“Di mana Livyata?” tanya El kepada seorang petugas.Tepat pukul delapan pagi, El terkejut karena bukan Livy yang mengantar roti, melainkan salah satu pegawai. Pria ini, setia menanti jawaban keluar dari bibir petugas dapur, namun hanya kalimat berbelit yang diterima. “T-tidak tahu Tuan, katanya Livy sibuk banyak pesanan lalu sakit dan tidak ada kabar lagi, jadi anak muda itu yang mengantar kemari,” tutur petugas dapur merasa aura tak mengenakan keluar dari Bos tampan rupawan.Sebenarnya El ingin berangkat sekarang juga, untuk mencari kebenaran terkait informasi itu. Namun, kesibukan menuntutnya untuk tetap menjalankan tanggung jawab. Akhirnya, ia hanya bisa memajukan jadwal rapat dan mempercepat durasi. Dibantu asisten pribadi yang telah puluhan tahun mengabdi pada Torres Inc, El dapat menyelesaikan semua pekerjaan. Perasaannya gelisah, entah mengapa ia selalu berpikiran buruk. Berulang kali menepis, tetapi otak dan hatinya tidak bisa tenang.Tepat jam istirahat kantor, El keluar da
“Livy … lupakan Sergio! Kamu pantas mendapat yang lebih baik,” ucap El.Bibir keduanya semakin dekat, tersisa jarak kurang dari lima senti. Bahkan Livy bisa merasakan, bagaimana jemari milik kakak iparnya menyentuh daging kenyal itu. Namun, Livy segera diberi kesadaran, sehingga mendorong dada bidang kakak iparnya. Ia langsung menjauhkan kepala, dan mengalihkan wajah ke arah lain. “Kak, t-terima kasih bu-buahnya.” Livy berusaha mencari topik pembicaraan lain, detak jantungnya tidak normal. Napasnya tersenggal seakan baru saja berhenti setelah berlari.El berdeham lalu duduk di kursi tepi ranjang. “Hu’um ya.”Aura canggung memenuhi kamar rawat ini, Livy selalu membuang muka. Ia merasa perlu menetralkan suasana apa lagi pipinya begitu panas. Ia yakin, sekarang kulit wajahnya berubah merah.Namun, berbeda dengan El, kakak iparnya ini duduk dengan tenang. Bahkan, Livy terkesiap, karena pria itu meraih kedua tangannya, menatap pilu pada lebam di sekitar pergelangan. Sentuhan antar kulit
“Kamu?! Dasar tidak tahu diri!” Suara lantang itu ditujukan kepada Livy.Seketika El dan Livy berjauhan, keduanya tertangkap basah oleh Sonia. Wanita cantik itu baru saja tiba di rumah, seharusnya kembali esok pagi, tetapi Tuan Fabregas mengirimkan pesan bahwa kakak dan adik ipar ini semakin dekat.Semula Sonia sangat malas harus pulang ke rumah, sebab pesawatnya baru saja tiba di Madrid. Kakak angkat Livy ini ingin menginap dulu di hotel, menikmati kebebasan sebelum kembali ke sisi sang suami.“Menjauh dari suamiku!” Sonia mendekat, mendorong Livy dengan kasar. Kemudian menatap nyalang pada adik angkatnya. “Di mana suamimu? Apa kamu jal*ng yang mencari belaian dari pria lain?” Tidak terima terus direndahkan seperti ini, Livy membalas tatapan kakak angkatnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi menahan amarah. Bibir merah mudanya hendak menjawab, sayang, El lebih dulu mengeluarkan suara.“Sonia ini bukan salah Livy! Perutku lapar, sengaja melihat apa yang dia masak.” El sege
“Kenapa kamu melihatku seperti itu?!” Livy menautkan alis, karena Sergio terus menatapnya. Setelah susah payah melangkah dari depan pintu kamar Sonia, ia kembali dihadapkan oleh sikap sang suami.Pria itu memandang seolah Livy tidak layak berada di ruangan yang sama. Sergio turun dari ranjang seraya membawa bantal. Ia pikir suaminya akan tidur di tempat lain, ternyata salah. Sang suami hanya duduk di sofa menghadap laptop. “Buatkan aku kopi!” Perintah Sergio tanpa menoleh, karena tak mendapat reaksi apa pun, ekor matanya melirik tajam pada Livy. “Apa kamu tuli dan cacat, hah?! Cepat!”“Kamu punya tangan dan kaki, kenapa tidak turun sendiri ke dapur?” sarkas Livy, hendak melenggang ke kamar mandi.“Ingat Livyata, kamu masih istriku!” bentak Sergio.Livy berdecak sebal, lalu kembali ke dapur, meracik kopi untuk suaminya. Kalau saja bukan karena ayah angkatnya, pasti ia telah meninggalkan Sergio. Rasa cinta di hati yang baru saja tumbuh berubah layu karena sikap pria itu. Bahkan Livy ber
“S-si-siapa yang cemburu?” Suara Livy terbata.“Kamu.” Tunjuk El ke arahnya.Wanita ini menelan saliva yang terasa pekat, mendadak tangannya gemetaran karena gugup. Sejenak Livy berpikir untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah pada kalimatnya. Namun, dalam kondisi begini malah membuat otaknya tidak bisa mencerna dengan baik. Hanya Livy yang dikuasai oleh kegugupan, sedangkan pria paling digilai seantero Spanyol tampak santai. Bahkan El memelankan laju dan menepikan kendaraan miliknya. Ia melepas sabuk keselamatan, lalu duduk menghadap adik ipar.Sungguh Livy merasa sedang berada di ruang sidang, padahal ia juga tidak tahu, lantaran belum pernah masuk ke pengadilan. Antara takut, penasaran dan merasa bersalah bercampur menjadi jadi satu. “Kak, m-maaf aku lancang. Tapi aku tidak—“ “Aku dan Sonia tidak melakukan apa pun. Semalam, setelah makan aku langusng tidur,” tutur El seolah mengerti apa yang dimaksud adik iparnya.Jawaban yang keluar dari bibir agak tebal itu sangat berbeda
“Kak El?” gugup Livy.Kini irama jantungnya menjadi lebih cepat, ia sendiri kebingungan apa yang dilakukan kakak iparnya. Berada sedekat ini bersama El mampu membuyarkan konsentrasi, jemari pria itu terus membelai lembut kulit pipi.Kedua tangan Livy tersampir di pundak El, otaknya memerintah mendorong, tetapi reaksi tubuhnya berkhianat. Ia memejamkan mata karena wajah kakak ipar semakin mendekat.“Kenapa menutup mata? Ada noda kering di pipi.” El terus menggosok kulit mulus itu.“Hah?” Segera Livy membuka mata, sungguh dirinya merasa malu karena telah berharap El menciumnya. “Aku ambilkan handuk basah, tunggu sebentar!” El beranjak dari depan Livy, berlari kecil menuju toilet.Di dalam toilet yang cukup luas, pria ini menatap diri pada cermin besar. Ia tidak mengerti, mengapa bisa berpikir ingin menikmati bibir ranum itu. Semula El memang berniat mengahapus noda pada pipi adik ipar, tetapi melihat daging kenyal berwarna merah muda menjadikannya lupa diri.‘Donatello Xavier! Dia adik
“Apa ada yang lain?” Tanya Livy pada seorang pramuniaga.Setelah dipertimbangkan, akhirnya Livy menerima undangan pesta ulang tahun nenek dari El. Semula ia ragu karena tidak memiliki gaun, tetapi mengingat dua minggu ini tokonya ramai sehingga memiliki keuntungan di atas rata-rata.Sekarang wanita berperawakan mungil ini dipandu oleh seorang pramuniaga. Livy dihadapkan pada jajaran gaun mewah yang sebelumnya hanya bisa dilihat di televisi atau sosial media. Ia menelan ludah setelah melihat harga, benar-benar mencekik kaum sederhana.“Bukankah tadi Nona bilang mau yang terbaru?” tanggapan pramuniaga.“Ya, tapi … aku rasa, ini tidak cocok karena sangat terbuka.” Livy menutup kelopak mata, karena anggaran yang dimiliki kurang.“Kenapa Nona tidak bilang dari tadi? Kami masih memiliki koleksi yang lain, ini lebih tertutup.” Pramuniaga berlalu, tidak lama membawa beberapa gaun cantik dan indah.Sayangnya, Livy terbelalak setelah melihat harganya. Ia menghela napas karena datang ke tempat ya
Sepuluh menit sebelumnya El menerima laporan dari salah satu petugas keamanan di mansion. Menyatakan bahwa seorang wanita memaksa masuk, mengatakan status sebagai adik ipar Tuan Muda Torres.Presdir Torres Inc yang tengah dalam perjalanan menuju mansion, langsung teringat pada Livy, serta undangan ibunya untuk menghadiri pesta. Saat itu juga, El langsung menginjak pedal gas, menambah kecepatan di atas rata-rata.Setibanya di depan pagar, El segera melepas sabuk pengaman, lalu turun dari kuda besinya .“Kenapa dia balik lagi?” gumam pria tampan dan terkaya seantero Spanyol.Ketukan langkah dari alas kaki berpadu dengan aspal menimbulkan irama nyaring. Pria ini mengikis jarak dengan Livy, hingga semakin dekat, ia menarik lengan adik iparnya.Seketika tubuh Livy terjatuh ke dalam dekapan El. Keduanya menempel tak berjarak, iris coklat dan biru safir saling memandang.“Livy, kamu ke sini?” El tidak melonggarkan tangannya pada tubuh Livy.Sedangkan wanita ini, mengedip mata perlahan, rasa le
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa