"Tidak! Aku hanya mencintai Kamu, Nif. Tidak ada yang lain. Jika aku tidak bisa bersatu denganmu, lebih baik aku mati saja," ancamku. Tubuhku mulai gemetar. Ya Tuhan, aku belum siap untuk mati."Nia, turun! Aku akan jujur!" teriak Mas Gilang seraya menarik rambutnya frustasi. Sedetik kemudian, besi dihadapannya menjadi sasaran amukannya."Kamu mau jujur apa lagi?""Sebenarnya aku tidak berniat bunuh diri. Aku hanya sedang menikmati angin malam. Namun, tiba-tiba kalian datang dan mengatakan aku ingin bunuh diri. Ya sekalian saja aku nge prank kalian. Turun!"Hah! Apaan? Ini prank?Aku menurunkan kaki perlahan. Khanif berlari menampung tubuhku yang hampir tersungkur ke tanah."Anak kurang ajar, kamu mau ibu mati, Hah?" Ibu histeris, didorong tubuh Mas Gilang hingga tersungkur ke tanah. Ibu terus mengomel seraya memukul tubuh mas Gilang. Khanif memeluk tubuhku erat. Dia menciumiku bertubi-tubi. Aku hampir tidak bisa bernapas, lengannya terlalu erat menekan dadaku."Jangan seperti ini la
"Bu, pamit sebentar. Aku mau keluar dengan Nia," ucap Khanif pada ibu yang sedang duduk di ruang keluarga. "Ajak ibu sekalian, boleh?" tanyaku pada Khanif dengan setengah berbisik. "Nggak usah, Nia. Kalian pergi saja. Ibu di makan di rumah, sayang makanannya, nikmati kebersamaan kalian." Aku tidak menyangka ibu mampu menangkap ucapanku. Mencoba memastikan bahwa penolakannya bukan sebuah keterpaksaan. Rasanya tidak rela meninggalkannya sendirian. "Kalau ibu nggak mau, aku saja yang ikut." Mas Gilang ikut memberikan suara, padahal sama sekali tidak diminta. "Gilang, masuk. Jangan campuri urusan rumah tangga adikmu!" tegas ibu. Wanita paruh baya itu merubah posisinya, menatap tajam ke arah putranya. "Minta ikut makan malam doang, Bu. Bukan campurin masalah lainnya," bantah mas Gilang. "Jangan bicara lagi, Gilang. Ibu pusing mendengar suaramu," gerutu ibu. Dia bangkit dari sofa, mencekal pergelangan tangan mas Gilang dengan erat, perlahan ditarik menjauh dari posisi kami. Aku hanya
"Khanif tolongin aku, bawa aku pergi dari sini," desak perempuan di hadapanku. Khanif terdiam bak tugu di tengah kota dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Ayo! Cepat!" Perempuan itu menarik pergelangan Khanif, tubuh suamiku terseret beberapa langkah. Bingung, shock dengan situasi yang terjadi. Khanif menyadari aku masih berada di posisi semula, melepas cekalan tangan perempuan itu dan kembali meraih jemariku. Khanif meminta maaf atas hal yang baru saja terjadi, tidak ada perlawanan, sebuah anggukan setuju kuperlihatkan padanya. "Khanif, ayo!" teriak perempuan itu dengan nada manja. "Maaf, saya tidak ada hubungannya dengan Anda," ucap Khanif tanpa melihat ke arah perempuan yang ia sebut Maya. "Khanif, aku akan menjelaskan semua ...,""Maaf, tidak ada yang perlu diperjelas lagi. Oh, ya! Perkenalkan ini Nia, istriku," potong Khanif lantang. Wajah perempuan itu sedikit tegang, menelisik tubuhku dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Kemudian, menggeleng pelan. "Tidak mungkin, ak
Suasana pagi hari di rumah ibu sedikit tegang, hal itu dikarenakan ibu dan mas Gilang yang sudah duduk di meja makan. Niat hati tidak ingin bergabung karena aku tahu arah pembicaraan jika mas Gilang dan Khanif berada dalam satu meja. "Nak, mari bergabung," ajak ibu dengan lembut. "Kami sarapan di luar saja, Bu," jawab Khanif pelan. "Tidak boleh, ibu sudah masak banyak. Jangan bertingkah, Nif." Suara ibu penuh penekanan. Aku sempat melirik wajah mas Gilang yang datar tanpa ekspresi.Aku menarik pelan lengan Khanif, mengarahkannya pelan ke meja makan. Hal tersebut aku lakukan untuk menghargai wanita yang begitu sempurna di mataku. Tempat kosong di samping ibu menjadi pilihanku. Mas Gilang memilih diam, melirik kami saja tidak dalam waktu beberapa menit lamanya. "Bagaimana penerbangan kalian, ditunda sampai kapan?" Ibu kembali membuka pembicaraan. "Belum jelas, Bu. Aku baca di media online, masih ada badai," jawab Khanif seraya menyesap susu yang baru kutuangkan. Ibu menghela napa
Aku melangkahkan kaki ke halaman belakang. Dimana menatap langit adalah dorongan hati untuk saat ini. Bagiku, langit bagaikan canvas tanpa batas untuk mewarnai imajinasi. Candu yang dalam satu tahun terakhir kugeluti. Khanif sedang berbicara dengan asisten pribadinya. Menurut info yang kami terima, sampai detik ini penerbangan masih ditunda dalam waktu yang belum ditentukan. Hal tersebut menimbulkan kekalutan dalam diri Khanif yang sulit untuk diurai. Terkadang, pikiran buruk menyusup tanpa perlu diajak bertamu. "Nia! Nia!" Suara ibu terdengar panik. Hayalanku terganggu, menoleh ke arah ibu yang berlari kecil ke arahku. "Ada apa, Bu?" Aku bangkit cepat untuk menyambutnya. "Khanif, Nia. Ibu tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar. Khanif berteriak histeris, pintu kamar dikunci dari dalam." Aku tidak menunggu ibu menyelesaikan ucapannya, mempercepat langkah menuju tempat dimana Khanif berada. Detak jantung bertalu, berbagai spekulasi yang semakin memperburuk suasana hati berteba
Suasana di ruang tamu terasa hening, hanya deru napas yang terdengar mengusik telinga. Belum lagi wajah ibu dan Khanif yang terlihat tegang. Aku hanya mampu terdiam, membiarkan Khanif atau ibu membuka yang pembicaraan. "Ada masalah apa lagi, Nif?" tanya ibu pelan. "Tidak ada, Bu," jawab Khanif. "Jangan bohong sama ibu. Kamu kenapa?" "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit tidak enak hati," kilah Khanif."Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi pembohong," lanjut ibu dengan tatapan menyelidik. Khanif memutar bola mata malas, hal yang baru sekali kusaksikan selama bersamannya. Perubahan sorot mata ibu cukup menjadi pendukung rasa penasaranku terhadap sikap Khanif hari ini. "Kami akan pindah ke apartemen," ucap Khanif setelah beberapa detik terdiam. "Apa? Apartemen? Bukannya kalian mau berangkat ke Mesir? Alangkah baiknya menghabiskan sisa waktu di sini bersama ibu." Wajah ibu terlihat bingung, tersirat kesedihan yang berusaha ia sembunyikan."Tidak jadi, Bu. Ada hal yang harus lebih
"Bu, hari ini juga aku akan pindah dengan Nia," ucap Khanif dengan mata yang mulai memerah. Aku segera mengambil posisi di sampingnya. Kugenggam lembut jemarinya. Perlahan, kutuntun Khanif untuk duduk kembali. "Kalian tidak jadi ke Mesir?" tanya Mas Gilang. "Jangan bicara lagi, kamu diam, Mas. Aku muak mendengar suaramu. Kalau bukan karena ibu, aku tidak pernah mau bertemu denganmu lagi," ketus Khanif. "Alasan kalian mau pindah itu apa?" tanya Mas Gilang tanpa rasa bersalah.Khanif langsung menjelaskan bahwa ia enggan serumah dengan mas Gilang yang masih berusaha mengacaukan rumah tangga kami. Ekspresi lelaki yang pernah menjadi pendamping hidupku itu sungguh menjengkelkan. Ia menepis anggapan buruk Khanif tentang dirinya. Kehadiran Maya adalah hal yang bukan ia sengaja. Namun, aku ragu dengan ucapannya. Begitu juga ibu, terlebih Khanif yang sama sekali tidak lagi memiliki simpati untuk lelaki yang turut andil dalam keberhasilannya selama ini. "Apa jangan-jangan istrimu yang meren
Dalam hitungan Jam, kedua koper besar kami sudah berada di depan pintu utama. Ibu duduk di kursi dekat pintu tanpa bicara, wajahnya menyiratkan penolakan. Namun, ia adalah wanita bijak yang memikirkan kebahagian putranya. Mas Gilang berdiri di ambang pintu dengan tangan dilipat ke dada, melirik ke arah kami dengan ekspresi datar. "Kalian mau tinggal di apartemen kamu yang lama itu?" tanya Mas Gilang saat kami hendak menaiki mobil. "Bukan urusan Mas," ucap Khanif seraya menutup pintu mobil dengan sedikit keras. "Lihat, Bu. Kelakuan anak yang sangat ibu banggakan," tukas Mas Gilang. Aku tidak mendengar jawaban dari ibu karena sudah terlebih dulu menutup pintu mobil. Duduk manis menatap lurus ke depan tanpa berani bicara pada sang supir yang nyatanya adalah suami sendiri. Masa-masa indah pernikahan seakan terabai begitu saja. Ah! Kepalaku seakan meledak memikirkan ini semua. Aku menyenderkan kepala ke kaca mobil, menikmati pepohonan yang berlari menjauhi. Ah! Itu lelucon masa kecil