Share

Rasa yang Menguap

Status W* Mantan Suami (6)

______________________________

 

 

"Brengsek!"

 

 

Samar-samar aku mendengar Mas Ari mengumpat. Dengan dada berdebar, aku berjalan semakin menjauh. Rasanya seperti mimpi ketika aku benar-benar berani melawan mereka. Tanpa terasa air mataku mengalir. Bukan karena sedih, melainkan perasaan yang begitu lega karena bisa bangkit setelah berbulan-bulan aku hampir gila karena perlakuan mereka.

 

 

 

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

 

 

"Ar ... ada masalah penting. Bisa kita ngobrol berdua?" 

 

 

Mbak Risa datang saat aku dan Mas Ari berseteru. Suamiku menghentikan amarahnya begitu melihat istri kakaknya itu mendekat dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan. Semacam takut ... cemas ... berkali-kali dia mengecek ponsel di genggaman.

 

 

 

"Kita ngobrol di depan," pinta Mas Ari. 

 

 

Mbak Risa mengangguk. Dia berjalan lebih dulu menuju teras sementara Mas Ari mewanti-wanti agar aku tidak menguping pembicaraan mereka.

 

 

 

"Pergi ke dapur, buatkan Mbak Risa minum. Awas kalau kamu nguping! Kupotong telingamu!" ancam Mas Ari.

 

 

Aku bangkit. Tanpa banyak bicara lagi berpura-pura melenggang menuju dapur. Dengan cekatan aku membuat minuman untuk mereka berdua. 

 

 

Bodoh?

 

 

Memang! Aku memang bodoh karena tidak bisa berbuat apa-apa melihat Mas Ari dan Mbak Risa terlibat obrolan serius. Mulut mereka sama-sama terkunci saat aku datang menyuguhkan minuman dingin di atas meja.

 

 

"Tunggu apa lagi, sana pergi!" Mbak Risa berbisik dan mengibaskan tangannya di udara seolah aku adalah pembantu di rumah ini.

 

 

Kutatap tajam matanya yang nampak sedikit berair. Tapi sayang, Mas Ari gegas menarik tanganku kasar dan mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam rumah.

 

 

"Pergi ke kamar! Jangan ikut campur urusan orang lain!"

 

 

"Mas! Aku ini istrimu. Aku juga berhak tau apa yang sedang kalian bicarakan."

 

 

"Aku tidak ingin berdebat, Hana! Pergi!" teriaknya lantang.

 

 

Aku melangkah dan bersembunyi di balik tembok penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga. Kuintip dari balik gorden, Mas Ari sudah tidak terlihat. Mungkin dia kembali ke teras menemui Mbak Risa. Aku m ngendap-ndendap mendekati pintu dan bersembunyi di baliknya.

 

 

"Mas Adrian mau pulang, Ar, hari Minggu besok," lirih Mbak Risa.

 

 

"Terus masalahnya dimana, Mbak? Ya wajar dong dia pulang kan istri dan ibunya di rumah."

 

 

"Kok kamu ngomongnya gitu sih! Emang nggak cemburu sama kakakmu kalau dia pulang?"

 

 

Deg!

 

 

Hatiku nyeri. Tapi yang kubisa hanya menahan tangis.

 

 

"Mau gimana lagi, Mbak? Kamu mau aku dan Kak Adrian gelut gitu?"

 

 

"Bukannya gitu, Ar. Tapi kalau dia minta jatah ...."

 

 

Suara Mbak Risa mengambang di udara. Kuintip dari balik gorden, Mar Ari menarik tangan Mbak Risa dan hendak membawanya masuk ke dalam rumah. Aku berlari dan bersembunyi di balik tembok dapur. 

 

 

 

Hatiku hancur ... remuk, saat kulihat dengan kedua mataku sendiri kebejatan mereka. Mas Ari mendesak tubuh Mbak Risa ke tembok dan dia mulai menciumnya dengan beringas.

 

 

 

Kuremas baju yang melekat di dada. Hari ini ... rasa cintaku pada Mas Ari benar-benar hilang. Ternyata apa yang dia katakan tadi tidak sepenuhnya bohong. Mas Ari menikahiku hanya karena ingin menutupi hubungannya dengan Mbak Risa.

 

 

"Jangan bicara jatah di depanku. Aku tidak yakin bisa mengendalikan diri. Mengerti?!"

 

 

Mbak Risa mengangguk dan menenggelamkan wajahnya di dada suamiku. Kakiku seketika lemas. Aku ambruk di lantai dapur dengan menahan nyeri di hati sementara air mata tidak henti-hentinya mengalir deras.

 

 

Kuabaikan rasa takut. Aku berjalan menghampiri mereka dan menampar pipi Mbak Risa saat itu juga.

 

 

"Wanita murahan!" desisku marah. Bisa-bisanya dia bermain api dengan suamiku, adik suaminya sendiri.

 

 

"Apa-apaan kamu, Han?" bentak Mas Ari.

 

 

"Apa-apaan kamu bilang, Mas? Kalian berciuman ganas di rumahku dan kamu bilang apa-apaan, hah?!"

 

 

 

Plak!

 

 

Mas Ari balik menamparku hingga ujung bibir kurasakan sedikit asin. Kuusap dengan ibu jari dan benar saja, ada darah yang menjejak di sana.

 

 

Kutatap dua manusia laknat itu bergantian. Aku berlari menuju rumah Ibu. Dia harus tau kelakuan anak dan menantu kesayangannya.

 

 

Tatapan para tetangga padaku tidak lagi kupedulikan. Bahkan air mata yang sejak tadi mengalir juga kuabaikan.

 

 

Jdor

Jdor

Jdor

 

 

"Bu, buka pintunya!" Aku berteriak seperti orang kesetanan. 

 

 

Kulihat Mas Ari dan Mbak Risa berlari mengejarku hingga di depan rumah Ibu. Mata tetangga mengawasi membuat Mas Ari tidak leluasa memarahiku. 

 

 

Bagus, dengan begini aku bisa mengadukan mereka pada ibu.

 

 

"Bisa lebih sopan kalau datang? Wanita kampung sepertimu memang tidak tau malu! Datang ke rumah mertua nggak punya sopan santun," cibir Ibu membuat seringai tipis di bibir Mbak Risa.

 

 

Kukesampingkan sakitnya hinaan Ibu. Yang terpenting, wanita tua ini harus tau kelakuan mereka.

 

 

"Jangan menghinaku jika ternyata anak dan menantu kesayangan Ibu lebih tidak tau malu lagi, bisa-bisanya mereka berciuman di rumahku, apa mereka berdua sudah gila?!" ujarku lantang.

 

 

Ketiga orang di depanku membulatkan matanya.

 

 

Plak

Plak

 

 

Bersambung

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status