Selama upacara pernikahan, mas Gilang berusaha menebar senyum. Walaupun aku bisa melihat binar kecewa yang terpancar dari sudut mata elangnya. Dia tidak mendekat hanya menatap dari kejauhan. Khanif mengajakku mengikuti sisi pemotretan di depan rumah. Dia beralasan sebagai kenangan-kenangan sebelum berangkat ke Mesir. Matahari begitu gagah menyinari taman bunga mawar milik ibu di depan rumah. Cahaya emas menyusup dibalik pohon beringin dan cemara di sisi pagar sebelah timur, menciptakan atmosfer magis yang begitu menggila. Tangan Khanif melingkar posesif di pinggangku seakan menegaskan bahwa aku adalah miliknya seorang. Kenyamanan yang begitu sempurna Khanif tawarkan dengan sukarela. Di antara deretan bunga-bunga yang mekar dan semarak, Aku dan Khanif berhenti sejenak. Fotografer mengatur pose kami, menangkap momen indah yang merefleksikan cinta Khanif untukku. Mata kami saling bertemu dengan penuh kasih, dan senyum yang mengungkapkan segala kebahagiaan terdalam."Kau begitu cantik
"Kok berhenti?" tanyaku pada Khanif. Tujuan kami bandara. Namun, mobil berhenti di depan sebuah mall. Suasana terlihat ramai, banyak orang yang lalu lalang. Aku menghela napas pelan, melirik ke arah Khanif dengan mata menyipit, butuh penjelasan untuk mengusir kegelisahan"Belanja dulu," ujar Khanif dengan mengulas senyum manis. "Belanja?" tanyaku heran. Khanif mengangguk pelan. Dia turun dan membukakan pintu mobil untukku. "Kita mau ke luar negeri. Kenapa harus belanja lagi. Memangnya mau beli apa?" tanyaku mulai bingung. Sulit menebak pikiran Khanif, butuh waktu untuk memahami pribadinya yang unik. "Ya, beli perlengkapan kita," jawab Khanif dengan kedipan mata nakal. Aku mulai mencium gelagat yang aneh darinya. Khanif meraih ujung jemariku. Membantuku keluar dari mobil. Saat posisiku sudah sempurna, dia mengamit lenganku. "Sampai sana nggak sempat belanja ginian. Lagian penerbangannya masih dua jam lagi. Belanja sepuasnya," ucapnya pelan. Aku hanya mampu mengulas senyum tanpa b
"Siap, tapi ... yang Sayang suka juga," bisikku pelan. "Kenapa harus aku," jawabnya dengan kerlingan mata ke arah sekitar. Aku memintanya sedikit menunduk. Tubuhnya terlalu tinggi, hingga aku tidak bisa berbisik di telinganya. Dalam hitungan detik kepalanya sudah menunduk. Aku pun mulai berbisik, "aku 'kan boboknya sama Sayang. Jadi ... apa pun yang aku kenakan harus kesukaan Sayang." Senyum merekah tersungging di bibir Khanif. Tanpa pikir panjang, dia melabuhkan kecupan di keningku. Kemudian melangkah jauh mengambil keranjang belanjaan. Andai aku bisa melihat wajahku sekarang. Aku yakin sudah merah bak tomat. Berusaha tetap normal. Uh! Udah tua pun masih berlagak bak ABG. Khanif menunjuk sebuah lingerie transparan bersulam floral. "Gimana, kamu suka?" tanyanya padaku. Aku mengeryitkan dahi lalu mengangguk pelan. "Ok, lanjut lagi," ujarnya seraya memasukkan ke dalam keranjang.Aku melempar pandangan ke arah deretan bralette biru dengan dua tali yang melintang di bagian tengah da
Ketika mereka memasuki salon, suasana di dalamnya terasa begitu menenangkan. Aroma harum dari lilin wangi menyeruak, sementara musik lembut memainkan lagu yang menenangkan hati. Suasana salon begitu nyaman, terasa seperti dunia yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Kepenatan mengungsi sesaat berganti kenyamanan. Khanif mengandeng tanganku dengan begitu bahagia, seorang wanita muda berparas jelita mendekat ke arah kami. Menyapa dengan lembut serta mempertanyakan tujuan kami. Sebuah sofa empuk menjadi pilihan sebelum memutuskan negosiasi. Sudah lama tidak melihat hal-hal indah seperti ini. Beberapa pertanyaan diajukan oleh gadis bernama Sinta di hadapanku. "Berikan pelayanan yang terbaik untuk istri saya. Pokoknya manjakan ia dari ujung kaki hingga ke ujung kepala," ucap Khanif pada Sinta. Aku menoleh ke arahnya, terlalu berlebihan menurutku. Kepala sedikit kugelengkan sebagai tanda kurang setuju. "Baik, Mas. Apakah Mas juga mau ikut perawatan?" tanya Sinta. Khanif melirik ke a
"Kita pulang ke rumah atau nginap di hotel?" tanya Khanif. Kami menumpangi sebuah taksi online sebagai alat transportasi karena tidak membawa mobil. "Ke rumah saja, biar bisa bertemu ...." "Bertemu Mas Gilang?" potongnya dengan memasang wajah datar. "Kok Mas Gilang? Aku nggak ngomong, ya," protesku seraya masuk ke dalam mobil. "Terus ...." "Ya ketemu Ibu lah. Aku nggak ada urusan lagi sama Mas Gilangmu itu. Dia masa lalu dan kamu masa depanku." Telunjuk mengarah tepat di dadanya. Dia menyambut tanganku dan menciumnya pelan. "Malu," desisku seraya menarik tanganku cepat. "Nggak apa-apa kok, Bu. Saya sudah biasa melihat momen-momen romantis seperti tadi," timpal lelaki di balik stir kemudi. Aku melotot ke arah Khanif. Dia mengulum bibirnya pelan. Menarik tubuhku semakin mendekat ke arahnya. "Penganti baru, ya, Mas?" tanya lelaki itu lagi. "Iya, Pak. Masih sangat baru. Kami baru menikah tadi pagi," jawab Khanif bersahabat. "Ya Allah, masih panas bukan hangat," jawab supir itu
Aku tertawa dalam hati dengan segala situasi yang terjadi. Padahal, aku udah membayangkan diperlakukan lebih olehnya. Ah! Dasar otak mesum, rutukku pada diri sendiri.Hanya dua puluh menit untuk membersihkan badan. Belum boleh berlama-lama, karena luka operasi belum sembuh total. Di area perut masih menggunakan perban anti air. Aku hampir lupa dengan kondisiku karena dimabuk gairah yang tiba-tiba memuncak. Kalau ditimbang-timbang, aku sudah sangat berbaik hati pada Mas Gilang. Tidak menyeretnya ke penjara karena kasus penyekapan dan penembakan tempo hari. Namun, sikapnya masih saja seperti tidak terjadi apa-apa. Rasa bersalah tidak sedikit pun terlihat pada dirinya. Kami sama-sama masih berbalut handuk. Aku menundukkan pandangan. Tak kuasa melihat tubuhnya atletis dengan kulit putih sempurna. Gilanya handukku sampai terlepas dari tangan. Khanif buru-buru mengunci pintu. Langkahnya semakin mendekat. Meraih handuk dan membalut tubuhku kembali."Sengaja mau mancing?" tanyanya seraya m
Khanif tidak sempat mengenakan baju. Dia buru-buru membukakan pintu. Hanya handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya. "Dimana, Bu?" tanya Khanif panik. Walaupun sering bersiteru, tapi kekhawatirannya sangat jelas terbaca. "Di rooftop, Nak," jawab ibu tidak kalah panik.Khanif melarangku mengikuti mereka. Rumah ibu terdiri dari tiga lantai. Dalam kondisi perutku yang belum puluh total, tentunya menyulitkanku untuk menaiki tangga. Saat tubuh kedua orang yang kusayangi hilang di balik tembok pembatas. Aku mengabaikan larangan Khanif, perlahan mengikuti mereka dari belakang. Mas Gilang paling suka cari gara-gara, dia pikir dengan mati akan menyelesaikan segala masalah. Kenapa pikirannya mendadak pendek seperti itu. Geram.Butuh beberapa menit untuk mencapai ke atas. Khanif terpaksa mengendongku dari lantai dua. Aku memaksa ikut untuk memastikan keadaan Mas Gilang. Bukan karena cinta, tapi jika dia bunuh diri semuanya akan menyalahkanku. Tentunya, seumur hidup aku akan dihantui rasa ber
"Tidak! Aku hanya mencintai Kamu, Nif. Tidak ada yang lain. Jika aku tidak bisa bersatu denganmu, lebih baik aku mati saja," ancamku. Tubuhku mulai gemetar. Ya Tuhan, aku belum siap untuk mati."Nia, turun! Aku akan jujur!" teriak Mas Gilang seraya menarik rambutnya frustasi. Sedetik kemudian, besi dihadapannya menjadi sasaran amukannya."Kamu mau jujur apa lagi?""Sebenarnya aku tidak berniat bunuh diri. Aku hanya sedang menikmati angin malam. Namun, tiba-tiba kalian datang dan mengatakan aku ingin bunuh diri. Ya sekalian saja aku nge prank kalian. Turun!"Hah! Apaan? Ini prank?Aku menurunkan kaki perlahan. Khanif berlari menampung tubuhku yang hampir tersungkur ke tanah."Anak kurang ajar, kamu mau ibu mati, Hah?" Ibu histeris, didorong tubuh Mas Gilang hingga tersungkur ke tanah. Ibu terus mengomel seraya memukul tubuh mas Gilang. Khanif memeluk tubuhku erat. Dia menciumiku bertubi-tubi. Aku hampir tidak bisa bernapas, lengannya terlalu erat menekan dadaku."Jangan seperti ini la