Aku melangkahkan kaki ke halaman belakang. Dimana menatap langit adalah dorongan hati untuk saat ini. Bagiku, langit bagaikan canvas tanpa batas untuk mewarnai imajinasi. Candu yang dalam satu tahun terakhir kugeluti. Khanif sedang berbicara dengan asisten pribadinya. Menurut info yang kami terima, sampai detik ini penerbangan masih ditunda dalam waktu yang belum ditentukan. Hal tersebut menimbulkan kekalutan dalam diri Khanif yang sulit untuk diurai. Terkadang, pikiran buruk menyusup tanpa perlu diajak bertamu. "Nia! Nia!" Suara ibu terdengar panik. Hayalanku terganggu, menoleh ke arah ibu yang berlari kecil ke arahku. "Ada apa, Bu?" Aku bangkit cepat untuk menyambutnya. "Khanif, Nia. Ibu tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar. Khanif berteriak histeris, pintu kamar dikunci dari dalam." Aku tidak menunggu ibu menyelesaikan ucapannya, mempercepat langkah menuju tempat dimana Khanif berada. Detak jantung bertalu, berbagai spekulasi yang semakin memperburuk suasana hati berteba
Suasana di ruang tamu terasa hening, hanya deru napas yang terdengar mengusik telinga. Belum lagi wajah ibu dan Khanif yang terlihat tegang. Aku hanya mampu terdiam, membiarkan Khanif atau ibu membuka yang pembicaraan. "Ada masalah apa lagi, Nif?" tanya ibu pelan. "Tidak ada, Bu," jawab Khanif. "Jangan bohong sama ibu. Kamu kenapa?" "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit tidak enak hati," kilah Khanif."Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi pembohong," lanjut ibu dengan tatapan menyelidik. Khanif memutar bola mata malas, hal yang baru sekali kusaksikan selama bersamannya. Perubahan sorot mata ibu cukup menjadi pendukung rasa penasaranku terhadap sikap Khanif hari ini. "Kami akan pindah ke apartemen," ucap Khanif setelah beberapa detik terdiam. "Apa? Apartemen? Bukannya kalian mau berangkat ke Mesir? Alangkah baiknya menghabiskan sisa waktu di sini bersama ibu." Wajah ibu terlihat bingung, tersirat kesedihan yang berusaha ia sembunyikan."Tidak jadi, Bu. Ada hal yang harus lebih
"Bu, hari ini juga aku akan pindah dengan Nia," ucap Khanif dengan mata yang mulai memerah. Aku segera mengambil posisi di sampingnya. Kugenggam lembut jemarinya. Perlahan, kutuntun Khanif untuk duduk kembali. "Kalian tidak jadi ke Mesir?" tanya Mas Gilang. "Jangan bicara lagi, kamu diam, Mas. Aku muak mendengar suaramu. Kalau bukan karena ibu, aku tidak pernah mau bertemu denganmu lagi," ketus Khanif. "Alasan kalian mau pindah itu apa?" tanya Mas Gilang tanpa rasa bersalah.Khanif langsung menjelaskan bahwa ia enggan serumah dengan mas Gilang yang masih berusaha mengacaukan rumah tangga kami. Ekspresi lelaki yang pernah menjadi pendamping hidupku itu sungguh menjengkelkan. Ia menepis anggapan buruk Khanif tentang dirinya. Kehadiran Maya adalah hal yang bukan ia sengaja. Namun, aku ragu dengan ucapannya. Begitu juga ibu, terlebih Khanif yang sama sekali tidak lagi memiliki simpati untuk lelaki yang turut andil dalam keberhasilannya selama ini. "Apa jangan-jangan istrimu yang meren
Dalam hitungan Jam, kedua koper besar kami sudah berada di depan pintu utama. Ibu duduk di kursi dekat pintu tanpa bicara, wajahnya menyiratkan penolakan. Namun, ia adalah wanita bijak yang memikirkan kebahagian putranya. Mas Gilang berdiri di ambang pintu dengan tangan dilipat ke dada, melirik ke arah kami dengan ekspresi datar. "Kalian mau tinggal di apartemen kamu yang lama itu?" tanya Mas Gilang saat kami hendak menaiki mobil. "Bukan urusan Mas," ucap Khanif seraya menutup pintu mobil dengan sedikit keras. "Lihat, Bu. Kelakuan anak yang sangat ibu banggakan," tukas Mas Gilang. Aku tidak mendengar jawaban dari ibu karena sudah terlebih dulu menutup pintu mobil. Duduk manis menatap lurus ke depan tanpa berani bicara pada sang supir yang nyatanya adalah suami sendiri. Masa-masa indah pernikahan seakan terabai begitu saja. Ah! Kepalaku seakan meledak memikirkan ini semua. Aku menyenderkan kepala ke kaca mobil, menikmati pepohonan yang berlari menjauhi. Ah! Itu lelucon masa kecil
Pagi hari di rumah baru, Nia bangun lebih cepat dari Khanif. Melaksanakan salat subuh tanpa didampingi Khanif yang bertingkah. Lelaki itu enggan bangun, Nia sempat tercengang dengan perubahan signifikan dalam diri suaminya. Wanita berambut panjang itu menjelajah area dapur. Aroma segar pengharum ruangan tercium oleh Nia ketika melewati area dapur. Sejenak, ia melirik ke kanan dan kiri untuk menemukan seseorang yang menyemprotkan aroma yang begitu segar. "Tidak ada siapapun, kok wanginya seperti baru," gumam Nia heran. Wanita cantik itu terdiam dalam beberapa menit. Kemudian, melangkah kaki ke arah sebuah kulkas besar yang di tengah dapur. Dia bertambah kaget menemukan bahan makanan yang tertata rapi. Nia meraih roti tawar dan selai dari dalam. Bingung masih mendominasi, kenapa semuanya bisa sudah tersedia, tapi tidak ada orang lain, kecuali ia dan suaminya. Nia mengoleskan selai di atas sepotong roti di tangannya. Dia melirik alat pemanggang di atas meja makan. Timbul keinginan unt
"Khanif, aku ingin bicara," ujar Nia yang baru saja memasuki kamar dengan perasaan yang dilanda kebingungan. "Bicara apa?" tanya Khanif. Lelaki tampan itu masih betah menelungkupkan dirinya di atas ranjang. "Kenapa kamu bohong pada ibu mengenai tempat tinggal kita?" tanya Nia. "Aku tidak berbohong." Khanif mengangkat sedikit wajahnya untuk melirik Nia yang memasang wajah kesal. Nia menjelaskan pertanyaan ibu yang menanyakan keberadaan mereka. Bukan tanpa alasan yang jelas, wanita paruh baya itu sudah berdiri di depan pintu apartemen milik Khanif. Namun, security mengatakan bahwa mereka berdua tidak ada di sana. Khanif bergerak memperbaiki posisinya, melirik lemah ke arah Nia dengan tatapan frustasi. "Aku ingin jauh dari mereka untuk sementara waktu," lirih Khanif. "Mereka? Termasuk ibu?" tanya Nia. Wanita cantik itu bergerak maju mendekati sang suami. "Aku tidak bermaksud seperti itu, tolong mengerti," ucap Khanif pelan. "Aku paham, Sayang. Sangat paham perasaanmu. Namun, memp
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n