“Ke mana dia?” tanya Tricia sambil menatap ranjang, bagian yang ditempati Peter telah kosong.
Matahari mulai menyapa Tricia dengan sinarnya yang menembus kaca jendela. Ia merapatkan selimut hingga kebagian dada. Matanya menyapu seluruh kamar yang menjadi saksi kegiatannya semalam.
“Jam berapa sekarang?” Tricia tersadar. Ia berusaha mencari ponselnya. Tidak ada jam dinding di kamar ini. Tricia terdiam sejenak. Ia ingat jika tas miliknya masih berada di dalam mobil.
Desa Baxter yang terletak di Kota Fort Mill, Carolina Selatan kini mulai terang. Jalan jalan masih basah karena guyuran hujan semalam. Para penduduk mulai keluar dari rumah untuk beraktivitas. Mereka berusaha menikmati cuaca musim dingin yang berlangsung selama tiga bulan ini. Berbeda jauh dari musim panas yang lebih panjang.
Tricia menoleh ke arah jendela kaca yang tak jauh dari ranjang. Ia bisa mendengar suara obrolan beberapa orang dari sana.
“Astaga. Kenapa banyak sekali orang di sana?”
Tricia merunduk, ia tidak ingin keberadaannya di sini diketahui oleh para tetangga.
“Dia pasti sibuk melayani pertanyaan para tetangga itu. Apa seluruh penghuni desa ini berada di sana? Kenapa mereka selalu ingin tahu urusan orang seperti itu?”
Tricia kembali meringkuk di atas ranjang dan menutupi dirinya dengan selimut. Lamat lamat ia dapat mendengar pertanyaan pertanyaan yang diajukan para tetangga tentangnya kepada Peter.
“Astaga. Mereka benar benar memiliki rasa kepedulian yang tinggi,” keluh Tricia saat mendengar seseorang akan pergi ke rumahnya dan memeriksa keberadaan dirinya.
“Itu pasti Nyonya Smith. Aku mengenal suaranya. Semoga dia tidak benar benar memeriksa rumahku.”
Tricia mengumpulkan seluruh keinginan dalam hatinya untuk bergerak dari atas ranjang. Ia melihat pakaiannya sudah tergantung rapi di gantungan baju yang ada di kamar itu.
“Dia merapikan pakaianku?”
Tricia mengambil pakaiannya dan memeriksanya satu per satu.
“Di mana celana dalamku?”
Tricia memeriksa berulang kali. Namun, tidak berhasil menemukannya.
“Apa aku melemparnya terlalu jauh semalam?”
Tricia menunduk, mencari cari ke semua sudut ruangan itu. Namun, hasilnya tetap nihil.
“Astaga. Bodohnya aku. Yah, mau bagaimana lagi?”
Tricia segera mengenakan pakaian miliknya walau ada yang kurang. Ia menuju cermin kecil yang ada di sana dan merapikan sedikit penampilannya.
“Setidaknya, aku harus ke kamar mandi.”
Tricia membuka pintu kamar lalu melongok terlebih dahulu.
“Sepi,” ujarnya. “Di mana kamar mandinya?”
Dengan perasaan lega, ia keluar dari kamar.
“Jika rumah ini tidak berbeda dengan pola rumah di kompleks ini, pasti di sanalah kamar mandinya.”
Tricia berjalan menuju sebuah ruangan dan tersenyum ketika melihat sebuah stiker bergambarkan kloset. Ia pun segera membuka pintu dan masuk.
Tricia menyanggul sederhana rambut pirangnya yang panjang kemudian mematut diri di depan cermin.
“Astaga, segarnya,” ujar Tricia saat air keran membasahi wajahnya.
Tricia menatap rak kecil yang berisi peralatan mandi anggota keluarga di rumah itu. Ia mengambil botol mouthwash beraroma mint dari sana.
“Semoga kamu tidak keberatan, aku memintanya sedikit,” ujar Tricia sambil menuangkan sedikit cairan mouthwash lalu menggunakannya.
Tricia kembali bercermin dan merapikan dirinya.
“Apa yang harus aku katakan saat bertemu dengannya nanti?” tanya Tricia pada pantulan dirinya di cermin.
Tricia menghela napas.
“Jika saja aku melakukannya di sebuah kamar hotel, tentu salah satu dari kami akan pergi begitu saja tanpa perlu berpikir akan bertemu kembali. Tapi sekarang aku berada di rumahnya, mau tidak mau aku harus bertemu dengannya lagi apalagi mobilku berada di teras rumahnya dalam kondisi seperti itu.”
Tricia mengetuk-ngetuk jari jemarinya beberapa kali ke wastafel, memaksakan otaknya untuk berpikir.
“Ah, sudahlah. Semakin dipaksakan, semakin sulit aku melakukannya. Cukup berkata hai dan tersenyum saja kepadanya nanti.”
Tricia berdiri di depan pintu kamar mandi dan kembali menghela napas untuk mengumpulkan semangat. Setelah kepercayaan dirinya dirasa cukup, ia pun membuka pintu kamar mandi.
Tricia terpaku di depan pintu kamar mandi. Ia tidak menyangka seseorang yang ia temui saat ini bukanlah Peter.
“Emily, berhenti menatapnya seperti itu. Nona Tricia adalah tamu kita,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul sambil membawa wadah berisi penuh pie blueberri
“Tapi dia menggunakan kamar mandi lama sekali, Nyonya Ann,” protes gadis kecil yang berusia lima tahun itu.
“Maafkan dia, Miss Tricia. Dia sudah berdiri di sana sekitar lima menit,” ujar Nyonya Ann sambil tersenyum kepada Tricia.
“Sekarang bisakah kau mengizinkan aku memakai kamar mandi itu, Nona Tricia?” tanya Emily dengan ketus.
“Oh. Tentu. Maaf—maafkan aku, Emily,” jawab Tricia sambil menyingkir dari pintu kamar mandi.
Nyonya Ann tertawa kecil melihat tingkah Tricia dan Emily.
“Tenanglah, Nona. Emily gadis yang baik.”
Tricia mengerjap kemudian tersenyum canggung kepada Nyonya Ann.
“Kau pasti lapar, Nona. Biarkan dia. Dia sudah pandai membersihkan diri sendiri. Ayo kita ke meja makan.”
Tricia mengangguk. Ia benar benar tidak menyangka akan bertemu dua penghuni rumah lainnya.
‘Astaga. Kenapa aku bisa lupa jika dia memiliki seorang anak dan juga tinggal bersama seorang pengurus rumah tangga.’
“Duduklah. Aku akan membawakan minuman hangat untukmu.”
“Terima kasih, Nyonya Ann.”
Tricia duduk di belakang meja makan. Harus diakui, hari ini dia benar benar merasa gugup.
Tricia menatap punggung Nyonya Ann. Wanita itu terlihat sederhana dan sikapnya sangat hangat. Mereka sudah pernah bertemu beberapa kali dan Nyonya Ann tidak pernah ragu menyapa siapa saja yang ditemuinya.
“Peter sedang memeriksa mobilmu. Aku senang kau berada dalam kondisi baik baik saja. Minumlah dulu,” ujar Nyonya Ann. Ia meletakkan empat buah cangkir berisi minuman hangat yang terbuat dari jahe dan lemon.
“Peter sudah lama meninggalkan alkohol,” ujar Nyonya Ann. “Sejak ia memiliki Emily. Apa kau keberatan dengan minuman yang aku sajikan? Jika kau keberatan, aku akan keluar sebentar ke mini market untuk berbelanja.”
“Oh, tidak. Tentu saja tidak masalah, Nyonya Ann. Aku yakin minuman ini pun cukup untuk menghangatkan tubuh saat ini.”
Tricia segera menggenggam gelas minuman yang berada di depannya. Sebenarnya, rasa gugupnya saat ini jauh lebih sulit diatasi, dibandingkan dengan udara dingin yang masih bisa dikalahkan dengan penghangat ruangan di rumah ini.
“Baguslah kalau begitu,” ujar Nyonya Ann.
Tricia tersenyum tipis saat melihat Emily berjalan ke arah mereka.
“Apakah ini minuman untukku, Nyonya Ann?” tanya gadis kecil itu.
“Ya. Betul sekali, Nona cantik. Aku menambahkan banyak madu dalam minumanmu itu.”
“Terima kasih, Nyonya Ann.”
Pintu samping rumah yang berada di dekat dapur dibuka dari luar. Peter melepas jaket kemudian mengganti sepatunya yang basah saat merapikan halaman rumahnya. Peter dengan mantap berjalan menghampiri meja makan lalu bergabung bersama mereka.
Tubuh Tricia membeku. Ia sama sekali tidak berani menatap Peter yang duduk di hadapannya.
Peter mengambil gelas minuman yang ada di depannya. Ia menghabiskannya dalam sekali teguk, ia memang sedang haus sekali. Nyonya Ann segera berdiri dan mengambil teko berisi air putih dan memenuhi gelas Peter kembali.
“Apa kau baik baik saja?” tanya Peter kepada Tricia, ia hanya melirik ke arah Tricia sambil mengangkat gelasnya kembali untuk diminum.
Tricia menyelipkan poni rambut ke telinganya kemudian mengangguk.
“Ya. Aku baik baik saja,” jawab Tricia, kemudian melipat bibirnya.
Peter meletakkan kembali gelasnya yang sudah berisi setengah.
Setelah itu semua terdiam tanpa ada yang berbicara.
“Dad,” panggil Emily.
Peter menoleh ke arah putrinya.
“Apakah Nona Tricia semalam menginap di rumah kita?”
“Ya. Dia menginap di sini semalam,” jawab Peter dengan santai. Berbeda sikap dengan Tricia yang sangat tegang.
“Apakah semalam dia berada di kamarmu, Dad? Apakah kalian tidur bersama? Apakah kalian berciuman?”
Tricia membulatkan kedua bola matanya. Ia sama sekali tidak menyangka Emily akan bertanya seperti itu.
‘Demi Tuhan yang ada di hati setiap umat manusia, izinkanlah aku menghilang dari tempat ini sekarang juga,’ batin Tricia.
Nyonya Ann hanya tersenyum mendengar pertanyaan Emily. Ia sama sekali tidak berniat untuk ikut campur dalam urusan Peter kali ini.“Kau membuat Nona Tricia tidak nyaman dengan pertanyaanmu itu, Em,” tegur Nyonya Ann.Gadis kecil itu menoleh ke arah Tricia dengan cepat.“Apakah aku begitu, Nona Tricia?”Napas Tricia seakan terhenti. Ia merasa tatapan Emily menusuk tepat ke dadanya.“Kalau begitu, aku minta maaf, Nona Tricia. Aku tidak bermaksud—”“Oh, tidak, Em. Santai saja. Maksudku—”Tricia benar benar merasa serba salah. Ia tidak biasa berada dalam keadaan seperti ini.“Biarkan dia meminta maaf,” ujar Peter, membuat Tricia menatap ke arahnya.“Kau tidak boleh bertanya hal pribadi yang melewati batas, Green,” tambah Peter. Ia meletakkan sepotong pie ke atas piring Emily.Peter mengambil satu potongan lagi dan langsung memasukkannya ke mulut. Ia terlihat sangat menikmati.“Kau mau memaafkan aku kan, Nona Tricia?” tanya Emily dengan wajah memohon.“Hm, ya. Tentu saja. Itu bukan masalah
‘Red? Apakah wanita ini yang selalu disebut oleh Peter semalam?’Batin Tricia tak berhenti bertanya tanya.Livy menoleh dan menatap tajam ke arah Tricia.“Jadi, kau sudah bisa mengisi hatimu kembali setelah selama ini berpisah denganku?” tanya Livy, ia menatap Tricia dari kepala hingga ujung kaki.“Bukan urusanmu!” sahut Peter.Livy tersenyum sinis kepada Tricia kemudian kembali menatap ke Peter.“Apakah aku harus mengucapkan selamat kepada dirimu?” tanya Livy lagi, tetap dengan nada penuh ejekan.“Aku hanya ingin kau pergi!” tegas Peter. “Karena aku tidak bermain-main dengan ancamanku tadi.”“Baik. Sekarang aku akan pergi, tetapi aku pasti akan kembali lagi ke sini.”Livy menyempatkan diri untuk menatap ke arah Tricia kemudian ia melangkah meninggalkan teras rumah Peter.Tricia menghela napas panjang ketika melihat Livy mengendarai mobil dan meninggalkan rumah Peter. Peter pun melakukan hal yang sama.“Seharusnya kau tidak terlibat dalam urusan ini,” ujar Peter sambil menatap Tricia.
Mata Tricia memicing, menatap penuh kebencian kepada seorang laki laki yang berdiri di depannya.“Kenapa kau mengabaikan pesan dan juga teleponku, Tricia?” tanya Sean dengan wajah yang tak kalah kesal.‘Sial! Seharusnya aku tidak membuka pintu,’ batin Tricia.Tricia mencibir, hendak menutup kembali pintu rumahnya. Namun, Sean segera menahannya.“Jangan diam saja. Jawab aku, Tricia! Apa kau tahu jika sikapmu itu membuatku marah?” bentak Sean, sambil menahan daun pintu dengan tangan kirinya.“Pergilah, Sean,” pinta Tricia dengan tatapan tajam.“Kau pikir, kau itu siapa, Tricia? Seenaknya saja mencampakkan diriku?”Tricia mengatupkan kedua rahangnya dan tetap menahan daun pintu dengan penuh tenaga. Ia tidak mau Sean masuk ke rumahnya.“Aku mencampakkanmu, Sean? Apa kau mabuk?” tanya Tricia, ia menambah tenaga untuk mendorong pintunya.“Hentikan sikapmu yang kekanak-kanakan ini, Tricia. Jika ada masalah, seharusnya kau bicarakan dengan langsung, bukan menghindar terus seperti ini.”“Aku b
Peter menunduk, menatap Tricia. Ia dapat merasakan tubuh wanita itu sedang gemetar.“Aku baik baik saja, Peter. Terima kasih,” jawab Tricia. Ia menyambut kehangatan pelukan Peter yang mampu memberinya rasa tenang.Peter mengusap kepala Tricia dan membiarkan posisi mereka seperti itu selama beberapa saat.“Duduklah, Tricia. Aku akan mengambilkan air minum untukmu,” ujar Peter.Tricia mengangguk, ia merapikan baju yang sempat berantakan dengan kedua tangannya.Peter terlihat amarah. Ia benar benar tidak terima melihat Tricia diperlakukan seperti itu. Namun, Peter sadar jika saat ini hal penting yang harus dilakukan adalah, ia harus menenangkan keadaan Tricia.Peter segera melangkah ke dapur dan mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar.“Minumlah, Tricia,” ujar Peter. Ia duduk di samping Tricia.Tricia menurut, ia menghabiskan segelas air putih pemberian Peter.“Sekali lagi terima kasih, Peter. Jika kau tidak datang—”Tricia tidak meneruskan kata katanya. Ia benar benar merasa m
“Sial! Munafik! Apa apaan Tricia itu? Berlagak sok suci tapi dia pun bermain api. Wanita penipu!” omel Sean sambil memukul kemudi.Sean tidak dapat menahan emosinya. Namun, ia juga tidak berani kembali mendatangi rumah Tricia. Tubuh dan wajahnya saat ini masih terasa panas dan nyeri karena pukulan Peter tadi.Saat ia berlari dari perkelahian dengan Peter tadi, ia menghela napas lega karena Peter tidak mengejarnya. Sean berdiam diri di dalam mobil, menatap dan mengawasi rumah Tricia.Ia terus mengawasi dengan penuh rasa curiga, siapa sebenarnya Peter. Lalu, ia semakin marah saat melihat mereka berciuman di balik jendela kamar Tricia.“Kau pikir, kau akan lolos begitu saja dariku, Tricia? Jangan bermimpi. Kita lihat saja apa yang bisa dilakukan oleh warga yang baru pindah itu saat aku menggunakan kekuasaan keluargaku padanya.”Sean menyalakan mesin mobilnya lalu melaju menuju kantornya.Sebuah kantor pemerintahan daerah yang sudah sejak lama menjadi rumah kedua bagi Sean. Sudah turun te
“Nona Mandy,” panggil Roger untuk ke sekian kalinya.Mandy mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap ke arah Roger.“Astaga. Maafkan saya, Tuan Roger,” ujar Mandy sambil tersipu.“Sepertinya Anda benar benar terpesona dengan laki laki tadi, Nona.”Ucapan Roger disambut tawa mereka berdua.“Siapa laki laki itu, Tuan?”“Roger. Panggil saja Roger.”“Kalau begitu, kita akan lebih santai dalam pertemuan ini?” tanya Mandy. Roger pun mengangguk. “Jadi, berhentilah memanggil saya dengan sebutan Nona,” lanjut Mandy.“Baiklah, Mandy. Kalau begitu, apakah kali ini kau datang sendirian lagi?”Mandy mengerutkan bibir kemudian mengangguk, sedangkan Roger hanya bisa mengangkat kedua bahunya.“Kalau begitu, kau mau menemaniku menikmati hidangan dan minuman di restoran ini?”“Tentu saja, Roger. Memang untuk itulah aku mengajakmu ke sini.”Mandy mengajak Roger ke dalam restoran. Ia telah memesan tempat untuk mereka sebelumnya.“Jadi, siapa laki laki tadi?” tanya Mandy saat ia duduk berhadapan dengan
Peter telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia merapikan semua peralatan yang biasa dibawa pulang ke dalam mobil. Ia sama sekali tidak peduli saat mendapati Mandy yang mengekori dirinya dengan tatapan mata.“Laki laki itu semakin membuatku penasaran,” ujar Mandy saat melihat mobil Peter meninggalkan halaman restoran itu.Peter terus membawa mobilnya menuju rumah. Ia menoleh sesaat ke arah rumah Tricia ketika selesai memasukkan mobil ke dalam carport rumahnya.“Apa yang sedang Tricia lakukan saat ini?” tanya Peter, ia berdiri sebentar di depan pintu mobilnya.“Sial. Kenapa aku merindukannya? Apa aku ke rumahnya sekarang atau meneleponnya?”Peter memukul pelan badan mobilnya kemudian melangkah, hendak menuju ke rumah Tricia.“Daad ...”Langkah Peter terhenti saat melihat malaikat kecilnya muncul dari balik pintu dan berlari ke arahnya.“Green,” panggil Peter kemudian membungkuk dan merentangkan kedua tangan menyambut pelukan Emily.“Dad, aku mendapatkan bintang banyak sekali di sekola
“Sial!”Sean memaki sambil melempar ponselnya ke atas meja. Ia kesal karena Tricia masih saja menolak panggilan telepon darinya, bahkan tidak ada satu pesan pun yang dibaca oleh wanita itu.“Dia benar benar membuatku gila,” omel Sean lagi.Mandy membuka pintu ruangan Sean. Ia membawa segelas kopi pagi hari ini.“Masih terlalu pagi untuk marah marah, Sean,” ujar Mandy sambil meletakkan kopi di meja atasannya itu.“Tricia. Wanita itu benar benar menyebalkan.”“Beri waktu saja kepadanya. Mungkin saat ini dia masih marah kepadamu.”“Ini semua karena dirimu!” bentak Sean.“Astaga, Sean. Dewasalah. Kau yang merengek kepadaku dengan alasan dingin karena hujan. Kau benar benar tidak tahu diri, Sean,” balas Mandy, kini ia tak peduli jika Sean adalah atasannya.“Seharusnya kau tahu jika Tricia datang.”“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui kekasihmu itu datang sementara kau sibuk di atas tubuhku? Kau pikir aku ini keturunan shaman?”Sean mencibir mendengar jawaban Mandy.“Sikapmu malah membuat