Angga kembali mengucap janji setelah tadi meminta maaf padaku, karena tak jadi datang malam lalu, untuk membantuku berjualan nasi goreng.
"Saya janji, malam ini kalau saya tidak ada halangan, saya akan datang ke tempat jualan kamu, buat bantuin kamu," ucapnya waktu itu, saat ia masih ada di rumah kontrakanku.Setelah kesalahpahaman antara aku dan Angga telah Usai. Kini, hubunganku dengannya terlihat sedikit membaik. Apalagi, setelah Angga melakukan panggilan video call pada seorang wanita yang wajahnya sama seperti di dalam video yang di tunjukan oleh Dudu, aku semakin yakin jika Angga memang tidak membohongi aku. Apalagi membodohi aku.Dia bukan buaya darat rupanya. Dia buata muara yang setia.Ah, semoga aja. Aku gak mau dia jadi buaya darat. Ngeri!"Sis," panggil si Dudu dengan sedikit berteriak. Aku yang sedang berada di depan cermin sedang berhias diri, langsung mengalihkan mata menatapnya yang berada di belakang"Eh, ada janda! " Seseorang bersuara. Lantas ku langsung memandang ke arah sumber yang bersuara barusan. Ternyata.. Itu adalah suaranya si Jumi, alias Juminten. "Ngapain kamu panggil panggil aku? Nge fans ya kamu sama aku? " tanyaku dengan nada sengit. Mentang mentang dia udah ninggalin masa jandanya, dia bisa seenaknya manggil aku dengan sebutan janda. Walau aku ini memang seorang janda. Tapi, gak bisakah dia manggil aku dengan sebutan nama aja?"Idih, nge fans?! Sorry ya! Kamu bukan level aku! Emangnya kamu ini siapa? Artis? Kamu selebritis? Atau, kamu mantannya artis? Duh, ngarep! Janda narsis sih, iya!" kata si Jumi yang berucap begitu menggebu gebu. "Siska emang bukan artis, bukan pula yang kamu sebutin barusan. Tapi, Siska ini memang seorang janda yang punya daya tarik luar biasa. Sampai sampai, suami kamu sendiri aja, klepek-klepek sama Siska." Si Dudu turun tangan. Ia ikut campur dalam membelaku di depan si mantan janda in
Meninggalkan si mas Jaka buncit yang pede-nya gak abis pikir. Kini, di sinilah aku dan si Dudu berada. Di tempatnya si Naura and teh geng soang.Ku perhatikan dari sini. Dari jarak yang tak lebih dari lima meter, di sebuah warung yang ramai dengan kumpulan para wanita manja. Si Naura dan kawan kawannya sedang tertawa terbahak bahak. Bahkan, ada yang sampai terpingkal pingkal, saking lucunya apa yang sedang di ceritakan oleh si Naura.Darahku mendidih saat mendengar si Naura berceloteh bangga, karena sudah berhasil memberikan sebuah video pada si Dudu, hingga membuat teman temannya yang lain, pada tertawa."Si janda gatel itu, pasti sekarang udah putus sama pacarnya yang ganteng itu. Lagian, dia mana pantes sama cowok ganteng. Dia mah, pantesnya jadi istri keempatnya si mas Jaka. Biarin aja dia saingan sama istri pertama, kedua dan ketiganya. Asal, jangan saingan sama aku. Karena dia gak bakalan menang dari aku," cerocosnya tanpa tau, kala
Aku pulang dengan keadaan hati yang puas. Bagaimana tidak, ucapanku padanya mengenai almarhum suamiku, membuatnya kalah telak, bahkan sebelum berperang. "Kamu hebat, Sis. Si Naura langsung mati kutu, karena ucapan kamu," puji si Dudu dengan wajah semringah. Dan aku hanya bisa menanggapi dengan senyum tipis. Bagiku, mengingat kembali sosok almarhum mas Salman, selalu membuat luka di hati terbuka kembali. Walau sudah ada sosok Angga. Tapi, mas Salman masih selalu ada di hati. "Tapi, aku beneran gak nyangka, ternyata si Naura itu cinta mati sama almarhum suami kamu. Ngeri juga ya? Naura sampai benci banget sama kamu kaya gitu. Atau jangan jangan, Reyhan pun cuma Naura jadikan pelampiasan aja," tebak si Dudu. Aku terdiam sesaat. Menimang dan memiirkan pertanyaannya. Kalau itu benar, kasihan juga Reyhan. Tapi ... ah, memangnya apa peduliku? Toh, Reyhan bukan siapa siapa aku. Aku hanya mengenalnya tanpa sengaja. Tak lebih
"Sis, Sis. Lihat itu, Sis." Si Dudu menunjuk ke depan dengan suara yang terdengar kaget. Bahkan, setelah menunjuk, tangannya menepuk nepuk pahaku beberapa kali.Penasaran dengan apa yang di lihat oleh si Dudu, aku pun langsung langsung melihat ke depan. Dan betapa terkejutnya aku ... di sana terlihat sosok Angga dan beberapa orang. Ah, bukan beberapa. Tapi, banyak orang yang sebelumnya belum pernah aku lihat. Kini, berjalan beriringan dengan Angga, menuju ke arahku."I, itu Angga kan?" aku mengerjap. "Eh, maksud aku, itu ... mas Angga kan?" tanyaku dengan meralat nama panggilan untuknya. Suaraku sedikit kaku. Mungkin, efek kejut dari kedatangannya dan orang-orang yang ada di samping dan di belakangnya."Hooh, Sis. Itu, mas mu," kata si Dudu menjawab.Angga mendekat. Dan tanpa ku sadari, tiba tiba aja Angga sudah berada di depanku.Lagi lagi mataku mengerjap karena kaget."Malam, Sis," sapanya terdengar lembut.
Fokus, Sis. Fokus! Jangan gara gara Angga ganteng, kamu jadi gak fokus begini buatin pesanan orang. Kalau nasi gorengnya keasinan, atau mungkin kepedasan, atau malah hambar kayak perasaanku sama Reyhan sekarang, gimana? Aih, bisa bisanya aku bawa bawa nama tunangannya si Naura yang gak jelas itu. "Cepetan, Sis, goreng nasinya. Yang lain udah pada nunggu," kata si Dudu yang tak kalah repot dariku. Berulang kali kulihat si Dudu meracik bumbu sambil mengambil napas dalam dalam. Aku bahkan sampai kewalahan. Dari mana sih Angga dapat para pelanggan ini? Apa mereka ini para pekerjanya? Atau para saudara? "Kamu capek, Sis?" Sebuah suara yang lembut dan menenangkan, terdengar. Aku menoleh dan merasa diperhatikan. Itu suara Angga yang barusan. "Ah, enggak kok, Mas. Udah biasa," balasku cepat, tanpa mengalihkan pandanganku dari nasi goreng yang sedang aku aduk aduk men
"Ini, Du." Aku menyodorkan beberapa lembar uang ke arah si Dudu. Tiba tiba matanya langsung membelalak. Ia menatapku tidak percaya. Kenapa lagi kah si Dudu ini?"Sis, kamu serius ngasih aku segini?" tanya si Didi akhirnya. Karena aku memang serius, aku pun langsung menganggukkan kepala. Tanpa di duga, si Dudu malah memelukku dengan erat. Ia sesenggukan. Air matanya mengalir ke pundakku. Semoga aja, Iker atau ingusnya gak ikut ikutan."Du, Dudu," panggilku pelan."Kamu baik banget sih, Sis. Aku-- aku--"Loh, loh, si Dudu malah mewek. Ku tepuk tepuk Pelan pundaknya untuk menenangkan. Tapi, bukannya tenang, si Dudu ini malah makin kencang tangisannya.Aduh, aku jadi panik sendiri. Gimana kalau ada orang yang dengar dan ngira aku macem macemin si Dudu. Kan gawat!"Tenang, Du. Tenang. Kamu mau, aku di gerebek tetangga, gara gara kamu nangis di kontrakan aku?" tanyaku den
Pagi ini, aku mau ke pasar. Gak mau ke tukang sayur. Soalnya, mau beli bahan buat nasi goreng nanti malam.Ku lirik penampilanku, sudah cantik. Ahay! Dari atas sampai bawah, pakaian yang aku kenakan terlihat sopan sopan aja. Kini, saatnya aku keluar rumah dengan semangat membara menuju pasar, mencari bahan."Aduh ..., pagi pagi udah bikin mata lelaki seger aja. Sampai sampai, lupa sama bini-nya sendiri. Gak inget sama dosa, apa? Aku sih, ogah, kalau harus dandan sama kamu." Huh! Langkahku terhenti. Baru aja menginjakkan kaki dari rumah ke teras, kupingku udah terasa panas aja. Ini dia, salah satu tetangga yang paling julid. Statusnya sama kayak aku, Janda juga. Tapi, aku lebih suka manggil nya si janda julid. Ada alasannya aku bilang dia si janda julid. Lihat saja, baru juga aku muncul, sudah di nyinyir aja sama dia. Apa itu gak julid namanya?"Eh, janda julid baru pulang dari kampung ya?" tanyaku tak kalah julid. "Bawa oleh oleh apa dari kampung?""Mulutmo semborongan!" semprotny
Suasana pasar hari ini begitu panas. Pas sama otak aku yang baru aja panas, karena nyinyirannya si mbak Wati. Padahal, waktu baru aja menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, sudah seperti tengah hari aja. Dan ini semua, tentu aja gara gara si mbak Wati."Eh, Neng Siska. Pasti mau belanja sayuran sama daging ya?" Baru aja aku sampai di jongko pedagang langgananku, aku sudah di tanyain ini itu. Ku coba melengkungkan bibir, membuat senyuman yang sedari tadi hilang, karena mood yang tiba tiba aja anjlok ke dasar sungai. Loh, kenapa sungai? Ya, kalau lautan, terlalu dalam. Aku gak sekesal itu juga kali."Ya ampun, Neng. Pagi pagi di kasih senyuman, langsung seger ini badan. Apalagi mata." Si Abang sayur yang usianya udah lanjut itu masih sempatnya menggoda. Untung aja, godaannya itu cuman sebatas candaan aja. Hingga, aku merasa biasa aja dan menanggapinya terlalu serius."Eh, si Abah bisa aja. Abah, makin lama juga makin tu