Ruangan tamu rumah ibu dipenuhi oleh anak dan cucu wanita yang paling kusayangi untuk saat ini. Malam ini mereka semua akan membahas rencana pernikahanku dengan Khanif. Namun, kami telah sepakat berdua untuk menikah sesederhana mungkin. Kemewahan sudah kurasa dipernikahan sebelumnya. Namun, semua itu tidak menjanjikan kebahagian. "Konsepnya bagaimana, Nif?" tanya Mas Lukman. Lelaki itu sangat antusias dalam hal ini. "Tidak ada konsep apa-apa. Kami sudah sepakat untuk menikah di KUA atau pun di rumah saja. Tidak perlu mewah yang penting sah," jawab Khanif. Matanya melirik ke arahku. Kusambut dengan anggukan pelan. Mereka serempak menatap kami berdua, pandanganku sampai kuturunkan karena mendadak malu dengan tatapan menggoda."Yakin?" tanya Mbak Aisyah dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Yakin, Mbak. Kami inginnya yang sederhana saja. Lagian malu bentar-bentar nikah," celutukku pelan. Kuangkat perlahan wajahku untuk menatapnya, jangan sampai dinilai kelakuanku tidak menghargainya.
Hari ini, akad nikah akan kembali dilaksanakan. Pagi ini begitu cerah, suasana suka cita cukup terasa. Ya ... walaupun batinku diliputi gundah. Aku malu pada Allah, karena ulah Mas Gilang. Pernikahan dalam keluarga Sentawibara bak sebuah permainan. Bayangan pernikahan seumur hidup bagi seorang wanita adalah memiliki pasangan yang setia, pengertian, dan saling mendukung dalam segala hal. Mereka saling berbagi impian, tujuan, dan kebahagiaan sepanjang hidup. Hal itu telah kandas dari perjalanan hidupku.Semua persiapan sudah Khanif persiapkan dengan matang. Mulai dari acara akad, hingga tiket penerbangan nanti sore. Dia sangat trauma dengan kehilanganku beberapa bulan kemarin. Sikap protektifnya dalam menjagaku sering membuatku tertawa geli di dalam hati. Aku tidak pernah menyangka Khanif tumbuh dewasa dengan begitu cepat. Dia juga pandai menyimpan rasa yang begitu besar untukku. Dimana hal itu tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Rumah ibu dipadati dengan keluarga inti. Tidak ada
Selama upacara pernikahan, mas Gilang berusaha menebar senyum. Walaupun aku bisa melihat binar kecewa yang terpancar dari sudut mata elangnya. Dia tidak mendekat hanya menatap dari kejauhan. Khanif mengajakku mengikuti sisi pemotretan di depan rumah. Dia beralasan sebagai kenangan-kenangan sebelum berangkat ke Mesir. Matahari begitu gagah menyinari taman bunga mawar milik ibu di depan rumah. Cahaya emas menyusup dibalik pohon beringin dan cemara di sisi pagar sebelah timur, menciptakan atmosfer magis yang begitu menggila. Tangan Khanif melingkar posesif di pinggangku seakan menegaskan bahwa aku adalah miliknya seorang. Kenyamanan yang begitu sempurna Khanif tawarkan dengan sukarela. Di antara deretan bunga-bunga yang mekar dan semarak, Aku dan Khanif berhenti sejenak. Fotografer mengatur pose kami, menangkap momen indah yang merefleksikan cinta Khanif untukku. Mata kami saling bertemu dengan penuh kasih, dan senyum yang mengungkapkan segala kebahagiaan terdalam."Kau begitu cantik
"Kok berhenti?" tanyaku pada Khanif. Tujuan kami bandara. Namun, mobil berhenti di depan sebuah mall. Suasana terlihat ramai, banyak orang yang lalu lalang. Aku menghela napas pelan, melirik ke arah Khanif dengan mata menyipit, butuh penjelasan untuk mengusir kegelisahan"Belanja dulu," ujar Khanif dengan mengulas senyum manis. "Belanja?" tanyaku heran. Khanif mengangguk pelan. Dia turun dan membukakan pintu mobil untukku. "Kita mau ke luar negeri. Kenapa harus belanja lagi. Memangnya mau beli apa?" tanyaku mulai bingung. Sulit menebak pikiran Khanif, butuh waktu untuk memahami pribadinya yang unik. "Ya, beli perlengkapan kita," jawab Khanif dengan kedipan mata nakal. Aku mulai mencium gelagat yang aneh darinya. Khanif meraih ujung jemariku. Membantuku keluar dari mobil. Saat posisiku sudah sempurna, dia mengamit lenganku. "Sampai sana nggak sempat belanja ginian. Lagian penerbangannya masih dua jam lagi. Belanja sepuasnya," ucapnya pelan. Aku hanya mampu mengulas senyum tanpa b
"Siap, tapi ... yang Sayang suka juga," bisikku pelan. "Kenapa harus aku," jawabnya dengan kerlingan mata ke arah sekitar. Aku memintanya sedikit menunduk. Tubuhnya terlalu tinggi, hingga aku tidak bisa berbisik di telinganya. Dalam hitungan detik kepalanya sudah menunduk. Aku pun mulai berbisik, "aku 'kan boboknya sama Sayang. Jadi ... apa pun yang aku kenakan harus kesukaan Sayang." Senyum merekah tersungging di bibir Khanif. Tanpa pikir panjang, dia melabuhkan kecupan di keningku. Kemudian melangkah jauh mengambil keranjang belanjaan. Andai aku bisa melihat wajahku sekarang. Aku yakin sudah merah bak tomat. Berusaha tetap normal. Uh! Udah tua pun masih berlagak bak ABG. Khanif menunjuk sebuah lingerie transparan bersulam floral. "Gimana, kamu suka?" tanyanya padaku. Aku mengeryitkan dahi lalu mengangguk pelan. "Ok, lanjut lagi," ujarnya seraya memasukkan ke dalam keranjang.Aku melempar pandangan ke arah deretan bralette biru dengan dua tali yang melintang di bagian tengah da
Ketika mereka memasuki salon, suasana di dalamnya terasa begitu menenangkan. Aroma harum dari lilin wangi menyeruak, sementara musik lembut memainkan lagu yang menenangkan hati. Suasana salon begitu nyaman, terasa seperti dunia yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Kepenatan mengungsi sesaat berganti kenyamanan. Khanif mengandeng tanganku dengan begitu bahagia, seorang wanita muda berparas jelita mendekat ke arah kami. Menyapa dengan lembut serta mempertanyakan tujuan kami. Sebuah sofa empuk menjadi pilihan sebelum memutuskan negosiasi. Sudah lama tidak melihat hal-hal indah seperti ini. Beberapa pertanyaan diajukan oleh gadis bernama Sinta di hadapanku. "Berikan pelayanan yang terbaik untuk istri saya. Pokoknya manjakan ia dari ujung kaki hingga ke ujung kepala," ucap Khanif pada Sinta. Aku menoleh ke arahnya, terlalu berlebihan menurutku. Kepala sedikit kugelengkan sebagai tanda kurang setuju. "Baik, Mas. Apakah Mas juga mau ikut perawatan?" tanya Sinta. Khanif melirik ke a
"Kita pulang ke rumah atau nginap di hotel?" tanya Khanif. Kami menumpangi sebuah taksi online sebagai alat transportasi karena tidak membawa mobil. "Ke rumah saja, biar bisa bertemu ...." "Bertemu Mas Gilang?" potongnya dengan memasang wajah datar. "Kok Mas Gilang? Aku nggak ngomong, ya," protesku seraya masuk ke dalam mobil. "Terus ...." "Ya ketemu Ibu lah. Aku nggak ada urusan lagi sama Mas Gilangmu itu. Dia masa lalu dan kamu masa depanku." Telunjuk mengarah tepat di dadanya. Dia menyambut tanganku dan menciumnya pelan. "Malu," desisku seraya menarik tanganku cepat. "Nggak apa-apa kok, Bu. Saya sudah biasa melihat momen-momen romantis seperti tadi," timpal lelaki di balik stir kemudi. Aku melotot ke arah Khanif. Dia mengulum bibirnya pelan. Menarik tubuhku semakin mendekat ke arahnya. "Penganti baru, ya, Mas?" tanya lelaki itu lagi. "Iya, Pak. Masih sangat baru. Kami baru menikah tadi pagi," jawab Khanif bersahabat. "Ya Allah, masih panas bukan hangat," jawab supir itu
Aku tertawa dalam hati dengan segala situasi yang terjadi. Padahal, aku udah membayangkan diperlakukan lebih olehnya. Ah! Dasar otak mesum, rutukku pada diri sendiri.Hanya dua puluh menit untuk membersihkan badan. Belum boleh berlama-lama, karena luka operasi belum sembuh total. Di area perut masih menggunakan perban anti air. Aku hampir lupa dengan kondisiku karena dimabuk gairah yang tiba-tiba memuncak. Kalau ditimbang-timbang, aku sudah sangat berbaik hati pada Mas Gilang. Tidak menyeretnya ke penjara karena kasus penyekapan dan penembakan tempo hari. Namun, sikapnya masih saja seperti tidak terjadi apa-apa. Rasa bersalah tidak sedikit pun terlihat pada dirinya. Kami sama-sama masih berbalut handuk. Aku menundukkan pandangan. Tak kuasa melihat tubuhnya atletis dengan kulit putih sempurna. Gilanya handukku sampai terlepas dari tangan. Khanif buru-buru mengunci pintu. Langkahnya semakin mendekat. Meraih handuk dan membalut tubuhku kembali."Sengaja mau mancing?" tanyanya seraya m