‘Red? Apakah wanita ini yang selalu disebut oleh Peter semalam?’
Batin Tricia tak berhenti bertanya tanya.
Livy menoleh dan menatap tajam ke arah Tricia.
“Jadi, kau sudah bisa mengisi hatimu kembali setelah selama ini berpisah denganku?” tanya Livy, ia menatap Tricia dari kepala hingga ujung kaki.
“Bukan urusanmu!” sahut Peter.
Livy tersenyum sinis kepada Tricia kemudian kembali menatap ke Peter.
“Apakah aku harus mengucapkan selamat kepada dirimu?” tanya Livy lagi, tetap dengan nada penuh ejekan.
“Aku hanya ingin kau pergi!” tegas Peter. “Karena aku tidak bermain-main dengan ancamanku tadi.”
“Baik. Sekarang aku akan pergi, tetapi aku pasti akan kembali lagi ke sini.”
Livy menyempatkan diri untuk menatap ke arah Tricia kemudian ia melangkah meninggalkan teras rumah Peter.
Tricia menghela napas panjang ketika melihat Livy mengendarai mobil dan meninggalkan rumah Peter. Peter pun melakukan hal yang sama.
“Seharusnya kau tidak terlibat dalam urusan ini,” ujar Peter sambil menatap Tricia.
“Ah—ya,” sahut Tricia dengan kikuk. “Sepertinya aku berada di saat yang tidak tepat. Jika harus dirahasiakan, aku tidak keberatan,” lanjut Tricia.
Peter tidak mengalihkan tatapan matanya dari Tricia, membuat tubuh gadis itu meremang.
“Aku sama sekali tidak berniat untuk merahasiakannya, karena tidak akan memberikan pengaruh apa-apa terhadapku. Berbeda dengan dirinya.”
Tricia mengangguk beberapa kali.
“Ya. Sepertinya begitu,” jawab Tricia masih penuh rasa canggung.
“Ini kunci mobilmu. Setidaknya kau tidak perlu membawanya ke bengkel. Cat bagian depan pun masih cukup bagus,” ujar Peter sambil menyerahkan kunci mobil kepada Tricia.
“Maaf karena aku tidak izin terlebih dahulu dan mengambil kunci mobilnya begitu saja,” lanjut laki-laki itu.
Tricia menerima kunci mobil, tanpa bisa menghindari tatapan mata Peter dan juga sentuhan tipis di kedua telapak tangan mereka. Ia yakin jika wajahnya saat ini pasti memerah kembali. Suasana ini, jelas membuatnya teringat kepada kejadian malam tadi.
“Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu. Kau mengurus semuanya dengan baik,” jawab Tricia kemudian ia melipat kedua bibirnya. Ia teringat saat bangun tidur semua yang berada di kamar telah berada dalam kondisi rapi.
Peter tersenyum tipis saat melihat reaksi Tricia yang malu-malu. Di matanya sikap Tricia saat ini benar-benar menggemaskan.
“Apa kau mau, aku mengatakan mobilnya ke garasi rumahmu?” tanya Peter.
“Tidak. Astaga. Aku tidak ingin merepotkanmu lagi,” elak Tricia dengan cepat lagipula ia tidak mau jika tindakan Peter akan memancing keingintahuan tetangga lagi.
“Baiklah,” jawab Peter sambil mengangguk.
“Kalau begitu aku pulang sekarang,” ujar Tricia berpamitan.
Peter hanya mengiyakan tanpa mengantar, ia tetap berdiri di teras rumahnya sambil memperhatikan Tricia yang mulai masuk ke mobil. Peter tetap di sana dan menatap sampai Tricia masuk ke dalam rumah gadis itu sendiri.
Tricia memilih tetap berada di dalam mobil ketika di garasi. Ia menjatuhkan wajah ke atas kemudi.
“Apa apaan ini? Aku telah tidur dengan mantan pasangan seorang penyanyi terkenal. Lalu, apa yang ada di otakku sekarang? Memintanya melupakan sosok wanita itu dari otaknya? Astaga. Mana mungkin itu akan terjadi. Aku, yang perempuan saja tidak bisa luput dari pesona wanita itu. Bagaimana dengan dirinya? Sadarlah, Tricia. Terima kenyataan jika memang kau hanya teman tidur satu malamnya.”
Tricia mengangkat wajah kemudian meniup rambut yang menempel di bibir kemudian menghela napas panjang.
“Ya. Aku harus puas hanya dengan itu semua. Walau sebenarnya, aku akui dia cukup hebat—tidak. Dia sangat hebat. Astaga, Tricia. Sadarlah ....”
Tricia mengusap wajahnya beberapa kali.
“Sial. Bukankah satu hal yang manusiawi jika aku menginginkannya kembali?”
Tricia mengacak acak rambutnya. Ia tidak percaya jika sekarang dirinya merasa frustrasi dengan Peter dibanding dengan Sean.
“Masa bodo dengan Sean. Dia hanya sampah yang tidak layak aku tangisi.”
Tricia mengambil tas kemudian turun dari mobil.
Tricia tinggal di rumah ini sendirian. Kedua orang tuanya tinggal di San Francisco. Ia memutuskan hidup mandiri sehingga tidak ikut saat orang tuanya mengajaknya pindah meninggalkan desa ini.
Tricia masuk ke rumah dan melemparkan tasnya ke atas sofa. Ia menuju dapur untuk mengambil segelas air. Tricia harus menenangkan otaknya dari pikiran yamg semrawut.
Suara nada dering terdengar dari ponsel Tricia yang berada di dalam tas. Ia melangkah menuju sofa dan mengambil ponsel itu.
Tricia menghela napas saat menatap layar ponselnya. Puluhan panggilan tak terjawab dan juga pesan masuk berasal dari Sean.
“Menyebalkan. Untuk apa dia menghubungiku?”
Tricia duduk bersandar di sofa. Ia menatap langit langit ruang tamu. Ia memilih mengabaikan semua kontak yang dilakukan Sean kepadanya.
Ponselnya kembali berdering, Tricia melihat nama mamanya tertera di layar.
[Ya, Mom,] ujar Tricia, menjawab panggilan telepon dari mamanya.
[Apa yang terjadi dengan kalian?] tanya Nathalie tanpa berbasa basi. Tricia sangat paham dengan arah pembicaraan ini, mamanya pasti bertanya tentang Sean.
[Dia mengadu apa lagi kepadamu, Mom?] tanya Tricia sambil tertawa sinis.
[Ayolah, Tricia. Kalian bukan anak kecil.]
[Jadi, aku harus terima begitu saja perselingkuhan laki laki yang kalian pilihkan untukku, Mom?]
[Bukankah semua bisa dibicarakan?]
[Setelah aku melihat Sean bercinta di meja kantor dengan sekretarisnya? Aku rasa tidak ada lagi yang perlu aku bicarakan dengannya, Mom.]
[Tricia!]
[Mom, aku mohon. Aku sama sekali tidak berminat membahas masalah ini sekarang. Apa lagi jika aku harus membahas utang budi keluarga kita kepada keluarganya yang selalu Sean agung agungkan itu. Lebih baik urungkan saja niatmu itu, Mom. Karena aku sudah benar benar muak mendengarnya!]
Tricia memutus percakapan mereka secara sepihak. Ia meletakkan ponselnya kembali di atas sofa.
“Persetan dengan utang budi keluarga. Aku tidak mungkin menceburkan diriku ke dalam selokan seumur hidup,” ujar Tricia sambil kembali memijat keningnya beberapa kali.
Tricia beranjak dari sofa, ia memilih untuk mandi dengan air hangat. Ia harus memulihkan tenaga dari aktivitas yang sangat melelahkan sejak semalam.
Tricia masuk ke bak mandi berisi air hangat. Ia memejamkan mata dan menikmati aroma sabun mandi serta lilin aroma terapi yang ia pasang. Ia benar benar ingin memanjakan diri saat ini.
Tricia mengambil kimono handuk dan mengeringkan tubuh, kemudian memakai baju yang biasa ia gunakan sehari hari. Ia tidak berniat berangkat ke kantor hari ini.
Tricia terdiam sejenak ketika mendengar suara bel rumahnya berdenting.
“Siapa yang pagi pagi datang berkunjung tanpa membuat janji terlebih dahulu?”
Tricia berjalan menuju pintu depan. Ia melihat dari jendela tetapi tetap tidak dapat menangkap siapa tamu yang datang kali ini.
Tricia memutuskan untuk membuka pintu.
“Kau? Apa yang kau lakukan di rumahku? Pergi!”
Mata Tricia memicing, menatap penuh kebencian kepada seorang laki laki yang berdiri di depannya.“Kenapa kau mengabaikan pesan dan juga teleponku, Tricia?” tanya Sean dengan wajah yang tak kalah kesal.‘Sial! Seharusnya aku tidak membuka pintu,’ batin Tricia.Tricia mencibir, hendak menutup kembali pintu rumahnya. Namun, Sean segera menahannya.“Jangan diam saja. Jawab aku, Tricia! Apa kau tahu jika sikapmu itu membuatku marah?” bentak Sean, sambil menahan daun pintu dengan tangan kirinya.“Pergilah, Sean,” pinta Tricia dengan tatapan tajam.“Kau pikir, kau itu siapa, Tricia? Seenaknya saja mencampakkan diriku?”Tricia mengatupkan kedua rahangnya dan tetap menahan daun pintu dengan penuh tenaga. Ia tidak mau Sean masuk ke rumahnya.“Aku mencampakkanmu, Sean? Apa kau mabuk?” tanya Tricia, ia menambah tenaga untuk mendorong pintunya.“Hentikan sikapmu yang kekanak-kanakan ini, Tricia. Jika ada masalah, seharusnya kau bicarakan dengan langsung, bukan menghindar terus seperti ini.”“Aku b
Peter menunduk, menatap Tricia. Ia dapat merasakan tubuh wanita itu sedang gemetar.“Aku baik baik saja, Peter. Terima kasih,” jawab Tricia. Ia menyambut kehangatan pelukan Peter yang mampu memberinya rasa tenang.Peter mengusap kepala Tricia dan membiarkan posisi mereka seperti itu selama beberapa saat.“Duduklah, Tricia. Aku akan mengambilkan air minum untukmu,” ujar Peter.Tricia mengangguk, ia merapikan baju yang sempat berantakan dengan kedua tangannya.Peter terlihat amarah. Ia benar benar tidak terima melihat Tricia diperlakukan seperti itu. Namun, Peter sadar jika saat ini hal penting yang harus dilakukan adalah, ia harus menenangkan keadaan Tricia.Peter segera melangkah ke dapur dan mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar.“Minumlah, Tricia,” ujar Peter. Ia duduk di samping Tricia.Tricia menurut, ia menghabiskan segelas air putih pemberian Peter.“Sekali lagi terima kasih, Peter. Jika kau tidak datang—”Tricia tidak meneruskan kata katanya. Ia benar benar merasa m
“Sial! Munafik! Apa apaan Tricia itu? Berlagak sok suci tapi dia pun bermain api. Wanita penipu!” omel Sean sambil memukul kemudi.Sean tidak dapat menahan emosinya. Namun, ia juga tidak berani kembali mendatangi rumah Tricia. Tubuh dan wajahnya saat ini masih terasa panas dan nyeri karena pukulan Peter tadi.Saat ia berlari dari perkelahian dengan Peter tadi, ia menghela napas lega karena Peter tidak mengejarnya. Sean berdiam diri di dalam mobil, menatap dan mengawasi rumah Tricia.Ia terus mengawasi dengan penuh rasa curiga, siapa sebenarnya Peter. Lalu, ia semakin marah saat melihat mereka berciuman di balik jendela kamar Tricia.“Kau pikir, kau akan lolos begitu saja dariku, Tricia? Jangan bermimpi. Kita lihat saja apa yang bisa dilakukan oleh warga yang baru pindah itu saat aku menggunakan kekuasaan keluargaku padanya.”Sean menyalakan mesin mobilnya lalu melaju menuju kantornya.Sebuah kantor pemerintahan daerah yang sudah sejak lama menjadi rumah kedua bagi Sean. Sudah turun te
“Nona Mandy,” panggil Roger untuk ke sekian kalinya.Mandy mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap ke arah Roger.“Astaga. Maafkan saya, Tuan Roger,” ujar Mandy sambil tersipu.“Sepertinya Anda benar benar terpesona dengan laki laki tadi, Nona.”Ucapan Roger disambut tawa mereka berdua.“Siapa laki laki itu, Tuan?”“Roger. Panggil saja Roger.”“Kalau begitu, kita akan lebih santai dalam pertemuan ini?” tanya Mandy. Roger pun mengangguk. “Jadi, berhentilah memanggil saya dengan sebutan Nona,” lanjut Mandy.“Baiklah, Mandy. Kalau begitu, apakah kali ini kau datang sendirian lagi?”Mandy mengerutkan bibir kemudian mengangguk, sedangkan Roger hanya bisa mengangkat kedua bahunya.“Kalau begitu, kau mau menemaniku menikmati hidangan dan minuman di restoran ini?”“Tentu saja, Roger. Memang untuk itulah aku mengajakmu ke sini.”Mandy mengajak Roger ke dalam restoran. Ia telah memesan tempat untuk mereka sebelumnya.“Jadi, siapa laki laki tadi?” tanya Mandy saat ia duduk berhadapan dengan
Peter telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia merapikan semua peralatan yang biasa dibawa pulang ke dalam mobil. Ia sama sekali tidak peduli saat mendapati Mandy yang mengekori dirinya dengan tatapan mata.“Laki laki itu semakin membuatku penasaran,” ujar Mandy saat melihat mobil Peter meninggalkan halaman restoran itu.Peter terus membawa mobilnya menuju rumah. Ia menoleh sesaat ke arah rumah Tricia ketika selesai memasukkan mobil ke dalam carport rumahnya.“Apa yang sedang Tricia lakukan saat ini?” tanya Peter, ia berdiri sebentar di depan pintu mobilnya.“Sial. Kenapa aku merindukannya? Apa aku ke rumahnya sekarang atau meneleponnya?”Peter memukul pelan badan mobilnya kemudian melangkah, hendak menuju ke rumah Tricia.“Daad ...”Langkah Peter terhenti saat melihat malaikat kecilnya muncul dari balik pintu dan berlari ke arahnya.“Green,” panggil Peter kemudian membungkuk dan merentangkan kedua tangan menyambut pelukan Emily.“Dad, aku mendapatkan bintang banyak sekali di sekola
“Sial!”Sean memaki sambil melempar ponselnya ke atas meja. Ia kesal karena Tricia masih saja menolak panggilan telepon darinya, bahkan tidak ada satu pesan pun yang dibaca oleh wanita itu.“Dia benar benar membuatku gila,” omel Sean lagi.Mandy membuka pintu ruangan Sean. Ia membawa segelas kopi pagi hari ini.“Masih terlalu pagi untuk marah marah, Sean,” ujar Mandy sambil meletakkan kopi di meja atasannya itu.“Tricia. Wanita itu benar benar menyebalkan.”“Beri waktu saja kepadanya. Mungkin saat ini dia masih marah kepadamu.”“Ini semua karena dirimu!” bentak Sean.“Astaga, Sean. Dewasalah. Kau yang merengek kepadaku dengan alasan dingin karena hujan. Kau benar benar tidak tahu diri, Sean,” balas Mandy, kini ia tak peduli jika Sean adalah atasannya.“Seharusnya kau tahu jika Tricia datang.”“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui kekasihmu itu datang sementara kau sibuk di atas tubuhku? Kau pikir aku ini keturunan shaman?”Sean mencibir mendengar jawaban Mandy.“Sikapmu malah membuat
“Kau sudah gila, Livy?!” teriak Ron sambil membanting daun pintu ruangan Livy.Wajah laki laki berbadan tinggi kurus dan berkulit pucat itu kini berwarna merah. Ia merasa kepala mau pecah karena baru saja menerima telepon berisi komplain dari berbagai pihak yang menjalin kerja sama dengan Livy.“Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu beberapa hari belakangan ini. Sikapmu aneh. Aku coba memaklumi jika kau merasa lelah karena jadwal yang padat, tetapi kau tidak bisa melakukan hal ini, Livy. Konser tunggalmu sudah di depan mata dan dengan seenaknya kau mau batalkan begitu saja? Sinting!”Livy terdiam. Ia sama sekali tidak menoleh ketika Ron masuk ke ruangannya sambil marah marah. Livy tetap berdiri di samping jendela, menatap entah ke mana.“Livy!” panggil Ron dengan suara sangat keras. Ia berdiri di tengah ruangan sambil menatap penuh emosi ke arah Livy.“Apa lagi sekarang, Liv? Setelah konser tunggal ini, kau akan tour musik dunia. Itu pun akan kau batalkan?”Ron meremas rambut d
Tricia baru saja keluar dari sebuah kantor yang menangani beberapa toko di daerah tempat tinggalnya. Setelah beberapa hari, ia memutuskan keluar rumah dan mencari pekerjaan baru.Selama berada di rumah, ia tidak berkomunikasi dengan Peter. Tricia merasa memerlukan waktu untuk mengayunkan langkah baru setelah kejadian yang ia lakukan. Ia menahan diri saat melihat sosok Peter dari dalam rumahnya.“Selalu ada sebab dan akibat dari semua keputusan yang dibuat. Aku pasti kuat dan mampu melewati semuanya saat ini,” ujar Tricia sambil menggenggam erat tas bawaannya.Beberapa langkah kemudian, ponsel Tricia berdering. Ia mengambil ponsel itu dari dalam tas kemudian menjawab panggilannya.“Mama,” ujarnya sebelum menekan tombol jawab.[Ya, Mom,] sapa Tricia.[Bagaimana kabarmu, Tricia?][Aku baik-baik saja, Mom.]Di dalam hati Tricia tidak berhenti berdoa berharap agar percakapan dirinya dan ibunya saat ini tidak berubah menjadi sebuah pertengkaran.[Apa kau masih memiliki uang untuk membiayai