"Jadi, mau apa Anda kemari?"
Angga bertanya tanpa basa basi lagi. Ku dengar nada tak suka dari ucapannya pada Reyhan. Lagian, mau ngapain sih dia ke mari? Nanti, kalau si Klinik datang ke sini, gimana? Bisa nuduh yang macam macam dia sama aku.
Ih, ogah aku berurusan terus dengannya. Aku juga sudah tak berniat alias tak berminat lagi untuk selalu bersaing dengannya. Takbermanfaat, dan tak ada gunanya sama sekali.
"Aku, cuma mau ngasih bunga ini buat Siska."
"Gak bisa! Siska gak nerima bunga dari laki laki lain selain saya," tolak Angga secara langsung. Bahkan, bunga yang baru saja Reyhan sodorkan padaku, langsung di tahan oleh tangan Angga. Hingga, bunga itu tetap berada di pemilik yang sebelumnya. Yaitu, Reyhan.
"Tapi, Siska belum jawab, kalau dia nolak bunga pemberian dari aku ini."
Dih, pake ngotot segala lagi. Udah di bilangin juga sama mas Anggaku tercint
"Wah, parah kamu, Sis. Anak orang kamu timpuk pakai sandal." Si Dudu yang ternyata tadi melihat kejadian saat aku melempar sandal ke arah wajahnya Naura, menggeleng gelengkan kepala.Ekspresinya ini entah tak percaya atau apa. Aku tak bisa menebaknya."Salah dia sendiri. Punya mulut kok gak bisa di jaga. Walau pun aku ini seorang janda. Tapi, aku juga harga diri yang harus aku pertahankan. Siapa juga yang mau goda tunangannya? Gak ada tuh! Reyhan malah datang sendiri ke kontrakan aku. Aku gak ada nyuruh nyuruh dia buat dateng segala. Pakai acara bawa bunga segala lagi." Aku menggerutu kesal.Kesal bener bener kesal! Lebih kesal dari pada mimpi nikah sama Mas Jaka buncit."Hooh! Harusnya ya, tadi, Kamu itu lempar dia pakai sepatunya Mas Angga yang ganteng itu. Kan sepatunya kulit tuh! Pasti bakalan lebih sakit tuh dari sandal."Ha!Apa kata si Dudu?
Katanya besok malam. Katanya mau bantuin jualan. Nyatanya, sampai seminggu kemudian, batang hidungnya tak kunjung keliatan.Ke manakah Mas Angga pujaanku itu?Kok dia tiba tiba aja menghilang tanpa kabar. Ingi ku berkunjung ke rumahnya. Namun, aku tak tau alasan apa yang akan aku ucapkan pada calon mertuaku nantinya, jika aku di tanyai, 'mau apa ke mari?'Masa aku jawabnya, 'mau cari anaknya yang udah jadi pujaan hati ini'. 'Kan gak mungkin ya? Malu lah aku."Sis, gak mau belanja?" tanya Si Dudu membuyarkan lamunanku yang sedang memikirkan Angga.Laki laki yang aku tunggui kehadirannya, pagi, siang dan malam. Namun, tak kunjung juga datang. Aku kesepian. Aku tiba tiba aj rindu dia.Oh, ternyata bener apa kata Dilan. 'Jangan rindu. Rindu itu berat. Aku taku kamu gak bisa menahannya.'Dan bener aja ternyata. Saat ini aku tak kuasa menahan g
Mataku membelalak sempurna tatkala tatapanku tertuju pada sebuah layar yang saat ini tengah memutar sebuah video. Video itu menunjukkan adegan mesra, sosok yang selama satu minggu ini aku rindui.Angga.Sosok itu terlihat sedang berbincang mesra dengan seorang wanita yang tak ku ketahui siapa dia. Tapi yang jelas, pemandangan itu begitu membuat mataku panas. Dadaku sesak. Dan jantungku juga rasanya ingin meledak.Aku terbakar api cemburu. Mereka, mereka berkhianat di belakangku. Ah, bukan mereka. Tapi Angga seorang. Karena sosok wanita itu, aku tak mengerahui siapa dia. Angga telah mempermainkan hati dan perasaanku. Jahat!"Eh, Sis. Maaf ya, aku gak bermaksud buat kamu marah dan cemburu. Aku-- aku cuma gak mau, temen aku satu satunya, di mainin sama cowok," kata si Dudu dengan tak enak hati setelah melihat ekspresi wajahku yang berubah setelah melihat cuplikan video barusan.Aku
Aku mematung di tempat setelah membukakan pintu dan mengetahui siapa yang tiba-tiba bertamu ke rumahku.Sosok itu yang masih membuatku merasakan gejolak tak biasa dalam dadaku, kini tengah menatapku di depan pintu. Tak hanya di depan pintu. Tapi juga di depanku. Tepat di depan mata.Oh, dia. Aku sedang tak ingin menyebut namanya. Bisa bisanya dia datang bagai kurir ekspress dalam sanubari. Lalu, dengan cepat pula dia mengacaukan hatiku.Sungguh terlalu dia ini. Ya, Dia!"Kamu, gak mau nyuruh saya masuk?" tanyanya. Aku masih berdiam diri di tempatku semula. Memandangnya dengan wajah sengit."Ekhem! Oke, kalau kamu gak mau nyuruh saya masuk, biar saya di luar aja."Aku masih diam. Tatapanku semakin tajam menghujam ke arahnya. Namun, Dia seakan tak menyadari kesalahannya padaku. Wajahnya tetap datar. Dan si-al! Dia masih aja keliatan ganteng di mataku.Dasar mata lucknut! Bisa bisanya meng
"Mas mau bukti 'kan!? Nih, aku kasih buktinya!" Ku perlihatkan HP si Dudu yang layarnya sedang menunjukkan adegan, di mana Dia sedang berujar mesra dengan seorang wanita. Ya, ini tentang Dia. Video yang bikin aku naik darah sampai mendidih. Bahkan, bikin aku jadi uring-uringan tak jelas.Dan itu semua, gara gara dia dan videonya.Ngeselin!Hal tak terduga kembali terjadi. Kini, aku malah melihatnya tertawa. Bukan lagi tersenyum. Aneh bukan? Ada ya, yang begitu? Orang lagi marah juga. Tapi, dia malah ketawa. Bukannya merasa bersalah dan menyesalinya! Dasar buaya!Harusnya, aku gak mudah percaya gitu aja sama buaya. Karena ternyata, buaya darat emang gak setia. Beda Ama buaya muara.Huh! Jadi malah bahas buaya 'kan jadinya?"Ngapain Mas ketawa? Lucu?" tanyaku ketus. Seketus wajahku saat ini. Tak ada senyum di bibir, apalagi tawa.Enak aja!
Sekarang, aku di buat dilema. Antara mau mendengar atau tidak.Dia, yang namanya masih belum ingin ku sebut, terus menerus menggodaku dengan caranya."Kalau kamu memang mau mengetahui siapa wanita yang ada dalam video itu, saya akan beritahu kamu tanpa membohongi. Tapi, kalau kamu memang tak mau tahu dan juga tak mau mendengarkan, ya sudah. Saya tidak akan maksa kamu."Tidak! Aku ingin tau siapa wanita itu. Tapi, aku terlalu gengsi untuk mengatakannya.Si-al! Semua ini gara gara gengsi!"Ya sudah, kalau kamu emang gak mau dengar. Sekarang saya pergi. Titip salam buat Dudu," ujarnya berpamitan. Pakai titip titip salam segala lagi buat si Dudu.Dia berbalik badan. Namun, dengan gerakan cepat aku menahan langkahnya."Tunggu, Mas." Dia menoleh. Ada sedikit senyum lagi terbit di sana. Aku jadi gemes sendiri melihatnya."Kamu nahan saya, Sis?" tanyanya.
"Oh, jadi kamu Du, yang udah kasih video saya sama adik sepupu saya?""Hah! Apa?!" Si Dudu membelalak. Begitu pun dengan aku yang sama terkejutnya dengan si Dudu.Adik sepupunya, Dia bilang?Ku perhatikan lagi dengan saksama, putaran video yang di berikan oleh si Dudu. Dan baru aku ngeh saat ini, ternyata wanita yang ada dalam Video bersama si Dia itu, memakai seragam putih abu. Menandakan jika ia masih berstatus sebagai seorang pelajar menengah atas.Wajahku mendongak. Dan bertepatan dengan itu, matanya juga sedang menatap wajahku. Pandangan kami berdua saling bertemu. Hingga, si Dudu mengeluarkan suaranya yang nyaring. Membuat kami engakhiri pandanganm kami."Aduh, ya ampun! Jadi, yang ada di dalam Video itu adik sepupunya, Mas Ganteng?!" ujar si Dudu so kaget. Entahlah, entah ia keget beneran, atau hanya settingan. Aku gak tau!"Kenapa kamu kasih video itu sam
Angga kembali mengucap janji setelah tadi meminta maaf padaku, karena tak jadi datang malam lalu, untuk membantuku berjualan nasi goreng. "Saya janji, malam ini kalau saya tidak ada halangan, saya akan datang ke tempat jualan kamu, buat bantuin kamu," ucapnya waktu itu, saat ia masih ada di rumah kontrakanku. Setelah kesalahpahaman antara aku dan Angga telah Usai. Kini, hubunganku dengannya terlihat sedikit membaik. Apalagi, setelah Angga melakukan panggilan video call pada seorang wanita yang wajahnya sama seperti di dalam video yang di tunjukan oleh Dudu, aku semakin yakin jika Angga memang tidak membohongi aku. Apalagi membodohi aku.Dia bukan buaya darat rupanya. Dia buata muara yang setia.Ah, semoga aja. Aku gak mau dia jadi buaya darat. Ngeri!"Sis," panggil si Dudu dengan sedikit berteriak. Aku yang sedang berada di depan cermin sedang berhias diri, langsung mengalihkan mata menatapnya yang berada di belakang
"Gimana?" Satu kata terucap. Sebuah pertanyaan yang membuatku tak bisa berkata-kata, keluar dari mulut manis Angga.Walau aku belum pernah mencoba mulut itu. Eh, tapi aku yakin, mulutnya memang manis. Semanis kata katanya padaku. Dan sikapnya selama ini, tentu saja."Kenapa malah diam? Saya tanya loh. Gimana?" tanyanya lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama."Gimana apanya Mas?" Bukannya menjawab. Eh, mulutku malah balik bertanya. Dasar Siska!Grogi kok bisa sampai kayak gini sih."Kok malah balik nanya sih? Saya kan yang nanya duluan sama kamu," katanya dengan kepala yang menggeleng ke kiri dan ke kanan. Aku menatapnya takjub. Cuman gelengin kepala aja, udah bisa bikin aku terpesona. Ganteng banget sih dia. Ya ampun! Pikiranku jadi ke mana mana. Apalagi kalau dia senyum coba. Pasti bakal langsung bikin aku hilang ingatan."Jangan kebanyakan mikirin yang enggak enggak. Kita belum
"Kamu baik bener sama Marni. Gak rugi Sis, nasi gorengnya kamu kasih gratis sama Marni?" tanya si Dudu saat Marni sudah melenggang pergi dari tempatku berjualan. Tanganku yang sedikit kotor, karena bumbu, segera ku bersihkan dengan lap yang biasa aku gunakan di tempat jualanku. Mengabaikan dulu pertanyaannya si Dudu. Masih tak mau menjawab, aku malah tersenyum sama si Dudu."Enggak lah, Du. Cuma satu bungkus doang kok. Masa sih aku rugi. Gak papa lah, kasian aku sama si Marni. Dia itu tetangga aku yang gak pernah ikut campur. Dia masa bodoh. Tapi, dia juga gak cuek, kalau aku ada masalah. Oh ya, aku yakin tuh, di balik sikapnya yang barusan bisa ketawa itu, dia sebenernya nyimpen luka buka si Marno.""Kamu bener, Sis. Kasian aku sama Marni. Dia kan cantik ya? Mukanya bening, walau dia cuma seorang babu. Gak kayak aku," kata Dudu yang membandingkan wajah Marni dengan wajahnya."Kamu juga cantik Du. Sayang aja, ka
Jajan tak jadi, yang ada keluar uang buat Mak Iroh.Huh! Si emak yang satu ini emang meresahkan! Padahal, tadi siang ia juga kebagian jatah bagi bagi uang dari Angga. Tapi, masih aja minjam sama aku. Aku sampai kehilangan nafsu makan, gara gara kelakuan Mak Iroh yang kembali kumat. Ku pikir, setelah lama Mak Iroh tak meminjam uang padaku, ia sudah tobat dan tak akan minjam minjam uang lagi. Tapi ternyata ... ah, sudahlah!Berbagai tipe tetangga, ada di lingkungan kontrakanku. Dari yang julid, yang mulutnya lemes, yang tukang nyebar berita palsu, sampai yang suka minjam uang, tapi jarang kembali pulang itu uang, semuanya ada di sini. Dan aku menjadi salah satu penghuni yang terbilang normal di sini. Karena aku bukan salah satu dari yang baru aja aku sebutkan."Wey, bengong aja, kayak ayam pengen kawin!"Kulirik wajah si Dudu sekilas. Lalu, kembali pada setelan awal.Aku tak berniat untuk terkejut. Apalagi samp
Barisan bubar setalah mereka mendapatkan apa yang sudah di janjikan oleh Mas Angga. Yaitu, duit. Mereka semua pulang dengann wajah senang, senyum senang dan mata berbinar. Gagal mendapatkan sembako, mereka pulang dengan membawa uang. Beruntung memang para tetanggaku ini. Uang mengalahkan segalanya. Bahkan, si Jumi yang biasanya suka ketus padaku, berubah bak ibu peri yang kapan saja siap untuk di mintai tolong."Kalau butuh apa apa, bilang aja sama aku. Aku siap bantu kamu, asal ada ininya." Itu kata si Jumi sebelum ia beranjak pergi dari teras rumahku. Jempol dan telunjuknya saling beradu. Aku tau apa maksudnya. Pasti ujung ujungnya duit lagi deh."Mas, harusnya gak usah sampai segitunya sama mereka. Nanti keenakan mereka. Harusnya kan yang kasiih mereka itu si Wati, bukannya Mas Angga," omelku saat semua barisan ibu ibu dan bapak bapak sudah menghilang bak di telan bumi. Hilang kare
Gusti! Aku terkejut bukan main. Gak ada angin, apalagi hujan, tiba tiba aja ini rumah di kerubunin para tetangga kontrakan, dari yang paling dekat hingga ke paling ujung, alias paling jauh, semuanya ada. Bukan tanpa alasan mereka mengerubungi rumah kontrakanku. Katanya, aku ada jadwal bagi bagi sembako hari ini. What! Siapa yang bilang dan nyebar fitnah kayak gitu tentangku? Aku kok gak merasa pernah bilang sama seseorang, apalagi orang orang, kalau aku mau bagi bagi sembako. Wong, aku juga masih kekurangan kok. Gimana ceritanya aku mau bagi bagi? Kalau aku ada uang lebih sih, aku juga mau bagi bagi. Tapi, uang lebihku kan sudah aku kasih sama si Dudu, buat biaya sunat adik bontotnya. Nanti malah, aku mau nyari uang lagi, biar ada lebihnya lagi. "Ayo Dong, Sis. Jangan tunda tunda rezeki kami. Kamu kan mau bagi bagi sembako. Kenapa gak langsung di segerakan aja bagi baginya. Dosa loh, kalau kamu nunda nunda apa yang
Ya ampun! Duniaku terasa berbunga saat kulihat wajah Angga memerah karena cemburu. Ada untungnya juga, aku ketemu dengan Andi, teman saat aku sekolah dulu. Ya, aku tau kalau dari dulu itu, Andi suka padaku. Namun, entah kenapa, dari dulu pula hingga sekarang, aku tak pernah memiliki perasaan yang serupa dengan Aldi. Bukan karena Aldi tidak tampan dan menarik. Bukan karena dia juga tak baik. Tapi, karena hati ini yang tak pernah bisa memiliki perasaan yang sama dengan Aldi. Hingga, hanya sebatas teman, yang bisa aku sematkan dalam hubungan kami berdua. Lama tak jumpa, ternyata kami di pertemukan kembali dengan aku yang sudah memiliki calon suami. Dulu, aku memilih menikah dengan temannya. Dan sekarang? Hatiku pun telah terpaut pada yang lain. Mungkin, hatiku dan hatinya yang tak bisa menyatu. Hingga kata 'teman' yang lebih cocok untuk kita sandang dalam hubungan ini. "Bilang cemburu aja kok s
POV Angga.Dia. Ya, dia. Siska orangnya. Sosok cantik yang tak pernah kuduga akan membuatku jatuh cinta dalam waktu sekejap mata itu, kini tengah menahan lengaku. Menghentikan langkah, agar aku tak pergi dari hadapannya."Mas beneran mau nemuin si mbak Wati itu?" tanyanya merengut. Aku tau dia kesal. Tapi, apakah Siska berpikir, jika aku akan benar benar pergi meninggalkan dirinya di sini dan menemui mbak mbak tadi?Tidak! Aku hanya bercanda saja. Lagi pula, aku tak tau dia itu siapa. Mbak Wati atau mbak mbak? Terserah siapa namanya. Karena yang membuatku berada di sini, adalah Siska. Bukan mbak Wati.Masih kuingat dengan betul, bagaimana sikap mbak-mbak bernama Mbak Wati itu. "Mas, Mas?" Tangannya menepuk nepuk bahuku beberapa kali seraya memanggil. Aku yang terkejut, langsung berbalik badan, dan mendapati seorang wanita tengah menatapku dengan pandangan genit."Mas cari siapa toh?" tanyanya.
"Mas Angga." Aku berteriak memanggil namanya dan memukul pundaknya beberapa kali karena terkejut.Angga menoleh. Ia menebarkan senyum yang langsung menular padaku. Seperti virus cintanya yang kini tumbuh di hatiku. Seperti itu pula, senyum hadir di bibirku."Kok, Mas tau aku ada di pasar?" tanyaku antusias. "Sejak kapan, Mas jadi tukang ojek gini?""Emh, saya harus jawab yang mana dulu nih?" tanyanya seraya menoleh. Senyum tipis itu terlihat sedikit menggoda iman dan mata. Ya Allah, ampuni hamba. Mata ini gak bisa berhenti buat natap dia."Yang mana aja, deh. Yang penting semuanya di jawab," jawabku cepat."Hem, oke. Yang pertama, saya tau kamu ada di pasar, karena saya tadi ke rumah kamu. Ternyata kamu gak ada. Saya tanya lah sama tetangga kamu. Kebetulan--""Tunggu, tunggu!" Ku hentikan penjelasannya, karena ada yang menarik di akhir kalimat. Tetangga?"Tetangga, Mas?" tanyaku de
Suasana pasar hari ini begitu panas. Pas sama otak aku yang baru aja panas, karena nyinyirannya si mbak Wati. Padahal, waktu baru aja menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, sudah seperti tengah hari aja. Dan ini semua, tentu aja gara gara si mbak Wati."Eh, Neng Siska. Pasti mau belanja sayuran sama daging ya?" Baru aja aku sampai di jongko pedagang langgananku, aku sudah di tanyain ini itu. Ku coba melengkungkan bibir, membuat senyuman yang sedari tadi hilang, karena mood yang tiba tiba aja anjlok ke dasar sungai. Loh, kenapa sungai? Ya, kalau lautan, terlalu dalam. Aku gak sekesal itu juga kali."Ya ampun, Neng. Pagi pagi di kasih senyuman, langsung seger ini badan. Apalagi mata." Si Abang sayur yang usianya udah lanjut itu masih sempatnya menggoda. Untung aja, godaannya itu cuman sebatas candaan aja. Hingga, aku merasa biasa aja dan menanggapinya terlalu serius."Eh, si Abah bisa aja. Abah, makin lama juga makin tu