Mata Tricia memicing, menatap penuh kebencian kepada seorang laki laki yang berdiri di depannya.
“Kenapa kau mengabaikan pesan dan juga teleponku, Tricia?” tanya Sean dengan wajah yang tak kalah kesal.
‘Sial! Seharusnya aku tidak membuka pintu,’ batin Tricia.
Tricia mencibir, hendak menutup kembali pintu rumahnya. Namun, Sean segera menahannya.
“Jangan diam saja. Jawab aku, Tricia! Apa kau tahu jika sikapmu itu membuatku marah?” bentak Sean, sambil menahan daun pintu dengan tangan kirinya.
“Pergilah, Sean,” pinta Tricia dengan tatapan tajam.
“Kau pikir, kau itu siapa, Tricia? Seenaknya saja mencampakkan diriku?”
Tricia mengatupkan kedua rahangnya dan tetap menahan daun pintu dengan penuh tenaga. Ia tidak mau Sean masuk ke rumahnya.
“Aku mencampakkanmu, Sean? Apa kau mabuk?” tanya Tricia, ia menambah tenaga untuk mendorong pintunya.
“Hentikan sikapmu yang kekanak-kanakan ini, Tricia. Jika ada masalah, seharusnya kau bicarakan dengan langsung, bukan menghindar terus seperti ini.”
“Aku bukan menghindar. Tapi, aku perlu waktu untuk menetralisir otakku.”
“Baik. Kalau begitu, izinkan aku masuk, Tricia.”
Sean berhenti mendorong pintu rumah yang ditahan oleh Tricia. Ia menatap Tricia dengan pandangan memohon.
‘Haruskah? Haruskah aku membiarkannya masuk? Bisakah aku berbicara dengannya seperti biasa? Seolah tidak ada yang terjadi di antara kami?’ tanya Tricia dalam hati.
“Tricia, aku mohon. Kita tidak bisa membiarkan masalah berlarut larut seperti ini. Kita bukan anak kecil.”
Tricia menunduk. Ia berhenti menahan pintu dan membiarkan Sean masuk ke rumahnya.
“Aku harap kau tidak membuang waktuku terlalu lama, Sean.”
“Walau hanya untuk secangkir kopi?”
Sean berjalan santai lalu duduk di ruang sofa rumah Tricia.
“Kau tega sekali kepadaku, Tricia. Sejak kemarin aku mencarimu, mencoba menghubungi, lalu sekarang? Bahkan untuk secangkir kopi pun, kau tidak mau berbagi.”
Tricia mendengus. Ia sudah tidak kaget lagi dengan sifat Sean. Laki laki manipulatif. Sean sangat pandai memutar balikkan fakta, dalam keadaan apa pun. Sean tidak ragu bertindak sebagai seorang korban yang tersakiti, walau sebenarnya dirinya sendirilah pelakunya.
“Langsung saja, Sean. Apa yang mau kau katakan!” tegas Tricia, ia melipat kedua tangannya di atas dada.
“Berhenti merajuk, Tricia. Apa yang kau lihat semalam, adalah hal biasa,” ujar Sean sambil tersenyum lebar.
Tricia menghela napas kemudian mengangguk.
“Ya. Kau benar, Sean,” jawab Tricia. Ia sudah bisa tersenyum sekarang. “Itu adalah biasa, jadi untuk apa aku mempermasalahkannya,” lanjutnya.
“Akhirnya. Aku senang akhirnya kau sadar, Tricia.”
‘Lagi pula, aku pun melakukan hal yang sama denganmu,’ batin Tricia lagi.
“Kalau begitu, aku bisa tidur dengan tenang sekarang,” ujar Sean. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar tidur Tricia.
“Apa yang kau lakukan, Sean? Mau ke mana kau?”
Tricia berteriak, ia keberatan dengan niat Sean yang terbaca olehnya.
“Astaga. Kepalaku sakit karena kurang tidur semalaman, Tricia.”
“Dan itu bukan urusanku!”
“Kenapa bukan urusanmu? Aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu. Kau lari begitu saja dari kantor dan tidak bisa aku hubungi.”
“Memangnya apa yang harus aku lakukan saat aku melihatmu sedang bercinta dengan wanita lain, Sean?” teriak Tricia. Sean berhasil memancing emosinya kembali.
“Bergabung dengan kami, mungkin?”
“Dalam otakmu, Sean! Menjijikkan!”
Sean tertawa mendengar umpatan Tricia. Namun, ia tetap lanjut melangkah menuju kamar.
“Berhenti, Sean!”
Sean tidak peduli sedikit pun dengan teriakan Tricia.
Melihat sikap Sean, Tricia segera berlari dan menarik tangan Sean. Ia tidak mau kalau Sean masuk ke kamarnya.
“Sebaiknya kau pergi sekarang, Sean,” ucap Tricia, menghentikan langkah Sean tepat di pintu kamarnya yang terbuka.
Sean menatap tangan Tricia yang memegang pergelangan tangannya, kemudian ia tersenyum. Menyeringai.
“Kenapa? Hubungan kita bukanlah terjadi kemarin sore, Tricia. Kenapa aku tidak boleh ke kamarmu?”
Tricia melepaskan pegangan tangannya kemudian melangkah mundur karena mendekatinya.
“Kau takut padaku, Tricia?”
“Jangan bersikap seperti ini, Sean. Kau membuatku tidak nyaman.”
Sean terus mendekati Tricia sambil tersenyum. Bagi Tricia, senyum itu terlihat sangat menyebalkan.
“Kau seharusnya sadar diri, Tricia!”
Sean memegang bahu Tricia dengan kedua tangan, membuat wanita itu terkejut. Sebelum Tricia menyadari keadaannya, Sean mengangkat tubuhnya lalu mendorong dan mengempaskan dirinya ke atas ranjang.
“Apa apaan kau, Sean?” bentak Tricia tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Sean.
Sean menyeringai semakin lebar. Ia menghalangi Tricia bangkit dari atas ranjang. Ia memegangi kedua tangan Tricia dan menahannya di atas kepala.
“Kau keterlaluan, Tricia. Selama ini, kau hanya sekali mengizinkan aku menyentuhmu, menikmati tubuhmu. Kau sadar, sikapmu itu benar benar menyebalkan?” tanya Sean, ia sudah berada di atas tubuh Tricia.
“Lepaskan aku, Sean. Kau menjijikkan!” teriak Tricia.
“Kau marah dengan apa yang kau lihat semalam, Tricia? Hilangkan marahmu itu, aku akan membuatmu merasakannya sendiri,” ujar Sean sambil menahan Tricia yang mulai memberontak.
“Sean. Kau gila. Kurang ajar. Lepaskan aku!”
Tricia terus memberontak dan berteriak berusaha melepaskan diri dari Sean.
“Tenanglah, Tricia. Aku yakin kau akan menikmatinya, kau bukanlah wanita yang dingin. Aku janji, kau akan tidak akan pernah melupakan kenikmatan yang aku berikan kali ini.”
Sean tertawa kecil melihat wajah Tricia yang panik. Saat ini, Tricia yang terlalu angkuh terlihat hampir tidak berdaya dalam genggamannya.
“Dia bilang lepaskan, Keledai!”
Sean terkejut saat merasakan sepasang tangan mengangkat kerah bajunya dari belakang. Tubuh Sean terangkat kemudian dilemparkan ke lantai.
“Siapa kau? Jangan ikut campur, wanita itu adalah tunanganku.”
Sean mencoba berdiri walau terhuyung.
“Kau pikir aku peduli dengan status kalian? Yang aku tahu, wanita ini berteriak saat kau hendak melampiaskan nafsu binatangmu yang memuakkan itu.”
Tricia berteriak saat melihat Peter melayangkan kepalan tangannya ke perut Sean berkali kali.
“Astaga, Peter. Hentikan.”
Peter tidak peduli dengan teriakan Tricia. Ia tetap menyerang Sean yang terlihat tidak dapat mengimbanginya.
“Peter, hentikan. Kau bisa membunuhnya,” teriak Tricia. Kali ini, ia menahan tangan Peter agar tidak memukul Sean kembali.
Sean jatuh terpojok di sudut kamar. Di beberapa bagian wajahnya terlihat berdarah. Peter menahan pukulannya, ia mengatur napas dan menatap Tricia.
“Kau baik baik saja,” tanya Peter.
“Ya, Peter. Aku baik baik saja.”
Sean meringis penuh kebencian saat melihat Tricia berbicara kepada Peter. Namun, ia melihat peluang untuk menyelamatkan diri dan tidak mau melewatkannya. Sean segera bangkit dan lari ke luar kamar.
Peter terkejut melihat Sean yang melarikan diri. Ia berniat untuk mengejar tetapi Tricia menarik tangannya, mencegah.
“Jangan, Peter. Biarkan dia pergi, kumohon.”
Peter menatap Tricia dan terdiam beberapa saat.
“Kau baik baik saja?” tanya Peter.
Belum sempat Tricia menjawab, Peter meraih Tricia ke dalam pelukannya.
“Astaga. Aku sangat panik saat mendengar teriakanmu tadi,” lanjut Peter.
Peter sedang berada di teras depan rumah Tricia saat mendengar suara teriakan itu. Ia datang untuk mengembalikan sesuatu milik Tricia yang tertinggal di kamarnya.
Peter menunduk, menatap Tricia. Ia dapat merasakan tubuh wanita itu sedang gemetar.“Aku baik baik saja, Peter. Terima kasih,” jawab Tricia. Ia menyambut kehangatan pelukan Peter yang mampu memberinya rasa tenang.Peter mengusap kepala Tricia dan membiarkan posisi mereka seperti itu selama beberapa saat.“Duduklah, Tricia. Aku akan mengambilkan air minum untukmu,” ujar Peter.Tricia mengangguk, ia merapikan baju yang sempat berantakan dengan kedua tangannya.Peter terlihat amarah. Ia benar benar tidak terima melihat Tricia diperlakukan seperti itu. Namun, Peter sadar jika saat ini hal penting yang harus dilakukan adalah, ia harus menenangkan keadaan Tricia.Peter segera melangkah ke dapur dan mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar.“Minumlah, Tricia,” ujar Peter. Ia duduk di samping Tricia.Tricia menurut, ia menghabiskan segelas air putih pemberian Peter.“Sekali lagi terima kasih, Peter. Jika kau tidak datang—”Tricia tidak meneruskan kata katanya. Ia benar benar merasa m
“Sial! Munafik! Apa apaan Tricia itu? Berlagak sok suci tapi dia pun bermain api. Wanita penipu!” omel Sean sambil memukul kemudi.Sean tidak dapat menahan emosinya. Namun, ia juga tidak berani kembali mendatangi rumah Tricia. Tubuh dan wajahnya saat ini masih terasa panas dan nyeri karena pukulan Peter tadi.Saat ia berlari dari perkelahian dengan Peter tadi, ia menghela napas lega karena Peter tidak mengejarnya. Sean berdiam diri di dalam mobil, menatap dan mengawasi rumah Tricia.Ia terus mengawasi dengan penuh rasa curiga, siapa sebenarnya Peter. Lalu, ia semakin marah saat melihat mereka berciuman di balik jendela kamar Tricia.“Kau pikir, kau akan lolos begitu saja dariku, Tricia? Jangan bermimpi. Kita lihat saja apa yang bisa dilakukan oleh warga yang baru pindah itu saat aku menggunakan kekuasaan keluargaku padanya.”Sean menyalakan mesin mobilnya lalu melaju menuju kantornya.Sebuah kantor pemerintahan daerah yang sudah sejak lama menjadi rumah kedua bagi Sean. Sudah turun te
“Nona Mandy,” panggil Roger untuk ke sekian kalinya.Mandy mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap ke arah Roger.“Astaga. Maafkan saya, Tuan Roger,” ujar Mandy sambil tersipu.“Sepertinya Anda benar benar terpesona dengan laki laki tadi, Nona.”Ucapan Roger disambut tawa mereka berdua.“Siapa laki laki itu, Tuan?”“Roger. Panggil saja Roger.”“Kalau begitu, kita akan lebih santai dalam pertemuan ini?” tanya Mandy. Roger pun mengangguk. “Jadi, berhentilah memanggil saya dengan sebutan Nona,” lanjut Mandy.“Baiklah, Mandy. Kalau begitu, apakah kali ini kau datang sendirian lagi?”Mandy mengerutkan bibir kemudian mengangguk, sedangkan Roger hanya bisa mengangkat kedua bahunya.“Kalau begitu, kau mau menemaniku menikmati hidangan dan minuman di restoran ini?”“Tentu saja, Roger. Memang untuk itulah aku mengajakmu ke sini.”Mandy mengajak Roger ke dalam restoran. Ia telah memesan tempat untuk mereka sebelumnya.“Jadi, siapa laki laki tadi?” tanya Mandy saat ia duduk berhadapan dengan
Peter telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia merapikan semua peralatan yang biasa dibawa pulang ke dalam mobil. Ia sama sekali tidak peduli saat mendapati Mandy yang mengekori dirinya dengan tatapan mata.“Laki laki itu semakin membuatku penasaran,” ujar Mandy saat melihat mobil Peter meninggalkan halaman restoran itu.Peter terus membawa mobilnya menuju rumah. Ia menoleh sesaat ke arah rumah Tricia ketika selesai memasukkan mobil ke dalam carport rumahnya.“Apa yang sedang Tricia lakukan saat ini?” tanya Peter, ia berdiri sebentar di depan pintu mobilnya.“Sial. Kenapa aku merindukannya? Apa aku ke rumahnya sekarang atau meneleponnya?”Peter memukul pelan badan mobilnya kemudian melangkah, hendak menuju ke rumah Tricia.“Daad ...”Langkah Peter terhenti saat melihat malaikat kecilnya muncul dari balik pintu dan berlari ke arahnya.“Green,” panggil Peter kemudian membungkuk dan merentangkan kedua tangan menyambut pelukan Emily.“Dad, aku mendapatkan bintang banyak sekali di sekola
“Sial!”Sean memaki sambil melempar ponselnya ke atas meja. Ia kesal karena Tricia masih saja menolak panggilan telepon darinya, bahkan tidak ada satu pesan pun yang dibaca oleh wanita itu.“Dia benar benar membuatku gila,” omel Sean lagi.Mandy membuka pintu ruangan Sean. Ia membawa segelas kopi pagi hari ini.“Masih terlalu pagi untuk marah marah, Sean,” ujar Mandy sambil meletakkan kopi di meja atasannya itu.“Tricia. Wanita itu benar benar menyebalkan.”“Beri waktu saja kepadanya. Mungkin saat ini dia masih marah kepadamu.”“Ini semua karena dirimu!” bentak Sean.“Astaga, Sean. Dewasalah. Kau yang merengek kepadaku dengan alasan dingin karena hujan. Kau benar benar tidak tahu diri, Sean,” balas Mandy, kini ia tak peduli jika Sean adalah atasannya.“Seharusnya kau tahu jika Tricia datang.”“Bagaimana caranya aku bisa mengetahui kekasihmu itu datang sementara kau sibuk di atas tubuhku? Kau pikir aku ini keturunan shaman?”Sean mencibir mendengar jawaban Mandy.“Sikapmu malah membuat
“Kau sudah gila, Livy?!” teriak Ron sambil membanting daun pintu ruangan Livy.Wajah laki laki berbadan tinggi kurus dan berkulit pucat itu kini berwarna merah. Ia merasa kepala mau pecah karena baru saja menerima telepon berisi komplain dari berbagai pihak yang menjalin kerja sama dengan Livy.“Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu beberapa hari belakangan ini. Sikapmu aneh. Aku coba memaklumi jika kau merasa lelah karena jadwal yang padat, tetapi kau tidak bisa melakukan hal ini, Livy. Konser tunggalmu sudah di depan mata dan dengan seenaknya kau mau batalkan begitu saja? Sinting!”Livy terdiam. Ia sama sekali tidak menoleh ketika Ron masuk ke ruangannya sambil marah marah. Livy tetap berdiri di samping jendela, menatap entah ke mana.“Livy!” panggil Ron dengan suara sangat keras. Ia berdiri di tengah ruangan sambil menatap penuh emosi ke arah Livy.“Apa lagi sekarang, Liv? Setelah konser tunggal ini, kau akan tour musik dunia. Itu pun akan kau batalkan?”Ron meremas rambut d
Tricia baru saja keluar dari sebuah kantor yang menangani beberapa toko di daerah tempat tinggalnya. Setelah beberapa hari, ia memutuskan keluar rumah dan mencari pekerjaan baru.Selama berada di rumah, ia tidak berkomunikasi dengan Peter. Tricia merasa memerlukan waktu untuk mengayunkan langkah baru setelah kejadian yang ia lakukan. Ia menahan diri saat melihat sosok Peter dari dalam rumahnya.“Selalu ada sebab dan akibat dari semua keputusan yang dibuat. Aku pasti kuat dan mampu melewati semuanya saat ini,” ujar Tricia sambil menggenggam erat tas bawaannya.Beberapa langkah kemudian, ponsel Tricia berdering. Ia mengambil ponsel itu dari dalam tas kemudian menjawab panggilannya.“Mama,” ujarnya sebelum menekan tombol jawab.[Ya, Mom,] sapa Tricia.[Bagaimana kabarmu, Tricia?][Aku baik-baik saja, Mom.]Di dalam hati Tricia tidak berhenti berdoa berharap agar percakapan dirinya dan ibunya saat ini tidak berubah menjadi sebuah pertengkaran.[Apa kau masih memiliki uang untuk membiayai
Peter menahan diri saat sadar bahwa Tricia menghindari dirinya beberapa waktu belakangan. Ia pun tidak dapat menghalangi keputusan yang diambil wanita itu. Walau dalam hati, ia berani bersumpah jika dirinya berhak mendapat pendapat penjelasan.Peter sama sekali tidak menyangka jika siang ini Tricia muncul di hadapannya. Sejak pagi, tidak ada yang ia lakukan setelah mengantar Emily dan Miss Ann ke sekolah. Ia memutuskan membuat sebuah rumah kecil untuk seekor pudel yang diinginkan Emily.“Aku sangat merindukanmu, Tricia,” ujar Peter sambil berbisik dan memberi waktu pada mereka untuk mengendalikan diri.“Maaf. Aku tidak bermaksud menghindarimu,” jawab Tricia.Peter mengecup kening wanita itu. Entah apa yang akan terjadi jika ia menuruti emosinya beberapa hari yang lalu. Ia merasa hampir gila dan berniat menerobos masuk ke rumah Tricia. Namun, ia sadar jika hal itu dilakukan, ia tidak jauh berbeda dengan Sean.“Aku tahu, kau masih membutuhkan waktu. Aku tidak bisa memaksakan kehendak ke