Sepuluh menit sebelumnya El menerima laporan dari salah satu petugas keamanan di mansion. Menyatakan bahwa seorang wanita memaksa masuk, mengatakan status sebagai adik ipar Tuan Muda Torres.Presdir Torres Inc yang tengah dalam perjalanan menuju mansion, langsung teringat pada Livy, serta undangan ibunya untuk menghadiri pesta. Saat itu juga, El langsung menginjak pedal gas, menambah kecepatan di atas rata-rata.Setibanya di depan pagar, El segera melepas sabuk pengaman, lalu turun dari kuda besinya .“Kenapa dia balik lagi?” gumam pria tampan dan terkaya seantero Spanyol.Ketukan langkah dari alas kaki berpadu dengan aspal menimbulkan irama nyaring. Pria ini mengikis jarak dengan Livy, hingga semakin dekat, ia menarik lengan adik iparnya.Seketika tubuh Livy terjatuh ke dalam dekapan El. Keduanya menempel tak berjarak, iris coklat dan biru safir saling memandang.“Livy, kamu ke sini?” El tidak melonggarkan tangannya pada tubuh Livy.Sedangkan wanita ini, mengedip mata perlahan, rasa le
“Sonia! Hentikan! Di sini tidak ada aturan harus memberikan hadiah, bahkan aku tidak memiliki kado,” sentak El. Pria ini geram melihat tingkah sang istri yang arogan dan kasar. El pikir, Sonia tidak datang, lantaran menurut informasi, wanita itu sedang sibuk di depan kamera. Sekarang, hadir dan membuat keributan, sebagai suami tentu saja merasa malu.“Tapi bisa saja Livy bohong, sayang! Aku … aku sayang sama abuela.” Nada Sonia melemah karena menyadari sikapnya salah besar.“Ok, aku akan hubungi ahli gizi untuk memeriksanya! Jadi, jangan sentuh kue abuela.” El segera menarik paksa pergelangan Sonia, membawanya masuk ke dalam.Sedangkan abuela tampak kecewa tidak bisa menikmati kue unik. Mereka semua masuk ke dalam karena makan malam bersama keluarga segera dimulai, meninggalkan Livy yang merelakan kuenya dibawa pergi.Di meja makan, keheningan tercipta, bahkan hanya menyisakan denting dari peralatan. Namun, tidak berlangsung lama, sebab abuela membuka suara kepada cucunya.“Kamu bilan
“Semoga hari ini jauh lebih baik dibanding kemarin.” Sebelum festival dimulai, Livy dan pegawainya menumpuk tangan di udara sebagai penyemangat.Beberapa hari belakangan, omset di toko roti menurun drastis. Stok roti banyak tersisa, padahal toko buka hingga sore hari. Pelanggan setia perlahan menghilang, hanya Torres Inc dan rumah sakit tetap setia memesan setiap harinya.Livy sempat patah semangat, menyangka bahwa konsumen mulai jenuh dan tidak menyukai roti buatannya lagi. Dari pertama membuka toko, kejadian seperti ini baru menimpanya. Setelah mempelajari karakter bisnis, memang tidak selamanya berjalan mulus. “Iya Bu, aku yakin toko roti Bu Livy pasti kembali ramai,” ucap seorang pegawai setia.Wanita berparas manis mengulas senyum sembari menganggukkan kepala. “Ayo kita rapikan boothnya, sebentar lagi para festival di mulai.” Awalnya, Livy sempat ragu mengikuti festival tetapi El terus memaksanya. Bahwa ia bisa melalui rintangan yang membentang. Tepat pukul delapan pagi area fe
“Sebenarnya, berita apa yang mereka maksud?” Setelah mendengar percakapan beberapa pengunjung, Livy kembali ke boothnya, tidak jadi membeli churros.“Mana churrosnya, Bu?” Seorang pegawai menoleh karena Livy masuk dengan tangan kosong.Livy menggelengkan kepala. “Apa yang lagi ramai di sosial media?”Wanita ini memeriksa ponselnya, karena kesibukan yang mendera, belakangan tidak lagi membuka sosial media, ia fokus pada usahanya. Perlahan Livy menggulir layar, dan menemukan berita bahwa roti buatannya hasil menjiplak resep orang lain. “Apa-apaan ini?” geram Livy, tubuh bagian atasnya langsung naik turun, deru napas terdengar kasar.“Kenapa Bu?” Pegawai toko mendekat dan mengintip ke layar pipih.Kemudian Livy mencari sumber berita, salah satu media pemberitaan menunjukkan bukti bahwa tokonya mencuri resep. Ia tidak habis pikir, siapa orang yang tega merusak nama baik roti buatannya yang baru saja berdiri. “Apa yang harus aku lakukan?” lirih Livy, lantas berpikir sembari menyandarkan p
“Cepat tangani dia! Pastikan wanita ini bisa bergerak dan tidak lumpuh!” teriak Sergio pada pria berjas putih. Ia enggan mengakui Livy sebagai istri di depan umum, bahkan otak liciknya menganggap semua yang dilakukan adalah sandiwara.“Baik, silakan Tuan tunggu di depan. Kami harus menangani pasien.” Bukan dokter, melainkan perawat menjulurkan tangan ke arah pintu.Sergio geram sebab rencananya gagal, seharusnya berhasil menarik uang di rekening. Saat ini yang ada di otaknya bukan keadaan sang istri, tetapi uang, dan cara mengambil tanpa memerlukan persetujuan Livy.Bodoh memang, pria itu berpikir Livy tidak akan mengendus perselingkuhannya. Padahal Sergio telah berhasil membuat wanita polos menyimpan uang di rekening bersama. “Setelah dia siuman, aku harus mendapatkan tanda tangannya!” seru Sergio.Kemudian pria ini merogoh ponsel pada saku celana, menghubungi sang kekasih yang menunggu di bandara. Sergio terpaksa membujuk rayu selingkuhan, supaya sabar menanti. Dengan mulut manis y
“Livy, Sergio, kenapa diam saja?” Pertanyaan itu diulang dengan nada interogasi dari ambang pintu.Sedangkan Livy dan Sergio bergeming, untuk pertama kali pasangan suami istri ini satu suara, kompak menyembunyikan berita kehamilan. Sang suami yang dikenal mahir merangkai kata, sekarang berubah bungkam. Apa lagi, Livy merasa ketakutan, kepalanya tertunduk dan tangannya meremas pakaian, untuk menghilangkan gugup.“Lalu, apa yang mau kamu lakukan? Kenapa aku tidak boleh tahu?” sentak pria paruh baya. Kemudian berjalan masuk dan memperhatikan putri angkatnya. “Aku tidak suka kalian menutupi sesuatu, ingat Livy, Sergio, ini rumahku. Jadi, berhak mengetahui apa pun!”“Ayah salah paham,” jawab Sergio tidak ingin dicap sebagai ayah dari calon janin.Tuan Fabregas mendelik tajam, bukan pada menantu angkuhnya tetapi Livy. Pria tua menatap penuh tanya ke arah perut, pikirannya langsung menyalahkan anak angkat. “Jangan-jangan kamu yang memaksa Sergio menutupi kabar ini?!” tuduh Tuan Fabregas.Son
“M-maksudnya apa, Kak?” jawab Livy terbata.Wanita ini berpikir kakak iparnya menginginkan sesuatu yang menyenangkan, dan memuaskan demi menuntaskan gairah. Tidak munafik, sekujur tubuhnya merindukan sentuhan manja.Livy bergeming, tidak mengikuti El yang semakin melangkah masuk. Ia menggeleng, menghempas pikiran nakal, lantas menarik napas untuk mengembalikan kesadaran.“Kenapa diam di sana? Ayo masuk!” El mengulurkan tangan, jangan lupakan senyum terukir pada bibir tebal itu.“Tapi Kak—““Sudahlah masuk! Kamu perlu makan, lihat badanmu masih kurus.” El menujuk pada Livy, tetapi jari itu seakan tearah ke bagian perut.Sedangkan Livy, masih bungkam seribu bahasa, ia sempat menunduk memandangi perutnya lalu mengayunkan kaki, duduk di ruang keluarga. Pupilnya masih setia mengamati gerak-gerik El, ia menelan air liur saat pria itu melempar jas dan membuka dua kancing kemeja serta menggulung bagian lengan.Livy seolah terhipnotis, kelopaknya tidak berkedip dan hampir saja meneteskan air li
“Orang lain? Tidak pernah ke sini?” Livy mengulang jawaban kakak iparnya. Bolehkah ia merasa senang karena untuk pertama kali diperlakukan jauh lebih baik dari kakak angkatnya? Livy menatap lekat sepasang manik biru safir, ia menelan ludah karena hidung mancung itu menempel tepat di atas tulang indera penciumannya.Sepasang kelopak mata memejam, benar saja sesuai dugaan, El kembali menyatukan bibir. Kemudian mengangkat Livy ke atas meja konter, seraya menyesap daging kenyal itu dengan liar. Pria ini tidak mengerti, karena feromon yang menguar dari tubuh adik iparnya sangat menggoda.Seketika El tidak bisa lagi menahan diri, ia memaki dalam hati karena mengingkari janjinya terhadap Sonia. Selama ini, ia terlalu sabar sebagai suami, menutupi segala keburukan wanita itu demi menyenangkan hati abuela dan kedua orang tua.Akhirnya Presdir Torres Inc hilang kendali, ia melepas ikat pinggang, membuka kancing dan resleting celana hitamnya. Kemudian merebahkan Livy di atas meja panjang, ia men
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa