"Siap, tapi ... yang Sayang suka juga," bisikku pelan. "Kenapa harus aku," jawabnya dengan kerlingan mata ke arah sekitar. Aku memintanya sedikit menunduk. Tubuhnya terlalu tinggi, hingga aku tidak bisa berbisik di telinganya. Dalam hitungan detik kepalanya sudah menunduk. Aku pun mulai berbisik, "aku 'kan boboknya sama Sayang. Jadi ... apa pun yang aku kenakan harus kesukaan Sayang." Senyum merekah tersungging di bibir Khanif. Tanpa pikir panjang, dia melabuhkan kecupan di keningku. Kemudian melangkah jauh mengambil keranjang belanjaan. Andai aku bisa melihat wajahku sekarang. Aku yakin sudah merah bak tomat. Berusaha tetap normal. Uh! Udah tua pun masih berlagak bak ABG. Khanif menunjuk sebuah lingerie transparan bersulam floral. "Gimana, kamu suka?" tanyanya padaku. Aku mengeryitkan dahi lalu mengangguk pelan. "Ok, lanjut lagi," ujarnya seraya memasukkan ke dalam keranjang.Aku melempar pandangan ke arah deretan bralette biru dengan dua tali yang melintang di bagian tengah da
Ketika mereka memasuki salon, suasana di dalamnya terasa begitu menenangkan. Aroma harum dari lilin wangi menyeruak, sementara musik lembut memainkan lagu yang menenangkan hati. Suasana salon begitu nyaman, terasa seperti dunia yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Kepenatan mengungsi sesaat berganti kenyamanan. Khanif mengandeng tanganku dengan begitu bahagia, seorang wanita muda berparas jelita mendekat ke arah kami. Menyapa dengan lembut serta mempertanyakan tujuan kami. Sebuah sofa empuk menjadi pilihan sebelum memutuskan negosiasi. Sudah lama tidak melihat hal-hal indah seperti ini. Beberapa pertanyaan diajukan oleh gadis bernama Sinta di hadapanku. "Berikan pelayanan yang terbaik untuk istri saya. Pokoknya manjakan ia dari ujung kaki hingga ke ujung kepala," ucap Khanif pada Sinta. Aku menoleh ke arahnya, terlalu berlebihan menurutku. Kepala sedikit kugelengkan sebagai tanda kurang setuju. "Baik, Mas. Apakah Mas juga mau ikut perawatan?" tanya Sinta. Khanif melirik ke a
"Kita pulang ke rumah atau nginap di hotel?" tanya Khanif. Kami menumpangi sebuah taksi online sebagai alat transportasi karena tidak membawa mobil. "Ke rumah saja, biar bisa bertemu ...." "Bertemu Mas Gilang?" potongnya dengan memasang wajah datar. "Kok Mas Gilang? Aku nggak ngomong, ya," protesku seraya masuk ke dalam mobil. "Terus ...." "Ya ketemu Ibu lah. Aku nggak ada urusan lagi sama Mas Gilangmu itu. Dia masa lalu dan kamu masa depanku." Telunjuk mengarah tepat di dadanya. Dia menyambut tanganku dan menciumnya pelan. "Malu," desisku seraya menarik tanganku cepat. "Nggak apa-apa kok, Bu. Saya sudah biasa melihat momen-momen romantis seperti tadi," timpal lelaki di balik stir kemudi. Aku melotot ke arah Khanif. Dia mengulum bibirnya pelan. Menarik tubuhku semakin mendekat ke arahnya. "Penganti baru, ya, Mas?" tanya lelaki itu lagi. "Iya, Pak. Masih sangat baru. Kami baru menikah tadi pagi," jawab Khanif bersahabat. "Ya Allah, masih panas bukan hangat," jawab supir itu
Aku tertawa dalam hati dengan segala situasi yang terjadi. Padahal, aku udah membayangkan diperlakukan lebih olehnya. Ah! Dasar otak mesum, rutukku pada diri sendiri.Hanya dua puluh menit untuk membersihkan badan. Belum boleh berlama-lama, karena luka operasi belum sembuh total. Di area perut masih menggunakan perban anti air. Aku hampir lupa dengan kondisiku karena dimabuk gairah yang tiba-tiba memuncak. Kalau ditimbang-timbang, aku sudah sangat berbaik hati pada Mas Gilang. Tidak menyeretnya ke penjara karena kasus penyekapan dan penembakan tempo hari. Namun, sikapnya masih saja seperti tidak terjadi apa-apa. Rasa bersalah tidak sedikit pun terlihat pada dirinya. Kami sama-sama masih berbalut handuk. Aku menundukkan pandangan. Tak kuasa melihat tubuhnya atletis dengan kulit putih sempurna. Gilanya handukku sampai terlepas dari tangan. Khanif buru-buru mengunci pintu. Langkahnya semakin mendekat. Meraih handuk dan membalut tubuhku kembali."Sengaja mau mancing?" tanyanya seraya m
Khanif tidak sempat mengenakan baju. Dia buru-buru membukakan pintu. Hanya handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya. "Dimana, Bu?" tanya Khanif panik. Walaupun sering bersiteru, tapi kekhawatirannya sangat jelas terbaca. "Di rooftop, Nak," jawab ibu tidak kalah panik.Khanif melarangku mengikuti mereka. Rumah ibu terdiri dari tiga lantai. Dalam kondisi perutku yang belum puluh total, tentunya menyulitkanku untuk menaiki tangga. Saat tubuh kedua orang yang kusayangi hilang di balik tembok pembatas. Aku mengabaikan larangan Khanif, perlahan mengikuti mereka dari belakang. Mas Gilang paling suka cari gara-gara, dia pikir dengan mati akan menyelesaikan segala masalah. Kenapa pikirannya mendadak pendek seperti itu. Geram.Butuh beberapa menit untuk mencapai ke atas. Khanif terpaksa mengendongku dari lantai dua. Aku memaksa ikut untuk memastikan keadaan Mas Gilang. Bukan karena cinta, tapi jika dia bunuh diri semuanya akan menyalahkanku. Tentunya, seumur hidup aku akan dihantui rasa ber
"Tidak! Aku hanya mencintai Kamu, Nif. Tidak ada yang lain. Jika aku tidak bisa bersatu denganmu, lebih baik aku mati saja," ancamku. Tubuhku mulai gemetar. Ya Tuhan, aku belum siap untuk mati."Nia, turun! Aku akan jujur!" teriak Mas Gilang seraya menarik rambutnya frustasi. Sedetik kemudian, besi dihadapannya menjadi sasaran amukannya."Kamu mau jujur apa lagi?""Sebenarnya aku tidak berniat bunuh diri. Aku hanya sedang menikmati angin malam. Namun, tiba-tiba kalian datang dan mengatakan aku ingin bunuh diri. Ya sekalian saja aku nge prank kalian. Turun!"Hah! Apaan? Ini prank?Aku menurunkan kaki perlahan. Khanif berlari menampung tubuhku yang hampir tersungkur ke tanah."Anak kurang ajar, kamu mau ibu mati, Hah?" Ibu histeris, didorong tubuh Mas Gilang hingga tersungkur ke tanah. Ibu terus mengomel seraya memukul tubuh mas Gilang. Khanif memeluk tubuhku erat. Dia menciumiku bertubi-tubi. Aku hampir tidak bisa bernapas, lengannya terlalu erat menekan dadaku."Jangan seperti ini la
"Bu, pamit sebentar. Aku mau keluar dengan Nia," ucap Khanif pada ibu yang sedang duduk di ruang keluarga. "Ajak ibu sekalian, boleh?" tanyaku pada Khanif dengan setengah berbisik. "Nggak usah, Nia. Kalian pergi saja. Ibu di makan di rumah, sayang makanannya, nikmati kebersamaan kalian." Aku tidak menyangka ibu mampu menangkap ucapanku. Mencoba memastikan bahwa penolakannya bukan sebuah keterpaksaan. Rasanya tidak rela meninggalkannya sendirian. "Kalau ibu nggak mau, aku saja yang ikut." Mas Gilang ikut memberikan suara, padahal sama sekali tidak diminta. "Gilang, masuk. Jangan campuri urusan rumah tangga adikmu!" tegas ibu. Wanita paruh baya itu merubah posisinya, menatap tajam ke arah putranya. "Minta ikut makan malam doang, Bu. Bukan campurin masalah lainnya," bantah mas Gilang. "Jangan bicara lagi, Gilang. Ibu pusing mendengar suaramu," gerutu ibu. Dia bangkit dari sofa, mencekal pergelangan tangan mas Gilang dengan erat, perlahan ditarik menjauh dari posisi kami. Aku hanya
"Khanif tolongin aku, bawa aku pergi dari sini," desak perempuan di hadapanku. Khanif terdiam bak tugu di tengah kota dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Ayo! Cepat!" Perempuan itu menarik pergelangan Khanif, tubuh suamiku terseret beberapa langkah. Bingung, shock dengan situasi yang terjadi. Khanif menyadari aku masih berada di posisi semula, melepas cekalan tangan perempuan itu dan kembali meraih jemariku. Khanif meminta maaf atas hal yang baru saja terjadi, tidak ada perlawanan, sebuah anggukan setuju kuperlihatkan padanya. "Khanif, ayo!" teriak perempuan itu dengan nada manja. "Maaf, saya tidak ada hubungannya dengan Anda," ucap Khanif tanpa melihat ke arah perempuan yang ia sebut Maya. "Khanif, aku akan menjelaskan semua ...,""Maaf, tidak ada yang perlu diperjelas lagi. Oh, ya! Perkenalkan ini Nia, istriku," potong Khanif lantang. Wajah perempuan itu sedikit tegang, menelisik tubuhku dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Kemudian, menggeleng pelan. "Tidak mungkin, ak
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n