamu sadar kan apa yang udah kamu lakuin ke ibu?"

 

 

 

Aku menghela nafas kasar. Selalu saja begini, Mas Ari seolah buta dengan situasi yang terjadi. Dia hanya akan membela Ibu sekalipun aku membela diri.

 

 

 

"Mas ... harusnya aku loh yang marah sekarang!" Aku berusaha mengeluarkan suara, meskipun jantungku sudah mulai berdebar tidak beraturan.

 

 

 

"Punya hak apa kamu di rumah ini? Sadar diri, Han ... kamu itu wanita miskin, jika saja aku dulu tidak menikahimu, mungkin kamu nggak bisa hidup seenak ini. Kamu itu cuma numpang! Numpang disini!" teriak Mas Ari. Suaranya memecah keheningan di dalam rumah.

 

 

 

Aku menghirup napas dalam-dalam dan mulai mengeluarkannya perlahan. Sesak di dalam dada saling berhimpitan ingin keluar. Bahkan air mata yang kutahan sejak tadi memaksa untuk berderai.

 

 

"Kalau begitu ... ceraikan aku!" sahutku datar, berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis di depannya. 

 

 

 

Tawa Mas Ari menggema di ruangan. Dia menjetikkan jemarinya tepat di depan wajahku. "Cerai? Enak aja, kamu pikir cerai nggak keluar duit?" ujarnya ringan sekali. "Sudah untung aku mau menikahimu, jika tidak kamu pasti sudah menjadi wanita tua di kampung. Kamu harusnya bersyukur, banyak wanita kampung yang bermimpi menikahi lelaki kota, tapi kamu justru ingin meminta cerai. Jangan sok kamu, Han!" cibir Ari.

 

 

Keningku berkerut. Lalu untuk apa dia mempersuntingku jika hanya menjadi samsak kemarahannya? Bukankah bercerai lebih baik, meskipun harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Ah ... andai saja aku punya uang, minimal memiliki penghasilan sendiri ... aku sudah barang pasti lebih dulu mengajukan gugatan perceraian.

 

 

"Kalau begitu, biar aku yang mengajukan gugatan cerai. Itu kan yang kamu inginkan?" 

 

 

Mata Mas Ari melotot sehingga nampak bola matanya hampir saja melompat dari kelopaknya. Dicengkeramnya lenganku dengan kuat, kulihat dadanya naik turun seperti tengah menahan marah.

 

 

Apa aku salah? 

 

 

Bukankah dia sendiri yang bilang jika enggan keluar duit untuk mengurus perceraian. Lalu, kini saat aku menantang akan menggugat cerai dirinya, Mas Ari justru terlihat semakin marah.

 

 

"Apa kamu lupa siapa kamu, Han? Wanita kampung yang miskin! Kamu tau kan bagaimana reaksi Bapak dan Emakmu nanti jika putri mereka menjadi janda? Apa kamu bisa membayangkan itu?" Sudut bibir Mas Ari terangkat, membuatku semakin muak berada di dekatnya. Lelaki apa yang menikahiku ini? Mengapa dulu aku begitu mudah menaruh hati padanya? 

 

 

Aku merutuki kebodohanku. Mas Ari benar ... aku mungkin bisa tahan dengan cibiran warga kampung, tapi entah dengan Bapak dan Emak, mereka sudah tua, sudah seharusnya menikmati masa-masa tuanya dengan tenang. Lalu ... bagaimana hancurnya hati mereka jika tau kalau aku menjadi janda di usia yang begitu muda, bahkan di usia pernikahan yang belum genap satu tahun ini?

 

 

"Hana ... Hana ... kamu nggak akan bisa bercerai dariku. Aku masih butuh bantuanmu, Han. Nikmati saja uang bulanan gratis dariku, itu adalah satu kebaikanku untukmu," tutur Mas Ari. "Dengan adanya kamu ... kakakku yang bodoh itu tidak akan curiga jika aku dan istrinya ...."

 

 

 

Plak!

 

 

Suasana dalam ruang tamu seketika berubah mencekam. Hening. Kami saling diam. Mas Ari mengusap pipinya yang nampak memerah bekas tamparan dariku. Tanganku gemetar setelah sadar sudah menampar pipi Mas Ari dengan begitu keras. Dia menatap nyalang ke arahku, ditariknya rambutku dengan kuat, lalu dihempaskannya tubuhku hingga terjerembab di lantai.

 

 

 

Ketakutan benar-benar menguasaiku kali ini. Aku akui, meskipun Mas Ari tidak pernah memberiku nafkah yang layak, tapi dia tidak pernah melakukan kekerasan fisik. 

 

 

"Berani kamu menamparku, Han?" desisnya dengan membungkuk, mensejajarkan dirinya dengan tubuhku yang luruh di lantai. "Apa kamu marah setelah mengetahui kenyataan mengapa aku menikahimu? Iya?!" Suaranya meninggi, tidak dapat kupungkiri jika aku benar-benar takut kali ini. 

 

 

Aku merutuki kelemahanku. Di luar sana, banyak wanita yang bisa keluar dari hubungan keluarga yang tidak sehat, bahkan mereka bisa melawan suami yang berbuat dzolim dengan penuh keberanian. Tapi aku ...? Setelah memberanikan diri menampar pipi Mas Ari, justru ketakutan semakin terkungkung dalam jiwa. Aku lemah ... aku kalah dengan keadaan yang ada.

 

 

"Kamu salah karena sudah berani melawanku, Hana! Kamu pikir kenapa aku menikahi wanita kampung sepertimu, sedangkan di kota saja aku bisa menggaet wanita yang lebih cantik?" Mas Ari tertawa, membuat hatiku semakin nyeri. "Itu karena kamu hanya wanita kampung ... banyak orang bilang kalau wanita dari kampung itu penurut ... lembut dan mudah dibohongi. Tapi ternyata semakin kesini kami semakin berani padaku," ujar Mas Ari sengit.

 

 

Aku mendongakkan kepala, menatap nanar pada Mas Ari yang tertawa semakin lebar. Tidak lama setelah itu, Mbak Risa datang ... itulah saat-saat dimana rasa cintaku pada Mas Ari benar-benar hancur ... luntur, tak lagi berbekas.

 

 

 

Bersambung

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status