"Mana Nini? Kenapa Mama tak melihat dia pagi ini?" tanyanya. Mata Mama mengitari setiap sudut dapur yang terjangkau oleh pandangannya. "Nini ke pasar. Bahan stok yang ada di kulkas pada habis. Jadi dia menawarkan diri untuk berbelanja," jawabku. Mama mengangguk. Aku menoleh pada Ammar yang tampak diam menikmati sarapannya. "Sayang, kamu kenapa diam saja?" tanyaku. Pertanyaan basa-basi di pagi hari. Sejak kecil hingga sekarang putraku memang seperti itu, tak banyak omong kecuali jika ada sesuatu yang penting saja, atau ada sesuatu yang mengganjal di hatinya."Tak ada, Ma. Lagi mikirin jawaban soal yang aku hapal tadi malam. Masuk ke dalam otak atau tidak? Atau justru keluar lagi melalui telinga," jawabnya asal. membuatku tersenyum sambil menyugar rambutnya yang masih basah. Waktu berjalan begitu cepat, Ammar yang perfect tidak mau masuk ke sekolah dalam keadaan terlambat. Jadi aku mengantar dirinya ke sekolah. Sepanjang perjalanan, putraku ini masih membuka buku dan menghapal. Men
"Happy birthday ya cantik, semoga tetap menjadi Ibu yang hebat, panjang umur dan murah rezeki dan tak lupa ... cepat nambah jodoh!" ucapnya membaut semua yang hadir tertawa. Satu persatu teman-temanku juga mengucapkan selamat padaku. Ada lima orang yang Irene undang dalam perayaan ulang tahunku kali ini.Laura dan Stevani serta Mas Yoga sedangkan dua lagi adalah dua orang lelaki yang aku tak tahu mereka adalah siapa. Mungkin saja pasangan Stevani atau Irene."Ya ampun ... lama nggak nampak, kamu jadi tambah cantik aja sih Intan. Jadi pangling, sumpah deh," ujar Stevani padaku. "Ah ... kalian bisa saja, oh ya ... Ammar sayang beri salam sama Om dan Tante ini," aku memanggil Ammar yang sedari tadi diam bergeming di sebelahku. Mungkin putraku itu bingung. "Hello ... tak bisakah kalian nanti saja mengerumuni pemeran utama kita malam ini. Kasihan si Pak duda ini yang sedari tadi memegang kue, tapi diabaikan!" sindir Irene terlalu ceplas-ceplos.Laura dan Stevani tertawa. Aku menghampir
Untuk sejenak aku terdiam. Hingga aku kembali menetralkan raut wajahku seperti semula. Mencoba setenang mungkin walau hati sedang bergulat. "Bercandamu benar-benar kuno, Mas. Ngomong-ngomong restoran ini baru, ya? Makanan disini enak-enak, aku suka," ucapku mengalihkan topik pembicaraan di antara kami. Hubungan dan pasangan, menjadi topik yang sangat sensitif bagiku saat ini. Belum satu tahun berpisah, lagi pula aku bukan lah perawan tua yang sedang di kejar umur yang harus cepat-cepat mencari pasangan baru. Aku mengalihkan pandanganku ke sembarang arah. Seolah menikmati pemandangan. Padahal sebenarnya aku sedang menghindari tatapan matanya yang tajam. Atmosfer di antara kami saat ini terasa begitu canggung bagiku. "Aku tidak bercanda Intan. Dan jangan mengalihkan topik pembicaraan," ucapnya. Mas Yoga meraih tanganku. Aku yang tersentak langsung menarik tanganku kembali dari genggaman tangannya. Aku meletakkan tanganku ke atas paha. Aku cukup terkejut dengan sikapnya yang sedikit
"Sebenarnya kejutan ini tu, Mas yoga yang mempersiapkan untukmu. Aku hanya membantunya saja. Aku tahu mungkin kamu nggak akan suka dengan apa yang aku katakan. Tapi menurut aku, tak ada salahnya kamu membuka diri. Jika kamu terus terpuruk dalam lukamu, maka bagaimana kamu akan bangkit. Toh ... kalian sama-sama singgle. Past record-nya cukup baik, dia pria yang setia!" tekannya membuat mataku membulat. Aku cukup terkejut dengan penjelasan sahabatku itu. Aku tak menyangka pria itu begitu repot-repot menyiapkan semua ini untukku. Aku akui catatan masa lalu Mas Yoga juga sangat baik, ia duda yang ditinggal mati, bertahun-tahun menduda ia juga tak begitu banyak mengenal wanita. Lebih fokus menjalani hidupnya sebagai orang tua tunggal. Tapi tetap saja, tak membuat hatiku bergeming."Ucapkan terima kasih padanya, dariku," ujarku akhirnya. Berusaha sesantai mungkin menghadapi pembahasan ini. Aku mengalihkan pandangan dengan memandang rumput di balik punggungnya. "Hanya terima kasih. Kamu pe
Sejak malam itu, aku terus menghindar dari Mas Yoga. Aku selalu saja beralasan saat ia memintaku untuk bertemu. Bahkan beberapa kali ia juga sempat datang ke rumahku dengan alasan Laras ingin bertemu. Pada akhirnya Laras justru bermain dengan Ammar, sedangkan dirinya justru mengobrol denganku. Hubungan kami bukannya semakin dekat justru semakin canggung. Apalagi saat Langit juga semakin gencar mendekatiku. Mereka berdua bagai dua sisi yang terus menerus menekanku. Membuat aku terbebani dengan keberadaan mereka.Ditambah lagi, dua hari yang lalu Mas Dika juga baru saja berkunjung ke rumah ini. Dengan alasan ingin bertemu dengan anaknya. Aku juga tak dapat melarang, toh ... Ammar memang putranya. Saat Mas Dika di rumah ini aku justru memilih berkurung di dalam kamar. Aku malas bertemu dengannya, setiap bertemu ia akan mengatakan hal yang sama. Memintaku untuk kembali rujuk padanya. Mereka bertiga seeprti harimau yang bertaruh mengejar target buruan. Siapa yang berhasil menaklukan?T
Pintu ruang ICU terbuka, aku segera bangkit dan menghampiri lelaki yang keluar dengan jas putih melekat pas di badannya. Tak lupa aku hapus terlebih dahulu air mata di wajahku dengan kasar. Sudah tak aku pedulikan lagi tampilanku yang begitu berantakan ini. Terpenting saat ini putraku. "Bagaimana dengan putra saya, Dok? Apa yang terjadi dengannya?" tanyaku tak sabar. "Apa beberapa hari belakangan ini putra Ibu ada mengalami gejala pusing, hilang nafsu makan dan gejala-gejala khusus lainnya?" Dokter itu justru melempar pertanyaan balik padaku. Membuatku berpikir sejenak, mengingat-ingat kembali."Iya, dia mengalami penurunan nafsu makan yang drastis. Sering mengeluh capek, padahal tidak mengerjakan apa pun. Hanya itu saja Dok, tidak ada yang lain," jawabku. Dokter itu mengangguk pelan."Memangnya putra saya sakit apa, Dok?" sambungku kembali. Hatiku begitu cemas dan berharap tak terjadi sesuatu yang serius dengan buah hatiku itu."Sabar Bu, saya belum bisa memastikan tentang penyaki
"Apa ... apa, yang harus saya lakukan, Dok?! Saya ingin anak saya sembuh. Tolong ... tolong selamatkan putra saya. Aku mohon!" Aku menangkupkan kedua tanganku di dada. Memohon padanya, walau aku tahu dokter bukanlah Tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati pasien yang ia tangani. Namun aku berharap anakku masih ada kesempatan. "Secepatnya kita harus melakukan operasi transplantasi hati. Mohon Ibu dan suami segera melakukan pengecekan kesehatan sekaligus untuk mengatahui tingkat kecocokan kalian. Biasanya salah satu orang tua pasti hatinya cocok untuk di donorkan pada sang anak." ucap dokter seakan menjadi angin segar serta harapan baru bagiku. "Baik Dok, saya dan Papanya akan segera melakukan pengecekan. Saya mohon Dok, selamatkan anak saya," aku menggenggam erat tangan Dokter Farida. Menatapnya penuh harap. Tak butuh waktu lama aku segera pamit dari ruangannya. Aku berjalan setengah berlari menuju ke arah keluar dari rumah sakit. Aku berjalan ke arah parkiran tergesa-gesa bagai o
"Mas! Apa kamu tak sadar apa yang kamu katakan. Hah! Ini anakmu, Mas! Darah dagingmu sendiri. Tega kamu membaut Ammar menunggu dalam kesakitan seperti itu! Dasar bajingan!" teriakku lantang padanya. Aku luapkan segala emosi yang terpendam di dada. Bagai bom waktu yang membuncah, menghabiskan segalanya. Hingga tak ada lagi kebaikan yang tersisa dan keluar dari mulutku ini."Kenapa tidak kamu saja yang mendonorkannya pada Ammar. Kenapa harus aku?" sungut Mas Dika. "Jika aku cocok, aku tak akan mengemis denganmu Mas. Jangankan hati, jantung pun akan aku beri. Maka sebab itu berdoa pada Tuhan biar hatiku saja yang cocok dengan Ammar. Karena Ayah yang dia banggakan hanya sayang di mulut saja! Begitu tega!" teriakku tak kalah menyungut. Api amarahku sudah sampai ke ubun-ubun rasanya. "Jangan sembarangan! Aku tak mungkin tega lah Intan. Aku juga tidak lepas tangan. Aku akan mencari donor yang cocok untuk Ammar secepatnya. Aku juga akan bayar berapapun harganya! Karena aku Ayah yang baik u