“Sial! Munafik! Apa apaan Tricia itu? Berlagak sok suci tapi dia pun bermain api. Wanita penipu!” omel Sean sambil memukul kemudi.
Sean tidak dapat menahan emosinya. Namun, ia juga tidak berani kembali mendatangi rumah Tricia. Tubuh dan wajahnya saat ini masih terasa panas dan nyeri karena pukulan Peter tadi.
Saat ia berlari dari perkelahian dengan Peter tadi, ia menghela napas lega karena Peter tidak mengejarnya. Sean berdiam diri di dalam mobil, menatap dan mengawasi rumah Tricia.
Ia terus mengawasi dengan penuh rasa curiga, siapa sebenarnya Peter. Lalu, ia semakin marah saat melihat mereka berciuman di balik jendela kamar Tricia.
“Kau pikir, kau akan lolos begitu saja dariku, Tricia? Jangan bermimpi. Kita lihat saja apa yang bisa dilakukan oleh warga yang baru pindah itu saat aku menggunakan kekuasaan keluargaku padanya.”
Sean menyalakan mesin mobilnya lalu melaju menuju kantornya.
Sebuah kantor pemerintahan daerah yang sudah sejak lama menjadi rumah kedua bagi Sean. Sudah turun temurun, keluarga Sean menjadi Kepala Daerah. Sean pun digadang-gadang akan menjadi penerus jabatan ayahnya satu hari nanti. Terdengar sangat tidak adil, tetapi siapa yang peduli? Pada kenyataannya, itulah yang terjadi.
Sean melangkah ke ruangannya dengan wajah terlipat, bahkan ia sama sekali tidak membalas senyum dan sapaan dari Mandy, sekretaris yang selalu siap melayaninya dalam urusan apa pun, termasuk birahi.
‘Ada apa dengan Sean? Sudah lewat jam makan siang, dia baru tiba. Ditambah lagi mood-nya saat ini terlihat sangat buruk,’ tanya Mandy dalam hati saat ia membawakan secangkir kopi untuk atasannya itu.
Sean tidak menjawab, ia hanya duduk di belakang meja kerja sambil menatap dinding yang ada di depannya.
“Apa ini tentang Tricia? Dia tidak masuk kerja lagi hari ini. Apa ada yang bisa aku lakukan untuk masalah ini?” tanya Mandy sambil mengusap bahu Sean.
Sean menghela napas kasar kemudian meminum kopinya.
“Kau tahu tentang warga baru di samping rumah Tricia?” tanya Sean.
Mandy mengernyitkan kening, berpikir.
“Aku pernah mendengarnya, tapi belum pernah bertemu secara langsung. Kenapa?” tanya Mandy.
“Selidiki orang itu. Aku ingin tahu semua tentangnya. Sekarang juga!” tegas Sean membuat Mandy terkejut. Ia tidak pernah melihat Sean semarah ini.
“Baik. Akan aku cari tahu segera.”
Mandy kembali ke mejanya kemudian membuka catatan nomor telepon bagian kependudukan. Setelah itu, ia segera menghubungi dan menyampaikan apa yang dibutuhkan.
Mandy sesekali melirik ke arah Sean. Dalam hati, ia bertanya tanya apa yang telah terjadi pada laki laki yang ada di hadapannya itu karena sampai detik ini, raut wajah Sean belum juga berubah.
Mandy beralih ke layar laptop di atas mejanya, sebuah berkas diterima. Ia membuka berkas itu dan membacanya.
“Aku sudah mendapatkan data yang kita miliki tentang orang itu. Peter Tompkins.”
“Kirimkan kepadaku!”
Mandy segera mengirim berkas itu ke email Sean.
Sean menatap layar laptopnya dan membaca berkas kependudukan Peter dengan seksama.
“Kenapa tidak ada data tentang asal usul orang ini?” tanya Sean.
“Entahlah. Di sini hanya tertera nama anaknya saja,” jawab Mandy.
Kening Sean mengernyit.
“Apa ada yang disembunyikan oleh laki laki ini?” tanya Sean sambil mengetukkan jari jarinya ke meja.
Mandy mengangkat kedua bahunya.
“Aku tidak mengerti, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kau begitu khawati dengan keberadaannya? Menurutku, dia bukanlah seseorang yang layak untuk kau khawatirkan.”
Sean menatap tajam ke arah Mandy.
“Kau sudah pernah bertemu dengannya?”
“Belum.”
Sean menyandarkan punggung kesadaran bangku kerjanya. Ia ikut memikirkan apa yang baru saja Mandy katakan kepadanya.
“Ya, apa yang harus aku khawatirkan tentang orang itu lalu apa juga yang membuat Tricia tertarik kepadanya?”
“Apa Tricia yang membuatmu kacau seperti ini, Sean?”
Sean tidak menjawab, ia hanya menetap ke arah Mandy.
“Apa Tricia memiliki hubungan dengan laki laki ini?”
Mandy menatap foto Peter yang berada di layar laptop.
“Laki-laki ini hanyalah seorang pekerja lepas konstruksi bangunan. Ia hanya menerima pekerjaan dari tetangga-tetangga sekitar, di daerah ini,” ujar Mandy sambil menggerakkan tetikus di atas mejanya.
“Hilangkan rasa khawatirmu itu, Sean. Kalian tidak selevel.”
Sean mengangkat tubuhnya dengan enggan dari kursi kerjanya kemudian ia melangkah keluar ruangan.
“Mau ke mana, Sean?”
“Pulang!”
“Tapi kau ada pertemuan dengan sebuah perusahaan properti yang akan menanamkan modal di daerah ini.”
“Batalkan saja atau atur pertemuan di hari berikutnya. Hari ini aku benar-benar tidak berselera untuk bekerja.”
Mandy tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban dari atasannya itu. Semua orang di daerah ini tahu sikap Sean itu diwariskan dari keluarga besarnya.
“Tapi—” ucapan Mandy menguap begitu saja karena Sean sama sekali tidak berminat untuk mendengarkannya.
“Ini adalah perjanjian yang ketiga kali dengan pengusaha itu tidak mungkin aku membatalkannya lagi.”
Mandy membiarkan Sean pergi meninggalkan kantor kemudian ia pun segera bersiap untuk datang menemui utusan pengusaha itu.
Mandy mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuan yang telah direncanakan. Kali ini ia sengaja membuat janji di sebuah restoran sebagai permintaan maaf karena pertemuan mereka sudah beberapa kali gagal.
“Perusahaan properti ini pasti sangat menganggap daerah ini penting sehingga mereka masih mau bertahan dan meminta bertemu. Sean, bodoh. Apa dia tidak ingat jika keluarganya sedang membutuhkan dana kampanye untuk pemilihan berikutnya?” ujar Mandy sambil menyetir mobil.
Mandy masuk ke parkiran restoran yang sedang ia tuju. Ia segera turun dari mobil tetapi ia membatalkan langkahnya. Ia melihat dua orang laki-laki sedang berbincang di depan restoran itu.
Ia mengenali seorang laki-laki tua yang sudah menghubungi dirinya berkali-kali untuk membuat pertemuan ini. Dia adalah salah seorang utusan dari perusahaan properti yang akan ditemui. Namun ia harus berpikir beberapa saat ketika melihat laki-laki muda yang sedang berbincang dengan utusan perusahaan properti itu.
‘Siapa laki-laki satunya lagi? Jika dia dari perusahaan properti tidak mungkin penampilannya seperti itu,’ tanya Mandy dalam hati.
‘Sepertinya aku mengenalnya tetapi di mana ya?’ lanjut Mandy.
Mandy memutuskan untuk menghampiri kedua laki-laki itu. Ia menyapa laki-laki tua yang bernama Roger kemudian menatap laki-laki lainnya.
‘Astaga. Laki laki ini—” batin Mandy, ucapannya terputus karena terpana dengan sosok laki-laki yang berada di sebelah Roger.
“Nona Mandy, akhirnya kau datang juga,” sapa Roger tetapi tidak mendapatkan tanggapan dari Mandy.
“Oh ya, ini Peter. Dia adalah—”
“Saya pergi dulu, saya masih harus mengerjakan cerobong asap di bagian dapur,” sela Peter, ia rasa sangat tidak nyaman dengan tatapan mata Mandy kepadanya.
‘Jadi ini laki-laki yang telah memikat hati Tricia? Astaga, laki-laki ini benar-benar hot.’
“Nona Mandy,” panggil Roger untuk ke sekian kalinya.Mandy mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap ke arah Roger.“Astaga. Maafkan saya, Tuan Roger,” ujar Mandy sambil tersipu.“Sepertinya Anda benar benar terpesona dengan laki laki tadi, Nona.”Ucapan Roger disambut tawa mereka berdua.“Siapa laki laki itu, Tuan?”“Roger. Panggil saja Roger.”“Kalau begitu, kita akan lebih santai dalam pertemuan ini?” tanya Mandy. Roger pun mengangguk. “Jadi, berhentilah memanggil saya dengan sebutan Nona,” lanjut Mandy.“Baiklah, Mandy. Kalau begitu, apakah kali ini kau datang sendirian lagi?”Mandy mengerutkan bibir kemudian mengangguk, sedangkan Roger hanya bisa mengangkat kedua bahunya.“Kalau begitu, kau mau menemaniku menikmati hidangan dan minuman di restoran ini?”“Tentu saja, Roger. Memang untuk itulah aku mengajakmu ke sini.”Mandy mengajak Roger ke dalam restoran. Ia telah memesan tempat untuk mereka sebelumnya.“Jadi, siapa laki laki tadi?” tanya Mandy saat ia duduk berhadapan dengan
Peter telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia merapikan semua peralatan yang biasa dibawa pulang ke dalam mobil. Ia sama sekali tidak peduli saat mendapati Mandy yang mengekori dirinya dengan tatapan mata.“Laki laki itu semakin membuatku penasaran,” ujar Mandy saat melihat mobil Peter meninggalkan halaman restoran itu.Peter terus membawa mobilnya menuju rumah. Ia menoleh sesaat ke arah rumah Tricia ketika selesai memasukkan mobil ke dalam carport rumahnya.“Apa yang sedang Tricia lakukan saat ini?” tanya Peter, ia berdiri sebentar di depan pintu mobilnya.“Sial. Kenapa aku merindukannya? Apa aku ke rumahnya sekarang atau meneleponnya?”Peter memukul pelan badan mobilnya kemudian melangkah, hendak menuju ke rumah Tricia.“Daad ...”Langkah Peter terhenti saat melihat malaikat kecilnya muncul dari balik pintu dan berlari ke arahnya.“Green,” panggil Peter kemudian membungkuk dan merentangkan kedua tangan menyambut pelukan Emily.“Dad, aku mendapatkan bintang banyak sekali di sekola
“Sial!”Sean memaki sambil melempar ponselnya ke atas meja. Ia kesal karena Tricia masih saja menolak panggilan telepon darinya, bahkan tidak ada satu pesan pun yang dibaca oleh wanita itu.“Dia benar benar membuatku gila,” omel Sean lagi.Mandy membuka pintu ruangan Sean. Ia membawa segelas kopi pagi hari ini.“Masih terlalu pagi untuk marah marah, Sean,” ujar Mandy sambil meletakkan kopi di meja atasannya itu.“Tricia. Wanita itu benar benar menyebalkan.”“Beri waktu saja kepadanya. Mungkin saat ini dia masih marah kepadamu.”“Ini semua karena dirimu!” bentak Sean.“Astaga, Sean. Dewasalah. Kau yang merengek kepadaku dengan alasan dingin karena hujan. Kau benar benar tidak tahu diri, Sean,” balas Mandy, kini ia tak peduli jika Sean adalah atasannya.“Seharusnya kau tahu jika Tricia datang.”“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui kekasihmu itu datang sementara kau sibuk di atas tubuhku? Kau pikir aku ini keturunan shaman?”Sean mencibir mendengar jawaban Mandy.“Sikapmu malah membuat
“Kau sudah gila, Livy?!” teriak Ron sambil membanting daun pintu ruangan Livy.Wajah laki laki berbadan tinggi kurus dan berkulit pucat itu kini berwarna merah. Ia merasa kepala mau pecah karena baru saja menerima telepon berisi komplain dari berbagai pihak yang menjalin kerja sama dengan Livy.“Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu beberapa hari belakangan ini. Sikapmu aneh. Aku coba memaklumi jika kau merasa lelah karena jadwal yang padat, tetapi kau tidak bisa melakukan hal ini, Livy. Konser tunggalmu sudah di depan mata dan dengan seenaknya kau mau batalkan begitu saja? Sinting!”Livy terdiam. Ia sama sekali tidak menoleh ketika Ron masuk ke ruangannya sambil marah marah. Livy tetap berdiri di samping jendela, menatap entah ke mana.“Livy!” panggil Ron dengan suara sangat keras. Ia berdiri di tengah ruangan sambil menatap penuh emosi ke arah Livy.“Apa lagi sekarang, Liv? Setelah konser tunggal ini, kau akan tour musik dunia. Itu pun akan kau batalkan?”Ron meremas rambut d
Tricia baru saja keluar dari sebuah kantor yang menangani beberapa toko di daerah tempat tinggalnya. Setelah beberapa hari, ia memutuskan keluar rumah dan mencari pekerjaan baru.Selama berada di rumah, ia tidak berkomunikasi dengan Peter. Tricia merasa memerlukan waktu untuk mengayunkan langkah baru setelah kejadian yang ia lakukan. Ia menahan diri saat melihat sosok Peter dari dalam rumahnya.“Selalu ada sebab dan akibat dari semua keputusan yang dibuat. Aku pasti kuat dan mampu melewati semuanya saat ini,” ujar Tricia sambil menggenggam erat tas bawaannya.Beberapa langkah kemudian, ponsel Tricia berdering. Ia mengambil ponsel itu dari dalam tas kemudian menjawab panggilannya.“Mama,” ujarnya sebelum menekan tombol jawab.[Ya, Mom,] sapa Tricia.[Bagaimana kabarmu, Tricia?][Aku baik-baik saja, Mom.]Di dalam hati Tricia tidak berhenti berdoa berharap agar percakapan dirinya dan ibunya saat ini tidak berubah menjadi sebuah pertengkaran.[Apa kau masih memiliki uang untuk membiayai
Peter menahan diri saat sadar bahwa Tricia menghindari dirinya beberapa waktu belakangan. Ia pun tidak dapat menghalangi keputusan yang diambil wanita itu. Walau dalam hati, ia berani bersumpah jika dirinya berhak mendapat pendapat penjelasan.Peter sama sekali tidak menyangka jika siang ini Tricia muncul di hadapannya. Sejak pagi, tidak ada yang ia lakukan setelah mengantar Emily dan Miss Ann ke sekolah. Ia memutuskan membuat sebuah rumah kecil untuk seekor pudel yang diinginkan Emily.“Aku sangat merindukanmu, Tricia,” ujar Peter sambil berbisik dan memberi waktu pada mereka untuk mengendalikan diri.“Maaf. Aku tidak bermaksud menghindarimu,” jawab Tricia.Peter mengecup kening wanita itu. Entah apa yang akan terjadi jika ia menuruti emosinya beberapa hari yang lalu. Ia merasa hampir gila dan berniat menerobos masuk ke rumah Tricia. Namun, ia sadar jika hal itu dilakukan, ia tidak jauh berbeda dengan Sean.“Aku tahu, kau masih membutuhkan waktu. Aku tidak bisa memaksakan kehendak ke
Tricia berdiri mematung di depan pintu sebuah rumah toko. Tricia tidak menyangka jika gedung yang baru saja selesai dibangun inilah yang meneleponnya kemarin. Tepat seperti yang Peter katakan padanya, satu hari setelah Tricia mengirimkan surat lamaran ke alamat e-mail yang Peter berikan, ia pun mendapatkan kabar melalui telepon dan memintanya datang ke alamat ini.Tricia mendekap erat tas yang ia bawa. Ada banyak keraguan dalam hatinya. Jika perusahaan yang telah lama berdiri di kota kecil ini saja selalu menolaknya, apa mungkin perusahaan yang baru ini bisa menerimanya?“Apa aku pulang saja, ya?” ujar Tricia pada dirinya sendiri.“Nona Tricia?” tanya seorang laki laki tua sambil membukakan pintu untuk Tricia. Tricia memberikan senyuman kaku sebagai jawaban.“Masuklah. Kami sudah menunggumu sejak tadi.”Pada akhirnya, Tricia melangkah ke dalam kantor itu. Mendengar bahwa ia telah ditunggu sudah cukup membuatnya penasaran.“Duduklah dulu, Nona. Aku akan membuatkan secangkir kopi untu
Peluh keluar dari pori pori kulit dua orang berlawanan jenis yang sedang sibuk di atas ranjang. Mereka tidak peduli dengan apa pun saat ini. Mereka membiarkan tubuh mereka bergerak mengikuti naluri, mencapai kepuasan yang mungkin saja tidak akan bisa terulang kembali esok hari.Tricia berusaha mengimbangi permainan Peter. Ia mengatur napas dengan susah payah. Ia sama sekali tidak berniat untuk menyerah, walau untuk sekali saja dalam permainan mereka ini.Waktu terus merangkak, menuju dini hari dan hujan belum berhenti. Siapa yang tahu jika malam ini, Tricia akan terjebak bersama Peter di dalam kamar? Tricia sama sekali tidak mengerti, apakah tindakannya saat ini akan ia sesali atau malah ia inginkan kembali.Panas.Itulah kesan yang Peter hadirkan di mata semua perempuan. Begitu pula di mata Tricia. Itulah yang membuat Tricia tidak mampu melangkah pergi ketika ia mendapati dirinya hanya berdua saja di dalam sebuah kamar, di rumah Peter.‘Astaga. Bahkan ini di rumahnya. Entah apa yang