"Bos di tempat kami bekerja." Jawaban mereka menurunkan semangatku."Bisa saya pinjam gawai kalian?""Maaf, Nyonya. Kami dilarang mengunakan gawai atau alat komunikasi lainnya selama melakukan perawatan untuk Nyonya," ungkap mereka. Aku sudah menduga, mereka tidak membiarkan orang asing masuk tanpa pengawasan.Aku melangkah masuk meninggalkan mereka di ruang tengah. Tidak peduli dengan ocehan keduanya yang merasa kehadiran mereka tidak dihargai."Nyonya, bisa kita mulai perawatannya?" tanya gadis muda itu. Langkahku terhenti di anak tangga ketiga. Menoleh sejenak karena keyakinanku mengatakan mereka tidak tahu menahu perihal masalahku."Perawatan apaan?" tanyaku lesu."Luluran, ratus ....""Apa, ratus? Saya tidak salah dengar?""Tidak Nyonya, menurut pelayan Anda seperti itu. Nyonya akan melakukan Ratus dan rangkaian treament lainnya," papar gadis muda itu."Tidak!""Nyonya 'kan mau menikah. Jadi harus ditreament terlebih dahulu," sambung gadis itu lagi."Saya punya suami, katakan pad
"Nyonya, tolong kenakan bajunya. Akad nikah sebentar lagi akan dilaksanakan," pinta pelayan di hadapanku dengan wajah frustasi. Aku tetap dengan pendirianku. Statusku masih istri sah Khanif. Tidak ada alasan yang bisa membuatku menerima dinikahi pria lain. Apa lagi pria yang sama sekali tidak aku kenali. "Ayo lah, Nyonya. Jangan tambah beban pekerjaan kami. Sekali-kali tolong mudahkan pekerjaan kami. Jangan sampai tuan marah dengan hal ini," ucapnya dengan nada memelas. Aku menyunggingkan senyum sinis."Aku mau melihat wajah tuan kalian saat dia marah. Penasaran sama wajahnya.""Ya Allah, Nyonya. Kenapa Anda keras kepala?" Dia terus mondar-mandir di hadapanku sambil memegang gaun pengantin yang menjuntai ke lantai."Masih bisa sebut Allah kamu. Harusnya, kalau kamu masih mengenal siapa Allah. Kamu tidak membantu siapa pun orang yang ikut menyekapku di sini. "Nyonya, mengerti lah, kami bekerja ....""Bekerja, mendapatkan uang. Uangnya kalian gunakan menafkahi keluarga. Kalian pikir
Bugh!"Diam! Jangan banyak bicara lagi!" sentak Mas Lukman. Bogem mentah melayang ke wajah Mas Gilang.Plaak! Tanganku mendarat di pipi Mas Gilang. Tamparan sebagai bentuk kekecewaan atas sikap "Aku kecewa padamu, Gilang. Sangat kecewa," ucapku dengan air mata yang berlinang. Aku meminta Mas Lukman dan Daffa membawaku dari pergi dari rumah ini. Tidak sabar untuk meninggalkan tempat ini. Mas Gilang melakukan siasat keji. Menculik dan menyekapku di sini. Empat bulan kemudian dia mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dengan alasan Khanif tidak memberikanku nafkah batin dan segala tetek bengeknya. Aku tidak paham, kenapa pengadilan mengabulkan gugatan palsu Mas Gilang. Namun di Indonesia kita mengetahui bahwa terdapat ta'liq talak yang dibaca oleh mempelai pria dan tertera di buku nikah, yang diantara pointnya ialah'Apabila saya: … (2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya … dan karena perbuatan tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada P
Bau obat bercampur dengan bau cairan pembersih lantai menguar menusuk indera penciuman. Cahaya matahari berusaha menyusup di balik tirai yang belum tersingkap. Mata mengerjap pelan dengan denyar kepala yang menyiksa.Bunyi alat pedeteksi jantung adalah alunan nada yang pertama kali terdengar. Jarum inpus menancap di punggung tangan kiriku. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan yang sepi dan senyap. Tubuhku terbaring atas ranjang rumah sakit. Ya, aku kembali mengingat peluru dari pistol yang Mas Gilang pegang menembus dinding perutku.Decit pintu memecah kesunyian, disusul derap antukan sepatu dengan lantai. Pandangan beralih ke arah sumber suara.Mas Lukman dan Daffa diikuti oleh Mas Gilang. Mereka melihat ke arahku tanpa bicara. Daffa melangkah lebih dekat ke arahku. Sedangkan, Mas Gilang memilih menghempaskan tubuh ke sofa. Wajahnya dipenuhi lebam yang mulai membiru."Mbak butuh apa?" tanya Daffa lembut. Telapak tangannya membelai pucuk kepalaku lembut. Binar kasih sayang terpancar je
"Beberapa kali Mas Khanif curiga dengan Mas Gilang. Namun, satu bukti pun tidak mengarah padanya. Semua terlalu rapi. Hingga, sehari sebelum kalian menikah Mas Gilang mengancam akan membunuhku, jika tidak mau menjadi wali nikah kalian. Dia memintaku merahasiakannya. Namun, aku tidak bisa menyimpannya sendiri. Mas Lukman orang yang bisa aku percaya. Makanya ini semua terbongkar," beber Daffa.Aku menghela napas panjang. Aku paham dan percaya, jika kasus ini tidak bisa dipecahkan. Mas Gilang tidak pernah menemuiku selama delapan bulan lamanya. Ada orang kepercayaannya yang mengurus semua rencana busuknya."Mas, perceraianku sah atau tidak. Aku tidak pernah menandatangi surat gugatan cerai itu?" tanyaku pada Mas Lukman.Perlahan kuraba luka bekas operasi. Rasa nyeri cukup menyiksa. Aku meringis kesakitan, sorot-sorot mata penuh iba terarah padaku. "Mas kurang paham, Nia. Kasusnya berbelit-belit tidak jelas. Kalau masalah kamu menikah dengan Khanif. Jika kalian kembali berkenan. Pernikah
"Nia, boleh aku duduk di dekatmu?" tanya Mas Gilang. Tatapannya membuatku tidak nyaman. Aku memperhatikan ke sekeliling. Mencari keberadaan Khanif, ibu dan penghuni rumah lainnya."Khanif sedang mengantar ibu ke pasar" ujar Mas Gilang. Dia paham akan tingkahku."Silahkan," ujarku pelan. Rasa takut mendera bila terlalu keras menolaknya, tidak ada yang melindungiku saat ini. "Kamu terlalu takut sama Khanif, ya?" Pertanyaanya cukup mengusik batin. Aku menutup buku dalam genggaman. Beralih menatap Mas Gilang dengan sorot mata tenang. "Untuk apa takut? Aku tidak takut," balasku dengan mengernyitkan dahi. Sama sekali tidak paham dengan maksud Mas Gilang. Aku sadar, segala yang kulakukan saat ini adalah kesalahan baginya. "Aku lihat kalau Khanif di rumah kamu selalu menghindar dariku," ujarnya dengan ekspresi yang membuatku kesal."Wajar, aku tidak ingin menyakiti hatinya," jawabku dengan helaan napas berat. Berusaha memberikan opsi jawaban yang terbaik. "Kalau hatiku yang sakit itu ng
Ruangan tamu rumah ibu dipenuhi oleh anak dan cucu wanita yang paling kusayangi untuk saat ini. Malam ini mereka semua akan membahas rencana pernikahanku dengan Khanif. Namun, kami telah sepakat berdua untuk menikah sesederhana mungkin. Kemewahan sudah kurasa dipernikahan sebelumnya. Namun, semua itu tidak menjanjikan kebahagian. "Konsepnya bagaimana, Nif?" tanya Mas Lukman. Lelaki itu sangat antusias dalam hal ini. "Tidak ada konsep apa-apa. Kami sudah sepakat untuk menikah di KUA atau pun di rumah saja. Tidak perlu mewah yang penting sah," jawab Khanif. Matanya melirik ke arahku. Kusambut dengan anggukan pelan. Mereka serempak menatap kami berdua, pandanganku sampai kuturunkan karena mendadak malu dengan tatapan menggoda."Yakin?" tanya Mbak Aisyah dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Yakin, Mbak. Kami inginnya yang sederhana saja. Lagian malu bentar-bentar nikah," celutukku pelan. Kuangkat perlahan wajahku untuk menatapnya, jangan sampai dinilai kelakuanku tidak menghargainya.
Hari ini, akad nikah akan kembali dilaksanakan. Pagi ini begitu cerah, suasana suka cita cukup terasa. Ya ... walaupun batinku diliputi gundah. Aku malu pada Allah, karena ulah Mas Gilang. Pernikahan dalam keluarga Sentawibara bak sebuah permainan. Bayangan pernikahan seumur hidup bagi seorang wanita adalah memiliki pasangan yang setia, pengertian, dan saling mendukung dalam segala hal. Mereka saling berbagi impian, tujuan, dan kebahagiaan sepanjang hidup. Hal itu telah kandas dari perjalanan hidupku.Semua persiapan sudah Khanif persiapkan dengan matang. Mulai dari acara akad, hingga tiket penerbangan nanti sore. Dia sangat trauma dengan kehilanganku beberapa bulan kemarin. Sikap protektifnya dalam menjagaku sering membuatku tertawa geli di dalam hati. Aku tidak pernah menyangka Khanif tumbuh dewasa dengan begitu cepat. Dia juga pandai menyimpan rasa yang begitu besar untukku. Dimana hal itu tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Rumah ibu dipadati dengan keluarga inti. Tidak ada
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n