Dalam hitungan Jam, kedua koper besar kami sudah berada di depan pintu utama. Ibu duduk di kursi dekat pintu tanpa bicara, wajahnya menyiratkan penolakan. Namun, ia adalah wanita bijak yang memikirkan kebahagian putranya. Mas Gilang berdiri di ambang pintu dengan tangan dilipat ke dada, melirik ke arah kami dengan ekspresi datar. "Kalian mau tinggal di apartemen kamu yang lama itu?" tanya Mas Gilang saat kami hendak menaiki mobil. "Bukan urusan Mas," ucap Khanif seraya menutup pintu mobil dengan sedikit keras. "Lihat, Bu. Kelakuan anak yang sangat ibu banggakan," tukas Mas Gilang. Aku tidak mendengar jawaban dari ibu karena sudah terlebih dulu menutup pintu mobil. Duduk manis menatap lurus ke depan tanpa berani bicara pada sang supir yang nyatanya adalah suami sendiri. Masa-masa indah pernikahan seakan terabai begitu saja. Ah! Kepalaku seakan meledak memikirkan ini semua. Aku menyenderkan kepala ke kaca mobil, menikmati pepohonan yang berlari menjauhi. Ah! Itu lelucon masa kecil
Pagi hari di rumah baru, Nia bangun lebih cepat dari Khanif. Melaksanakan salat subuh tanpa didampingi Khanif yang bertingkah. Lelaki itu enggan bangun, Nia sempat tercengang dengan perubahan signifikan dalam diri suaminya. Wanita berambut panjang itu menjelajah area dapur. Aroma segar pengharum ruangan tercium oleh Nia ketika melewati area dapur. Sejenak, ia melirik ke kanan dan kiri untuk menemukan seseorang yang menyemprotkan aroma yang begitu segar. "Tidak ada siapapun, kok wanginya seperti baru," gumam Nia heran. Wanita cantik itu terdiam dalam beberapa menit. Kemudian, melangkah kaki ke arah sebuah kulkas besar yang di tengah dapur. Dia bertambah kaget menemukan bahan makanan yang tertata rapi. Nia meraih roti tawar dan selai dari dalam. Bingung masih mendominasi, kenapa semuanya bisa sudah tersedia, tapi tidak ada orang lain, kecuali ia dan suaminya. Nia mengoleskan selai di atas sepotong roti di tangannya. Dia melirik alat pemanggang di atas meja makan. Timbul keinginan unt
"Khanif, aku ingin bicara," ujar Nia yang baru saja memasuki kamar dengan perasaan yang dilanda kebingungan. "Bicara apa?" tanya Khanif. Lelaki tampan itu masih betah menelungkupkan dirinya di atas ranjang. "Kenapa kamu bohong pada ibu mengenai tempat tinggal kita?" tanya Nia. "Aku tidak berbohong." Khanif mengangkat sedikit wajahnya untuk melirik Nia yang memasang wajah kesal. Nia menjelaskan pertanyaan ibu yang menanyakan keberadaan mereka. Bukan tanpa alasan yang jelas, wanita paruh baya itu sudah berdiri di depan pintu apartemen milik Khanif. Namun, security mengatakan bahwa mereka berdua tidak ada di sana. Khanif bergerak memperbaiki posisinya, melirik lemah ke arah Nia dengan tatapan frustasi. "Aku ingin jauh dari mereka untuk sementara waktu," lirih Khanif. "Mereka? Termasuk ibu?" tanya Nia. Wanita cantik itu bergerak maju mendekati sang suami. "Aku tidak bermaksud seperti itu, tolong mengerti," ucap Khanif pelan. "Aku paham, Sayang. Sangat paham perasaanmu. Namun, memp
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m