"Kita pulang ke rumah atau nginap di hotel?" tanya Khanif. Kami menumpangi sebuah taksi online sebagai alat transportasi karena tidak membawa mobil. "Ke rumah saja, biar bisa bertemu ...." "Bertemu Mas Gilang?" potongnya dengan memasang wajah datar. "Kok Mas Gilang? Aku nggak ngomong, ya," protesku seraya masuk ke dalam mobil. "Terus ...." "Ya ketemu Ibu lah. Aku nggak ada urusan lagi sama Mas Gilangmu itu. Dia masa lalu dan kamu masa depanku." Telunjuk mengarah tepat di dadanya. Dia menyambut tanganku dan menciumnya pelan. "Malu," desisku seraya menarik tanganku cepat. "Nggak apa-apa kok, Bu. Saya sudah biasa melihat momen-momen romantis seperti tadi," timpal lelaki di balik stir kemudi. Aku melotot ke arah Khanif. Dia mengulum bibirnya pelan. Menarik tubuhku semakin mendekat ke arahnya. "Penganti baru, ya, Mas?" tanya lelaki itu lagi. "Iya, Pak. Masih sangat baru. Kami baru menikah tadi pagi," jawab Khanif bersahabat. "Ya Allah, masih panas bukan hangat," jawab supir itu
Aku tertawa dalam hati dengan segala situasi yang terjadi. Padahal, aku udah membayangkan diperlakukan lebih olehnya. Ah! Dasar otak mesum, rutukku pada diri sendiri.Hanya dua puluh menit untuk membersihkan badan. Belum boleh berlama-lama, karena luka operasi belum sembuh total. Di area perut masih menggunakan perban anti air. Aku hampir lupa dengan kondisiku karena dimabuk gairah yang tiba-tiba memuncak. Kalau ditimbang-timbang, aku sudah sangat berbaik hati pada Mas Gilang. Tidak menyeretnya ke penjara karena kasus penyekapan dan penembakan tempo hari. Namun, sikapnya masih saja seperti tidak terjadi apa-apa. Rasa bersalah tidak sedikit pun terlihat pada dirinya. Kami sama-sama masih berbalut handuk. Aku menundukkan pandangan. Tak kuasa melihat tubuhnya atletis dengan kulit putih sempurna. Gilanya handukku sampai terlepas dari tangan. Khanif buru-buru mengunci pintu. Langkahnya semakin mendekat. Meraih handuk dan membalut tubuhku kembali."Sengaja mau mancing?" tanyanya seraya m
Khanif tidak sempat mengenakan baju. Dia buru-buru membukakan pintu. Hanya handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya. "Dimana, Bu?" tanya Khanif panik. Walaupun sering bersiteru, tapi kekhawatirannya sangat jelas terbaca. "Di rooftop, Nak," jawab ibu tidak kalah panik.Khanif melarangku mengikuti mereka. Rumah ibu terdiri dari tiga lantai. Dalam kondisi perutku yang belum puluh total, tentunya menyulitkanku untuk menaiki tangga. Saat tubuh kedua orang yang kusayangi hilang di balik tembok pembatas. Aku mengabaikan larangan Khanif, perlahan mengikuti mereka dari belakang. Mas Gilang paling suka cari gara-gara, dia pikir dengan mati akan menyelesaikan segala masalah. Kenapa pikirannya mendadak pendek seperti itu. Geram.Butuh beberapa menit untuk mencapai ke atas. Khanif terpaksa mengendongku dari lantai dua. Aku memaksa ikut untuk memastikan keadaan Mas Gilang. Bukan karena cinta, tapi jika dia bunuh diri semuanya akan menyalahkanku. Tentunya, seumur hidup aku akan dihantui rasa ber
"Tidak! Aku hanya mencintai Kamu, Nif. Tidak ada yang lain. Jika aku tidak bisa bersatu denganmu, lebih baik aku mati saja," ancamku. Tubuhku mulai gemetar. Ya Tuhan, aku belum siap untuk mati."Nia, turun! Aku akan jujur!" teriak Mas Gilang seraya menarik rambutnya frustasi. Sedetik kemudian, besi dihadapannya menjadi sasaran amukannya."Kamu mau jujur apa lagi?""Sebenarnya aku tidak berniat bunuh diri. Aku hanya sedang menikmati angin malam. Namun, tiba-tiba kalian datang dan mengatakan aku ingin bunuh diri. Ya sekalian saja aku nge prank kalian. Turun!"Hah! Apaan? Ini prank?Aku menurunkan kaki perlahan. Khanif berlari menampung tubuhku yang hampir tersungkur ke tanah."Anak kurang ajar, kamu mau ibu mati, Hah?" Ibu histeris, didorong tubuh Mas Gilang hingga tersungkur ke tanah. Ibu terus mengomel seraya memukul tubuh mas Gilang. Khanif memeluk tubuhku erat. Dia menciumiku bertubi-tubi. Aku hampir tidak bisa bernapas, lengannya terlalu erat menekan dadaku."Jangan seperti ini la
"Bu, pamit sebentar. Aku mau keluar dengan Nia," ucap Khanif pada ibu yang sedang duduk di ruang keluarga. "Ajak ibu sekalian, boleh?" tanyaku pada Khanif dengan setengah berbisik. "Nggak usah, Nia. Kalian pergi saja. Ibu di makan di rumah, sayang makanannya, nikmati kebersamaan kalian." Aku tidak menyangka ibu mampu menangkap ucapanku. Mencoba memastikan bahwa penolakannya bukan sebuah keterpaksaan. Rasanya tidak rela meninggalkannya sendirian. "Kalau ibu nggak mau, aku saja yang ikut." Mas Gilang ikut memberikan suara, padahal sama sekali tidak diminta. "Gilang, masuk. Jangan campuri urusan rumah tangga adikmu!" tegas ibu. Wanita paruh baya itu merubah posisinya, menatap tajam ke arah putranya. "Minta ikut makan malam doang, Bu. Bukan campurin masalah lainnya," bantah mas Gilang. "Jangan bicara lagi, Gilang. Ibu pusing mendengar suaramu," gerutu ibu. Dia bangkit dari sofa, mencekal pergelangan tangan mas Gilang dengan erat, perlahan ditarik menjauh dari posisi kami. Aku hanya
"Khanif tolongin aku, bawa aku pergi dari sini," desak perempuan di hadapanku. Khanif terdiam bak tugu di tengah kota dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Ayo! Cepat!" Perempuan itu menarik pergelangan Khanif, tubuh suamiku terseret beberapa langkah. Bingung, shock dengan situasi yang terjadi. Khanif menyadari aku masih berada di posisi semula, melepas cekalan tangan perempuan itu dan kembali meraih jemariku. Khanif meminta maaf atas hal yang baru saja terjadi, tidak ada perlawanan, sebuah anggukan setuju kuperlihatkan padanya. "Khanif, ayo!" teriak perempuan itu dengan nada manja. "Maaf, saya tidak ada hubungannya dengan Anda," ucap Khanif tanpa melihat ke arah perempuan yang ia sebut Maya. "Khanif, aku akan menjelaskan semua ...,""Maaf, tidak ada yang perlu diperjelas lagi. Oh, ya! Perkenalkan ini Nia, istriku," potong Khanif lantang. Wajah perempuan itu sedikit tegang, menelisik tubuhku dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Kemudian, menggeleng pelan. "Tidak mungkin, ak
Suasana pagi hari di rumah ibu sedikit tegang, hal itu dikarenakan ibu dan mas Gilang yang sudah duduk di meja makan. Niat hati tidak ingin bergabung karena aku tahu arah pembicaraan jika mas Gilang dan Khanif berada dalam satu meja. "Nak, mari bergabung," ajak ibu dengan lembut. "Kami sarapan di luar saja, Bu," jawab Khanif pelan. "Tidak boleh, ibu sudah masak banyak. Jangan bertingkah, Nif." Suara ibu penuh penekanan. Aku sempat melirik wajah mas Gilang yang datar tanpa ekspresi.Aku menarik pelan lengan Khanif, mengarahkannya pelan ke meja makan. Hal tersebut aku lakukan untuk menghargai wanita yang begitu sempurna di mataku. Tempat kosong di samping ibu menjadi pilihanku. Mas Gilang memilih diam, melirik kami saja tidak dalam waktu beberapa menit lamanya. "Bagaimana penerbangan kalian, ditunda sampai kapan?" Ibu kembali membuka pembicaraan. "Belum jelas, Bu. Aku baca di media online, masih ada badai," jawab Khanif seraya menyesap susu yang baru kutuangkan. Ibu menghela napa
Aku melangkahkan kaki ke halaman belakang. Dimana menatap langit adalah dorongan hati untuk saat ini. Bagiku, langit bagaikan canvas tanpa batas untuk mewarnai imajinasi. Candu yang dalam satu tahun terakhir kugeluti. Khanif sedang berbicara dengan asisten pribadinya. Menurut info yang kami terima, sampai detik ini penerbangan masih ditunda dalam waktu yang belum ditentukan. Hal tersebut menimbulkan kekalutan dalam diri Khanif yang sulit untuk diurai. Terkadang, pikiran buruk menyusup tanpa perlu diajak bertamu. "Nia! Nia!" Suara ibu terdengar panik. Hayalanku terganggu, menoleh ke arah ibu yang berlari kecil ke arahku. "Ada apa, Bu?" Aku bangkit cepat untuk menyambutnya. "Khanif, Nia. Ibu tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar. Khanif berteriak histeris, pintu kamar dikunci dari dalam." Aku tidak menunggu ibu menyelesaikan ucapannya, mempercepat langkah menuju tempat dimana Khanif berada. Detak jantung bertalu, berbagai spekulasi yang semakin memperburuk suasana hati berteba