"Nyonya, habiskan makanannya!" bentak Tomy."Aku tidak lapar! Aku hanya ingin keluar dari sini," ketusku seraya memungunginya. Pandangan kulempar ke arah laut lepas. Semilir angin meniup hijabku."Makan Nyonya! Aku tidak ingin karena sikap keras kepalamu kami semua dalam bahaya." Dia menatapku seakan ingin menelanku hidup-hidup."Ah! Lelucon apa lagi yang kau ungkapkan? Katakan padaku siapa yang menyuruhmu. Maka aku akan membayar kalian 100 kali lipat," tawarku seraya membalikkan badan.Mereka semua tertawa. Ucapanku dianggap angin lalu."Dapat uang dari mana Anda Nyonya! Jangan bercanda. Lebih baik nikmati hidup Anda di sini. Surga dunia," jawab wanita yang tugasnya membawakan makanan untukku."Tidak! Aku ingin berkumpul dengan suami dan keluargaku!" jeritku seraya mengobrak-abrik ranjang. Bantal dan sprei kulempar ke arahnya."Aaargggh! Diam! Aku heran kenapa ada orang yang menyukai wanita keras kepala sepertimu!" teriaknya dengan urat-urat leher menegang. Sorot mata elangnya mena
"Bos di tempat kami bekerja." Jawaban mereka menurunkan semangatku."Bisa saya pinjam gawai kalian?""Maaf, Nyonya. Kami dilarang mengunakan gawai atau alat komunikasi lainnya selama melakukan perawatan untuk Nyonya," ungkap mereka. Aku sudah menduga, mereka tidak membiarkan orang asing masuk tanpa pengawasan.Aku melangkah masuk meninggalkan mereka di ruang tengah. Tidak peduli dengan ocehan keduanya yang merasa kehadiran mereka tidak dihargai."Nyonya, bisa kita mulai perawatannya?" tanya gadis muda itu. Langkahku terhenti di anak tangga ketiga. Menoleh sejenak karena keyakinanku mengatakan mereka tidak tahu menahu perihal masalahku."Perawatan apaan?" tanyaku lesu."Luluran, ratus ....""Apa, ratus? Saya tidak salah dengar?""Tidak Nyonya, menurut pelayan Anda seperti itu. Nyonya akan melakukan Ratus dan rangkaian treament lainnya," papar gadis muda itu."Tidak!""Nyonya 'kan mau menikah. Jadi harus ditreament terlebih dahulu," sambung gadis itu lagi."Saya punya suami, katakan pad
"Nyonya, tolong kenakan bajunya. Akad nikah sebentar lagi akan dilaksanakan," pinta pelayan di hadapanku dengan wajah frustasi. Aku tetap dengan pendirianku. Statusku masih istri sah Khanif. Tidak ada alasan yang bisa membuatku menerima dinikahi pria lain. Apa lagi pria yang sama sekali tidak aku kenali. "Ayo lah, Nyonya. Jangan tambah beban pekerjaan kami. Sekali-kali tolong mudahkan pekerjaan kami. Jangan sampai tuan marah dengan hal ini," ucapnya dengan nada memelas. Aku menyunggingkan senyum sinis."Aku mau melihat wajah tuan kalian saat dia marah. Penasaran sama wajahnya.""Ya Allah, Nyonya. Kenapa Anda keras kepala?" Dia terus mondar-mandir di hadapanku sambil memegang gaun pengantin yang menjuntai ke lantai."Masih bisa sebut Allah kamu. Harusnya, kalau kamu masih mengenal siapa Allah. Kamu tidak membantu siapa pun orang yang ikut menyekapku di sini. "Nyonya, mengerti lah, kami bekerja ....""Bekerja, mendapatkan uang. Uangnya kalian gunakan menafkahi keluarga. Kalian pikir
Bugh!"Diam! Jangan banyak bicara lagi!" sentak Mas Lukman. Bogem mentah melayang ke wajah Mas Gilang.Plaak! Tanganku mendarat di pipi Mas Gilang. Tamparan sebagai bentuk kekecewaan atas sikap "Aku kecewa padamu, Gilang. Sangat kecewa," ucapku dengan air mata yang berlinang. Aku meminta Mas Lukman dan Daffa membawaku dari pergi dari rumah ini. Tidak sabar untuk meninggalkan tempat ini. Mas Gilang melakukan siasat keji. Menculik dan menyekapku di sini. Empat bulan kemudian dia mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dengan alasan Khanif tidak memberikanku nafkah batin dan segala tetek bengeknya. Aku tidak paham, kenapa pengadilan mengabulkan gugatan palsu Mas Gilang. Namun di Indonesia kita mengetahui bahwa terdapat ta'liq talak yang dibaca oleh mempelai pria dan tertera di buku nikah, yang diantara pointnya ialah'Apabila saya: … (2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya … dan karena perbuatan tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada P
Bau obat bercampur dengan bau cairan pembersih lantai menguar menusuk indera penciuman. Cahaya matahari berusaha menyusup di balik tirai yang belum tersingkap. Mata mengerjap pelan dengan denyar kepala yang menyiksa.Bunyi alat pedeteksi jantung adalah alunan nada yang pertama kali terdengar. Jarum inpus menancap di punggung tangan kiriku. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan yang sepi dan senyap. Tubuhku terbaring atas ranjang rumah sakit. Ya, aku kembali mengingat peluru dari pistol yang Mas Gilang pegang menembus dinding perutku.Decit pintu memecah kesunyian, disusul derap antukan sepatu dengan lantai. Pandangan beralih ke arah sumber suara.Mas Lukman dan Daffa diikuti oleh Mas Gilang. Mereka melihat ke arahku tanpa bicara. Daffa melangkah lebih dekat ke arahku. Sedangkan, Mas Gilang memilih menghempaskan tubuh ke sofa. Wajahnya dipenuhi lebam yang mulai membiru."Mbak butuh apa?" tanya Daffa lembut. Telapak tangannya membelai pucuk kepalaku lembut. Binar kasih sayang terpancar je
"Beberapa kali Mas Khanif curiga dengan Mas Gilang. Namun, satu bukti pun tidak mengarah padanya. Semua terlalu rapi. Hingga, sehari sebelum kalian menikah Mas Gilang mengancam akan membunuhku, jika tidak mau menjadi wali nikah kalian. Dia memintaku merahasiakannya. Namun, aku tidak bisa menyimpannya sendiri. Mas Lukman orang yang bisa aku percaya. Makanya ini semua terbongkar," beber Daffa.Aku menghela napas panjang. Aku paham dan percaya, jika kasus ini tidak bisa dipecahkan. Mas Gilang tidak pernah menemuiku selama delapan bulan lamanya. Ada orang kepercayaannya yang mengurus semua rencana busuknya."Mas, perceraianku sah atau tidak. Aku tidak pernah menandatangi surat gugatan cerai itu?" tanyaku pada Mas Lukman.Perlahan kuraba luka bekas operasi. Rasa nyeri cukup menyiksa. Aku meringis kesakitan, sorot-sorot mata penuh iba terarah padaku. "Mas kurang paham, Nia. Kasusnya berbelit-belit tidak jelas. Kalau masalah kamu menikah dengan Khanif. Jika kalian kembali berkenan. Pernikah
"Nia, boleh aku duduk di dekatmu?" tanya Mas Gilang. Tatapannya membuatku tidak nyaman. Aku memperhatikan ke sekeliling. Mencari keberadaan Khanif, ibu dan penghuni rumah lainnya."Khanif sedang mengantar ibu ke pasar" ujar Mas Gilang. Dia paham akan tingkahku."Silahkan," ujarku pelan. Rasa takut mendera bila terlalu keras menolaknya, tidak ada yang melindungiku saat ini. "Kamu terlalu takut sama Khanif, ya?" Pertanyaanya cukup mengusik batin. Aku menutup buku dalam genggaman. Beralih menatap Mas Gilang dengan sorot mata tenang. "Untuk apa takut? Aku tidak takut," balasku dengan mengernyitkan dahi. Sama sekali tidak paham dengan maksud Mas Gilang. Aku sadar, segala yang kulakukan saat ini adalah kesalahan baginya. "Aku lihat kalau Khanif di rumah kamu selalu menghindar dariku," ujarnya dengan ekspresi yang membuatku kesal."Wajar, aku tidak ingin menyakiti hatinya," jawabku dengan helaan napas berat. Berusaha memberikan opsi jawaban yang terbaik. "Kalau hatiku yang sakit itu ng
Ruangan tamu rumah ibu dipenuhi oleh anak dan cucu wanita yang paling kusayangi untuk saat ini. Malam ini mereka semua akan membahas rencana pernikahanku dengan Khanif. Namun, kami telah sepakat berdua untuk menikah sesederhana mungkin. Kemewahan sudah kurasa dipernikahan sebelumnya. Namun, semua itu tidak menjanjikan kebahagian. "Konsepnya bagaimana, Nif?" tanya Mas Lukman. Lelaki itu sangat antusias dalam hal ini. "Tidak ada konsep apa-apa. Kami sudah sepakat untuk menikah di KUA atau pun di rumah saja. Tidak perlu mewah yang penting sah," jawab Khanif. Matanya melirik ke arahku. Kusambut dengan anggukan pelan. Mereka serempak menatap kami berdua, pandanganku sampai kuturunkan karena mendadak malu dengan tatapan menggoda."Yakin?" tanya Mbak Aisyah dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Yakin, Mbak. Kami inginnya yang sederhana saja. Lagian malu bentar-bentar nikah," celutukku pelan. Kuangkat perlahan wajahku untuk menatapnya, jangan sampai dinilai kelakuanku tidak menghargainya.