Nyonya Ann hanya tersenyum mendengar pertanyaan Emily. Ia sama sekali tidak berniat untuk ikut campur dalam urusan Peter kali ini.
“Kau membuat Nona Tricia tidak nyaman dengan pertanyaanmu itu, Em,” tegur Nyonya Ann.
Gadis kecil itu menoleh ke arah Tricia dengan cepat.
“Apakah aku begitu, Nona Tricia?”
Napas Tricia seakan terhenti. Ia merasa tatapan Emily menusuk tepat ke dadanya.
“Kalau begitu, aku minta maaf, Nona Tricia. Aku tidak bermaksud—”
“Oh, tidak, Em. Santai saja. Maksudku—”
Tricia benar benar merasa serba salah. Ia tidak biasa berada dalam keadaan seperti ini.
“Biarkan dia meminta maaf,” ujar Peter, membuat Tricia menatap ke arahnya.
“Kau tidak boleh bertanya hal pribadi yang melewati batas, Green,” tambah Peter. Ia meletakkan sepotong pie ke atas piring Emily.
Peter mengambil satu potongan lagi dan langsung memasukkannya ke mulut. Ia terlihat sangat menikmati.
“Kau mau memaafkan aku kan, Nona Tricia?” tanya Emily dengan wajah memohon.
“Hm, ya. Tentu saja. Itu bukan masalah sama sekali.”
Tricia berusaha meredakan kecanggungan yang mendera. Ia tidak mau gara gara dirinya, suasana di rumah ini menjadi rusak.
“Aku harus pulang sekarang,” ujar Tricia.
“Astaga. Kenapa terburu buru sekali, Nona. Bahkan kau belum mencicipi pie blueberry buatanku,” ujar Nyonya Ann, mencegah kepergian Tricia.
“Ah, ya. Sebenarnya aku harus pergi, ada urusan penting sekali pagi ini.”
Tricia menggaruk ujung hidungnya perlahan. Tentu saja ia berharap kebohongannya tidak diketahui.
“Makanlah dulu, baru aku akan mengizinkanmu pergi dari sini,” lanjut Nyonya Ann.
Tricia memaksakan diri tersenyum. Sesekali ia melirik ke arah Peter. Laki laki itu sama sekali tidak peduli dengan keberadaannya. Peter masih sibuk menikmati makanan yang ada di meja.
‘Dia tidak menatapku sama sekali? Astaga. Bisa bisanya sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat ketika berada di atas ranjang semalam.’
Tricia mengumpat dalam hati. Ia tidak suka melihat tingkah Peter, ketika dirinya bersusah payah mengendalikan perasaan dan juga sikapnya setelah pergulatan mereka semalam, dan laki laki itu dengan mudahnya berubah dingin kepadanya saat ini.
“Nah, sekarang makanlah dulu, Nona. Jangan pikirkan hal lainnya,” ujar Nyonya Ann. Ia mengisi piring Tricia dengan pie buatannya.
“Aku masih membuat zuppa sup. Tunggulah,” tambah wanita itu. Tricia hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis.
Tricia tidak berhasil menolak keinginan Nyonya Ann. Ia pun memilih pasrah sambil menikmati semua hidangan yang disajikan untuknya.
Tiga puluh menit telah berlalu dan Tricia telah memenuhi perutnya hingga terasa sangat kenyang.
“Mungkin aku bisa gemuk jika tinggal bersamamu, Nyonya Ann,” ujar Tricia, ia tersenyum tulus, memuji masakan Nyonya Ann.
“Kalau begitu, kau tinggallah di sini, Nona Tricia. Badanmu kurus sekali,” sela Emily.
Tricia tertawa terbata bata karena ia bingung harus memberi jawaban apa kepada gadis kecil itu.
“Aku tidak keberatan,” sambar Peter, tetapi tetap tidak menatap ke arah Tricia.
Tricia bersyukur Peter tidak menatapnya karena ia sadar jika raut wajah pasti memerah, menahan gerakan kupu kupu yang mulai kembali bergerak dalam perutnya.
“Aku akan sangat senang jika hal itu benar benar terjadi,” sambut Nyonya Ann, semakin membuat Tricia salah tingkah.
Tricia mencoba mengendalikan diri. Ia sadar jika harus kembali pada kenyataan, ia harus pulang.
“Aku sangat senang berada di antara kalian,” jawab Tricia berbasa basi. “Tetapi, aku harus pulang.”
“Apakah kau akan ke sini lagi, Nona?” tanya Emily, sambil menatap Tricia.
“Ya, tentu.”
“Saat itu, bisakah kau tidak hanya bermain dengan ayahku? Tetapi juga meluangkan waktu untuk bermain bersamaku?”
Tricia merasa kesulitan bernapas menghadapi pertanyaan pertanyaan dari Emily.
“Ya. Emily,” jawab Tricia.
“Berjanjilah kepadaku.”
“Aku janji.”
Tricia tersenyum kemudian mengusap lembut kepala Emily. Entah kenapa ada rasa aneh yang Tricia rasakan dari sikap Emily. Rasa yang tidak dapat ia utarakan dengan kata kata.
“Kalau begitu, aku akan mengantarmu, Nona.”
Emily turun dari kursinya dan langsung menggenggam tangan Tricia. Tricia tersenyum, awalnya ia merasa khawatir jika Emily akan menolak dan membenci kehadirannya sebagai orang asing. Namun, hanya dalam beberapa saat, gadis kecil itu sudah memberikan sikap hangat kepada dirinya.
“Apakah kau akan kembali ke sini dalam waktu dekat?” tanya Emily sambil berjalan dan menggandeng tangan Tricia.
“Hmm ...” Tricia tidak berani memberi jawaban.
“Aku harap, kau serius dengan janjimu, Nona Tricia,” ujar Emily saat mereka tiba di depan pintu. Mereka berdiri dan terdiam di sana.
“Ya, Em. Aku akan mengatur waktu agar kita bisa bermain bersama.”
“Secepatnya?”
Emily mengulurkan jari kelingkingnya kepada Tricia.
“Yup. Secepatnya.”
Mereka berdua pun tersenyum saat jari kelingking mereka bertautan.
Emily meraih gagang pintu dan membukanya, kemudian mereka berdua melangkah ke luar.
Tricia dan Emily berdiri di teras rumah sambil menatap sebuah mobil yang baru saja berhenti di depan pagar.
Seorang wanita memakai topi yang hampir menutupi wajah, turun dari mobil itu. Wanita itu berjalan cepat menuju teras rumah Peter dan duduk menggunakan lutut di depan Emily.
“Emily. Astaga, bagaimana kabarmu, Nak?” tanya wanita itu sambil memeluk Emily.
Emily meronta, mencoba melepaskan diri dari pelukan wanita itu. Namun, wanita itu semakin memeluk Emily dengan erat membuat Tricia kebingungan.
“Daaad,” teriak Emily sambil terus memberontak.
Peter segera muncul di teras karena teriakan Emily.
“Lepaskan Emily,” tegas Peter.
Tricia menatap ketiga orang yang berada di depannya secara bergantian dengan bingung.
“Dad. Tolong aku,” ujar Emily yang mulai menangis.
“Livy! Astaga. Kau membuat Emily ketakutan.”
Peter menarik tangan Livy kemudian mengambil Emily dari pelukan wanita itu. Livy berdiri dan menatap Peter dengan kesal.
“Teriakmulah yang membuatnya takut, Peter. Apa kau tidak sadar?”
Livy menunjuk wajah Peter karena emosi.
Emily berlari ke dalam pelukan Nyonya Ann yang baru saja muncul. Tanpa menunggu lama, Nyonya Ann menggendong Emily ke dalam rumah.
“Apa yang membuatmu ke mari, Livy?” tanya Peter, ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap tajam ke arah Livy.
“Tentu saja aku ingin bertemu dengan Emily. Apa lagi?”
“Pergi dari sini.”
“Kau tidak bisa melarangku bertemu dengannya, Peter.”
“Kenapa? Kenapa aku tidak bisa?”
“Tentu saja karena dia—”
Livy tidak bisa melanjutkan kata katanya.
“Sebaiknya kau pergi dari sini, atau aku akan menghubungi wartawan tentang keberadaanmu di sini.”
Livy menatap marah kepada Peter.
“Kau egois, Peter!” maki Livy, ia mengayunkan tangannya ke arah wajah Peter.
Peter berhasil menahan tangan Livy yang hendak menamparnya. Kini, ia menatap wanita itu dengan tatapan yang semakin menusuk.
“Bahkan menyebutnya pun kau tidak sanggup, Livy!” ucap Peter sambil mengentakkan tangan Livy dengan kasar.
“Sebaiknya kau pergi dari sini sekarang juga, Livy. Sebelum emosiku semakin parah. Aku tidak akan pernah mengizinkanmu menyentuh Emily. Dia putriku. Hanya putriku!”
“Aku hanya ingin memeluknya, Peter. Sebentar saja. Kau tidak bisa serakah seperti ini.”
“Apa pun alasanmu, aku tetap tidak akan mengizinkan!”
“Peter! Kau benar benar keterlaluan.”
“Aku tidak peduli apa pendapatmu tentang aku. Cepat pergi dari sini jika kau tidak mau besok muncul berita tentang skandal seorang diva terkenal melahirkan seorang anak dan menelantarkannya.”
Tricia masih berdiri di tempatnya semula. Ia mencoba menelaah apa yang sedang terjadi di hadapannya saat ini.
‘Livy, wartawan, diva? Astaga. Pantas saja aku seperti mengenal wajah wanita ini. Dia adalah diva internasional. Pemilik suara merdu dengan lagu lagu yang selalu merajai tangga lagu di banyak negara. Tapi, tunggu. Sebentar. Peter tadi bilang apa? Melahirkan dan menelantarkan anak? Itu artinya, dia adalah—”
‘Red? Apakah wanita ini yang selalu disebut oleh Peter semalam?’Batin Tricia tak berhenti bertanya tanya.Livy menoleh dan menatap tajam ke arah Tricia.“Jadi, kau sudah bisa mengisi hatimu kembali setelah selama ini berpisah denganku?” tanya Livy, ia menatap Tricia dari kepala hingga ujung kaki.“Bukan urusanmu!” sahut Peter.Livy tersenyum sinis kepada Tricia kemudian kembali menatap ke Peter.“Apakah aku harus mengucapkan selamat kepada dirimu?” tanya Livy lagi, tetap dengan nada penuh ejekan.“Aku hanya ingin kau pergi!” tegas Peter. “Karena aku tidak bermain-main dengan ancamanku tadi.”“Baik. Sekarang aku akan pergi, tetapi aku pasti akan kembali lagi ke sini.”Livy menyempatkan diri untuk menatap ke arah Tricia kemudian ia melangkah meninggalkan teras rumah Peter.Tricia menghela napas panjang ketika melihat Livy mengendarai mobil dan meninggalkan rumah Peter. Peter pun melakukan hal yang sama.“Seharusnya kau tidak terlibat dalam urusan ini,” ujar Peter sambil menatap Tricia.
Mata Tricia memicing, menatap penuh kebencian kepada seorang laki laki yang berdiri di depannya.“Kenapa kau mengabaikan pesan dan juga teleponku, Tricia?” tanya Sean dengan wajah yang tak kalah kesal.‘Sial! Seharusnya aku tidak membuka pintu,’ batin Tricia.Tricia mencibir, hendak menutup kembali pintu rumahnya. Namun, Sean segera menahannya.“Jangan diam saja. Jawab aku, Tricia! Apa kau tahu jika sikapmu itu membuatku marah?” bentak Sean, sambil menahan daun pintu dengan tangan kirinya.“Pergilah, Sean,” pinta Tricia dengan tatapan tajam.“Kau pikir, kau itu siapa, Tricia? Seenaknya saja mencampakkan diriku?”Tricia mengatupkan kedua rahangnya dan tetap menahan daun pintu dengan penuh tenaga. Ia tidak mau Sean masuk ke rumahnya.“Aku mencampakkanmu, Sean? Apa kau mabuk?” tanya Tricia, ia menambah tenaga untuk mendorong pintunya.“Hentikan sikapmu yang kekanak-kanakan ini, Tricia. Jika ada masalah, seharusnya kau bicarakan dengan langsung, bukan menghindar terus seperti ini.”“Aku b
Peter menunduk, menatap Tricia. Ia dapat merasakan tubuh wanita itu sedang gemetar.“Aku baik baik saja, Peter. Terima kasih,” jawab Tricia. Ia menyambut kehangatan pelukan Peter yang mampu memberinya rasa tenang.Peter mengusap kepala Tricia dan membiarkan posisi mereka seperti itu selama beberapa saat.“Duduklah, Tricia. Aku akan mengambilkan air minum untukmu,” ujar Peter.Tricia mengangguk, ia merapikan baju yang sempat berantakan dengan kedua tangannya.Peter terlihat amarah. Ia benar benar tidak terima melihat Tricia diperlakukan seperti itu. Namun, Peter sadar jika saat ini hal penting yang harus dilakukan adalah, ia harus menenangkan keadaan Tricia.Peter segera melangkah ke dapur dan mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar.“Minumlah, Tricia,” ujar Peter. Ia duduk di samping Tricia.Tricia menurut, ia menghabiskan segelas air putih pemberian Peter.“Sekali lagi terima kasih, Peter. Jika kau tidak datang—”Tricia tidak meneruskan kata katanya. Ia benar benar merasa m
“Sial! Munafik! Apa apaan Tricia itu? Berlagak sok suci tapi dia pun bermain api. Wanita penipu!” omel Sean sambil memukul kemudi.Sean tidak dapat menahan emosinya. Namun, ia juga tidak berani kembali mendatangi rumah Tricia. Tubuh dan wajahnya saat ini masih terasa panas dan nyeri karena pukulan Peter tadi.Saat ia berlari dari perkelahian dengan Peter tadi, ia menghela napas lega karena Peter tidak mengejarnya. Sean berdiam diri di dalam mobil, menatap dan mengawasi rumah Tricia.Ia terus mengawasi dengan penuh rasa curiga, siapa sebenarnya Peter. Lalu, ia semakin marah saat melihat mereka berciuman di balik jendela kamar Tricia.“Kau pikir, kau akan lolos begitu saja dariku, Tricia? Jangan bermimpi. Kita lihat saja apa yang bisa dilakukan oleh warga yang baru pindah itu saat aku menggunakan kekuasaan keluargaku padanya.”Sean menyalakan mesin mobilnya lalu melaju menuju kantornya.Sebuah kantor pemerintahan daerah yang sudah sejak lama menjadi rumah kedua bagi Sean. Sudah turun te
“Nona Mandy,” panggil Roger untuk ke sekian kalinya.Mandy mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap ke arah Roger.“Astaga. Maafkan saya, Tuan Roger,” ujar Mandy sambil tersipu.“Sepertinya Anda benar benar terpesona dengan laki laki tadi, Nona.”Ucapan Roger disambut tawa mereka berdua.“Siapa laki laki itu, Tuan?”“Roger. Panggil saja Roger.”“Kalau begitu, kita akan lebih santai dalam pertemuan ini?” tanya Mandy. Roger pun mengangguk. “Jadi, berhentilah memanggil saya dengan sebutan Nona,” lanjut Mandy.“Baiklah, Mandy. Kalau begitu, apakah kali ini kau datang sendirian lagi?”Mandy mengerutkan bibir kemudian mengangguk, sedangkan Roger hanya bisa mengangkat kedua bahunya.“Kalau begitu, kau mau menemaniku menikmati hidangan dan minuman di restoran ini?”“Tentu saja, Roger. Memang untuk itulah aku mengajakmu ke sini.”Mandy mengajak Roger ke dalam restoran. Ia telah memesan tempat untuk mereka sebelumnya.“Jadi, siapa laki laki tadi?” tanya Mandy saat ia duduk berhadapan dengan
Peter telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia merapikan semua peralatan yang biasa dibawa pulang ke dalam mobil. Ia sama sekali tidak peduli saat mendapati Mandy yang mengekori dirinya dengan tatapan mata.“Laki laki itu semakin membuatku penasaran,” ujar Mandy saat melihat mobil Peter meninggalkan halaman restoran itu.Peter terus membawa mobilnya menuju rumah. Ia menoleh sesaat ke arah rumah Tricia ketika selesai memasukkan mobil ke dalam carport rumahnya.“Apa yang sedang Tricia lakukan saat ini?” tanya Peter, ia berdiri sebentar di depan pintu mobilnya.“Sial. Kenapa aku merindukannya? Apa aku ke rumahnya sekarang atau meneleponnya?”Peter memukul pelan badan mobilnya kemudian melangkah, hendak menuju ke rumah Tricia.“Daad ...”Langkah Peter terhenti saat melihat malaikat kecilnya muncul dari balik pintu dan berlari ke arahnya.“Green,” panggil Peter kemudian membungkuk dan merentangkan kedua tangan menyambut pelukan Emily.“Dad, aku mendapatkan bintang banyak sekali di sekola
“Sial!”Sean memaki sambil melempar ponselnya ke atas meja. Ia kesal karena Tricia masih saja menolak panggilan telepon darinya, bahkan tidak ada satu pesan pun yang dibaca oleh wanita itu.“Dia benar benar membuatku gila,” omel Sean lagi.Mandy membuka pintu ruangan Sean. Ia membawa segelas kopi pagi hari ini.“Masih terlalu pagi untuk marah marah, Sean,” ujar Mandy sambil meletakkan kopi di meja atasannya itu.“Tricia. Wanita itu benar benar menyebalkan.”“Beri waktu saja kepadanya. Mungkin saat ini dia masih marah kepadamu.”“Ini semua karena dirimu!” bentak Sean.“Astaga, Sean. Dewasalah. Kau yang merengek kepadaku dengan alasan dingin karena hujan. Kau benar benar tidak tahu diri, Sean,” balas Mandy, kini ia tak peduli jika Sean adalah atasannya.“Seharusnya kau tahu jika Tricia datang.”“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui kekasihmu itu datang sementara kau sibuk di atas tubuhku? Kau pikir aku ini keturunan shaman?”Sean mencibir mendengar jawaban Mandy.“Sikapmu malah membuat
“Kau sudah gila, Livy?!” teriak Ron sambil membanting daun pintu ruangan Livy.Wajah laki laki berbadan tinggi kurus dan berkulit pucat itu kini berwarna merah. Ia merasa kepala mau pecah karena baru saja menerima telepon berisi komplain dari berbagai pihak yang menjalin kerja sama dengan Livy.“Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu beberapa hari belakangan ini. Sikapmu aneh. Aku coba memaklumi jika kau merasa lelah karena jadwal yang padat, tetapi kau tidak bisa melakukan hal ini, Livy. Konser tunggalmu sudah di depan mata dan dengan seenaknya kau mau batalkan begitu saja? Sinting!”Livy terdiam. Ia sama sekali tidak menoleh ketika Ron masuk ke ruangannya sambil marah marah. Livy tetap berdiri di samping jendela, menatap entah ke mana.“Livy!” panggil Ron dengan suara sangat keras. Ia berdiri di tengah ruangan sambil menatap penuh emosi ke arah Livy.“Apa lagi sekarang, Liv? Setelah konser tunggal ini, kau akan tour musik dunia. Itu pun akan kau batalkan?”Ron meremas rambut d