Peluh keluar dari pori pori kulit dua orang berlawanan jenis yang sedang sibuk di atas ranjang. Mereka tidak peduli dengan apa pun saat ini. Mereka membiarkan tubuh mereka bergerak mengikuti naluri, mencapai kepuasan yang mungkin saja tidak akan bisa terulang kembali esok hari.
Tricia berusaha mengimbangi permainan Peter. Ia mengatur napas dengan susah payah. Ia sama sekali tidak berniat untuk menyerah, walau untuk sekali saja dalam permainan mereka ini.
Waktu terus merangkak, menuju dini hari dan hujan belum berhenti. Siapa yang tahu jika malam ini, Tricia akan terjebak bersama Peter di dalam kamar? Tricia sama sekali tidak mengerti, apakah tindakannya saat ini akan ia sesali atau malah ia inginkan kembali.
Panas.
Itulah kesan yang Peter hadirkan di mata semua perempuan. Begitu pula di mata Tricia. Itulah yang membuat Tricia tidak mampu melangkah pergi ketika ia mendapati dirinya hanya berdua saja di dalam sebuah kamar, di rumah Peter.
‘Astaga. Bahkan ini di rumahnya. Entah apa yang terjadi dengan otakku ini. Aku menyerahkan diriku begitu saja,’ batin Tricia sambil menikmati wajah tampan yang berada di atasnya.
Semua gara gara hujan. Tidak, tapi gara gara Sean. Kalau saja malam itu, Tricia tidak mendapati Sean sedang asyik bercinta dengan sekretaris binal itu, tentu dia akan menyetir dengan konsentrasi. Tricia tidak akan menabrak pagar alami yang selalu dirawat Peter setiap hari. Pagar yang terbuat dari tanaman tersusun rapi itu hancur seketika saat mobil Tricia meluncur indah ke arahnya.
Tricia keluar dari mobil dan menyadari bahwa dirinya melakukan kesalahan. Tidak ada setetes alkohol pun membasahi bibir Tricia saat itu, tetapi ia tidak mampu membedakan mana garasi rumahnya dan halaman rumah tetangganya.
Peter keluar rumah dan melihat Tricia berdiri di tengah hujan lebat. Tubuh dan pakaian Tricia yang basah tentu saja membuatnya khawatir. Ia pun mengambil payung dan mengajak Tricia ke rumahnya. Namun, rasa khawatir itu berubah ketika suara petir menggelegar dan membuat Tricia memeluknya dengan erat.
Payung yang berada di tangan, terbang karena pemiliknya sibuk memegang pinggang wanita yang berada di dalam pelukannya.
“Injaklah kedua kakiku.”
Bisikkan itu masih terdengar jelas di telinga Tricia, sesaat sebelum laki laki itu menikmati bibirnya.
Peter dengan mudahnya mengangkat tubuh Tricia tanpa melepaskan pagutan mereka. Tricia melayang dalam arti sesungguhnya. Kedua kakinya yang menginjak kaki Peter mengikuti langkah laki laki itu menuju ke dalam rumah.
Peter membawa mereka ke sebuah kamar yang paling dekat dari pintu. Lalu, di sinilah mereka berada sekarang. Sibuk meraih kepuasan untuk diri mereka sendiri. Tanpa peduli alasan satu sama lain, kenapa mau melakukannya.
Tricia harus mengakui, ia tidak pernah bisa mengalihkan tatapan matanya dari penghuni baru yang mengisi rumah kosong di sebelah rumahnya itu. Laki laki itu terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Walau sikapnya tidak bersahabat kepada siapa pun. Peter selalu menjadi buah bibir wanita wanita, tanpa peduli dengan status dimiliki, baik itu janda, bersuami atau pun gadis.
Tubuh atletis dengan garis wajah simetris itu saat ini sedang menyatu dengan tubuhnya. Bergerak seirama detak jantung Tricia. Namun, Tricia tidak pernah bisa menyangka jika ada gerakan tiba tiba yang akan memberikannya kenikmatan yang tak pernah didapatkan sebelumnya. Tricia sama sekali tidak berkutik dibuatnya.
Tricia mencoba fokus pada setiap sentuhan di titik titik berbahaya yang Peter berikan.
Di sela entakan yang Peter lakukan, Tricia kembali berhasil sampai ke awang awang. Untuk ke sekian kalinya, Tricia kembali gemetar. Ini adalah yang terbesar dan berkali kali selama beberapa menit.
“Kau baik baik saja?” bisik Peter, ia berhenti sejenak. Memberikan waktu kepada Tricia untuk menuntaskan reaksi tubuh dari perbuatannya.
Tricia tak sanggup menjawab. Kepalanya masih menengadah. Peter memeluk wanita itu, menahan agar tidak meluncur ke lantai. Memastikan tak ada udara yang terhalang dalam lenguhan kepuasan yang terdengar merdu di telinganya.
“Y—yah. Aku baik baik saja,” jawab Tricia dengan bersusah payah.
Peter masih terdiam, hanya membiarkan tubuh mereka menempel tanpa melakukan gerakan. Ia tidak ingin melanjutkan jika belum yakin Tricia berhasil menguasai diri.
“Apakah aku masih bisa melanjutkannya?” bisik Peter, bibirnya menempel di telinga Tricia.
Tricia mengatur napasnya kembali. Berkali kali, ia berusaha agar tetap sadar.
“Y—ya. Tentu saja.”
Peter mengusap kening Tricia. Menyingkirkan rambut rambut basah karena keringat yang berada di sana.
“Bersiaplah lagi, Red.”
Tricia memejamkan mata. Ia bisa mendengar dengan jelas panggilan apa yang Peter berikan padanya.
Red. Tricia tidak tahu berapa kali Peter menyebut nama itu. Dalam setiap erangan, nama itu selalu keluar dari mulut Peter. Nama yang tidak pernah Tricia kenal. Namun, sialnya Tricia sama sekali tidak bisa mengajukan rasa keberatan. Ia hanya mampu dibuat pasrah ketika digiring oleh Peter dalam menikmati semua aktivitas mereka malam ini.
“Kau nikmat, Red. Teramat nikmat,” bisik Peter lagi.
Tricia hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Tak ada yang bisa ia lakukan menghadapi sentuhan yang Peter berikan kepadanya.
“Jangan pernah ditahan. Keluarkan saja suaramu itu, Red.”
Sial. Tricia kembali merutuk saat Peter berhasil membuatnya kembali mengeluarkan suara yang tidak ia inginkan.
“Ternyata kau pendiam sekali saat di ranjang, Red. Berbeda jauh dengan keseharianmu dan suara yang kau keluarkan itu membuatmu semakin seksi.”
Game over.
Tricia menyerah. Lagi lagi, Peter berhasil membuatnya kalah. Ia tak sanggup lagi mengimbangi gerakan laki laki itu. Tubuhnya sudah tidak memiliki tenaga untuk sekedar bergetar. Ia hanya membiarkan Peter tersenyum ketika melihatnya terkulai.
“Jangan pingsan. Aku akan menyudahinya sekarang,” bisik Peter.
“Di mana pun. Keluarkan saja. Terserah padamu,” ucap Tricia, kembali memberi keyakinan kepada Peter bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat Peter mengeluarkan hasrat kepada tubuhnya.
Peter mengakhiri serangannya dengan kepuasan yang teramat sangat di dalam tubuh Tricia. Setelah itu, ia merebahkan diri di samping wanita itu. Napas mereka terdengar satu sama lain.
Peter mengambil selimut yang terjatuh di lantai. Ia menutupi tubuh mereka yang polos saat ini.
“Bolehkah aku memelukmu?” tanya Peter.
Tricia menoleh. Setelah apa yang Peter lakukan pada tubuhnya semalaman, sekarang laki laki itu meminta izin hanya untuk sebuah pelukan? Namun, lagi lagi Tricia tidak dapat menjawab. Ia hanya mengangguk lemah.
“Maaf, jika ada tindakanku yang menyakitimu malam ini.”
Tricia tidak menjawab. Ia memilih menyambut pelukan Peter. Membiarkan tubuh mereka saling menyalurkan kembali rasa hangat.
“Jika boleh, aku akan mengantarmu ke kantor,” bisik Peter. “Aku pikir, kau akan merasakan nyeri sepanjang hari.”
Tricia menghela napas. Ia sangat setuju dengan kata kata Peter yang terakhir itu. Namun, ia tidak mau memikirkannya. Bahkan jika bisa, ia tidak mau waktu kembali berjalan. Biar saja waktu berhenti di sini, saat dirinya berada dalam pelukan seorang laki laki dewasa, tetangga sebelah rumahnya.
“Ke mana dia?” tanya Tricia sambil menatap ranjang, bagian yang ditempati Peter telah kosong.Matahari mulai menyapa Tricia dengan sinarnya yang menembus kaca jendela. Ia merapatkan selimut hingga kebagian dada. Matanya menyapu seluruh kamar yang menjadi saksi kegiatannya semalam.“Jam berapa sekarang?” Tricia tersadar. Ia berusaha mencari ponselnya. Tidak ada jam dinding di kamar ini. Tricia terdiam sejenak. Ia ingat jika tas miliknya masih berada di dalam mobil.Desa Baxter yang terletak di Kota Fort Mill, Carolina Selatan kini mulai terang. Jalan jalan masih basah karena guyuran hujan semalam. Para penduduk mulai keluar dari rumah untuk beraktivitas. Mereka berusaha menikmati cuaca musim dingin yang berlangsung selama tiga bulan ini. Berbeda jauh dari musim panas yang lebih panjang.Tricia menoleh ke arah jendela kaca yang tak jauh dari ranjang. Ia bisa mendengar suara obrolan beberapa orang dari sana.“Astaga. Kenapa banyak sekali orang di sana?”Tricia merunduk, ia tidak ingin ke
Nyonya Ann hanya tersenyum mendengar pertanyaan Emily. Ia sama sekali tidak berniat untuk ikut campur dalam urusan Peter kali ini.“Kau membuat Nona Tricia tidak nyaman dengan pertanyaanmu itu, Em,” tegur Nyonya Ann.Gadis kecil itu menoleh ke arah Tricia dengan cepat.“Apakah aku begitu, Nona Tricia?”Napas Tricia seakan terhenti. Ia merasa tatapan Emily menusuk tepat ke dadanya.“Kalau begitu, aku minta maaf, Nona Tricia. Aku tidak bermaksud—”“Oh, tidak, Em. Santai saja. Maksudku—”Tricia benar benar merasa serba salah. Ia tidak biasa berada dalam keadaan seperti ini.“Biarkan dia meminta maaf,” ujar Peter, membuat Tricia menatap ke arahnya.“Kau tidak boleh bertanya hal pribadi yang melewati batas, Green,” tambah Peter. Ia meletakkan sepotong pie ke atas piring Emily.Peter mengambil satu potongan lagi dan langsung memasukkannya ke mulut. Ia terlihat sangat menikmati.“Kau mau memaafkan aku kan, Nona Tricia?” tanya Emily dengan wajah memohon.“Hm, ya. Tentu saja. Itu bukan masalah
‘Red? Apakah wanita ini yang selalu disebut oleh Peter semalam?’Batin Tricia tak berhenti bertanya tanya.Livy menoleh dan menatap tajam ke arah Tricia.“Jadi, kau sudah bisa mengisi hatimu kembali setelah selama ini berpisah denganku?” tanya Livy, ia menatap Tricia dari kepala hingga ujung kaki.“Bukan urusanmu!” sahut Peter.Livy tersenyum sinis kepada Tricia kemudian kembali menatap ke Peter.“Apakah aku harus mengucapkan selamat kepada dirimu?” tanya Livy lagi, tetap dengan nada penuh ejekan.“Aku hanya ingin kau pergi!” tegas Peter. “Karena aku tidak bermain-main dengan ancamanku tadi.”“Baik. Sekarang aku akan pergi, tetapi aku pasti akan kembali lagi ke sini.”Livy menyempatkan diri untuk menatap ke arah Tricia kemudian ia melangkah meninggalkan teras rumah Peter.Tricia menghela napas panjang ketika melihat Livy mengendarai mobil dan meninggalkan rumah Peter. Peter pun melakukan hal yang sama.“Seharusnya kau tidak terlibat dalam urusan ini,” ujar Peter sambil menatap Tricia.
Mata Tricia memicing, menatap penuh kebencian kepada seorang laki laki yang berdiri di depannya.“Kenapa kau mengabaikan pesan dan juga teleponku, Tricia?” tanya Sean dengan wajah yang tak kalah kesal.‘Sial! Seharusnya aku tidak membuka pintu,’ batin Tricia.Tricia mencibir, hendak menutup kembali pintu rumahnya. Namun, Sean segera menahannya.“Jangan diam saja. Jawab aku, Tricia! Apa kau tahu jika sikapmu itu membuatku marah?” bentak Sean, sambil menahan daun pintu dengan tangan kirinya.“Pergilah, Sean,” pinta Tricia dengan tatapan tajam.“Kau pikir, kau itu siapa, Tricia? Seenaknya saja mencampakkan diriku?”Tricia mengatupkan kedua rahangnya dan tetap menahan daun pintu dengan penuh tenaga. Ia tidak mau Sean masuk ke rumahnya.“Aku mencampakkanmu, Sean? Apa kau mabuk?” tanya Tricia, ia menambah tenaga untuk mendorong pintunya.“Hentikan sikapmu yang kekanak-kanakan ini, Tricia. Jika ada masalah, seharusnya kau bicarakan dengan langsung, bukan menghindar terus seperti ini.”“Aku b
Peter menunduk, menatap Tricia. Ia dapat merasakan tubuh wanita itu sedang gemetar.“Aku baik baik saja, Peter. Terima kasih,” jawab Tricia. Ia menyambut kehangatan pelukan Peter yang mampu memberinya rasa tenang.Peter mengusap kepala Tricia dan membiarkan posisi mereka seperti itu selama beberapa saat.“Duduklah, Tricia. Aku akan mengambilkan air minum untukmu,” ujar Peter.Tricia mengangguk, ia merapikan baju yang sempat berantakan dengan kedua tangannya.Peter terlihat amarah. Ia benar benar tidak terima melihat Tricia diperlakukan seperti itu. Namun, Peter sadar jika saat ini hal penting yang harus dilakukan adalah, ia harus menenangkan keadaan Tricia.Peter segera melangkah ke dapur dan mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar.“Minumlah, Tricia,” ujar Peter. Ia duduk di samping Tricia.Tricia menurut, ia menghabiskan segelas air putih pemberian Peter.“Sekali lagi terima kasih, Peter. Jika kau tidak datang—”Tricia tidak meneruskan kata katanya. Ia benar benar merasa m
“Sial! Munafik! Apa apaan Tricia itu? Berlagak sok suci tapi dia pun bermain api. Wanita penipu!” omel Sean sambil memukul kemudi.Sean tidak dapat menahan emosinya. Namun, ia juga tidak berani kembali mendatangi rumah Tricia. Tubuh dan wajahnya saat ini masih terasa panas dan nyeri karena pukulan Peter tadi.Saat ia berlari dari perkelahian dengan Peter tadi, ia menghela napas lega karena Peter tidak mengejarnya. Sean berdiam diri di dalam mobil, menatap dan mengawasi rumah Tricia.Ia terus mengawasi dengan penuh rasa curiga, siapa sebenarnya Peter. Lalu, ia semakin marah saat melihat mereka berciuman di balik jendela kamar Tricia.“Kau pikir, kau akan lolos begitu saja dariku, Tricia? Jangan bermimpi. Kita lihat saja apa yang bisa dilakukan oleh warga yang baru pindah itu saat aku menggunakan kekuasaan keluargaku padanya.”Sean menyalakan mesin mobilnya lalu melaju menuju kantornya.Sebuah kantor pemerintahan daerah yang sudah sejak lama menjadi rumah kedua bagi Sean. Sudah turun te
“Nona Mandy,” panggil Roger untuk ke sekian kalinya.Mandy mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap ke arah Roger.“Astaga. Maafkan saya, Tuan Roger,” ujar Mandy sambil tersipu.“Sepertinya Anda benar benar terpesona dengan laki laki tadi, Nona.”Ucapan Roger disambut tawa mereka berdua.“Siapa laki laki itu, Tuan?”“Roger. Panggil saja Roger.”“Kalau begitu, kita akan lebih santai dalam pertemuan ini?” tanya Mandy. Roger pun mengangguk. “Jadi, berhentilah memanggil saya dengan sebutan Nona,” lanjut Mandy.“Baiklah, Mandy. Kalau begitu, apakah kali ini kau datang sendirian lagi?”Mandy mengerutkan bibir kemudian mengangguk, sedangkan Roger hanya bisa mengangkat kedua bahunya.“Kalau begitu, kau mau menemaniku menikmati hidangan dan minuman di restoran ini?”“Tentu saja, Roger. Memang untuk itulah aku mengajakmu ke sini.”Mandy mengajak Roger ke dalam restoran. Ia telah memesan tempat untuk mereka sebelumnya.“Jadi, siapa laki laki tadi?” tanya Mandy saat ia duduk berhadapan dengan
Peter telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia merapikan semua peralatan yang biasa dibawa pulang ke dalam mobil. Ia sama sekali tidak peduli saat mendapati Mandy yang mengekori dirinya dengan tatapan mata.“Laki laki itu semakin membuatku penasaran,” ujar Mandy saat melihat mobil Peter meninggalkan halaman restoran itu.Peter terus membawa mobilnya menuju rumah. Ia menoleh sesaat ke arah rumah Tricia ketika selesai memasukkan mobil ke dalam carport rumahnya.“Apa yang sedang Tricia lakukan saat ini?” tanya Peter, ia berdiri sebentar di depan pintu mobilnya.“Sial. Kenapa aku merindukannya? Apa aku ke rumahnya sekarang atau meneleponnya?”Peter memukul pelan badan mobilnya kemudian melangkah, hendak menuju ke rumah Tricia.“Daad ...”Langkah Peter terhenti saat melihat malaikat kecilnya muncul dari balik pintu dan berlari ke arahnya.“Green,” panggil Peter kemudian membungkuk dan merentangkan kedua tangan menyambut pelukan Emily.“Dad, aku mendapatkan bintang banyak sekali di sekola