Pintu ruang ICU terbuka, aku segera bangkit dan menghampiri lelaki yang keluar dengan jas putih melekat pas di badannya. Tak lupa aku hapus terlebih dahulu air mata di wajahku dengan kasar. Sudah tak aku pedulikan lagi tampilanku yang begitu berantakan ini. Terpenting saat ini putraku. "Bagaimana dengan putra saya, Dok? Apa yang terjadi dengannya?" tanyaku tak sabar. "Apa beberapa hari belakangan ini putra Ibu ada mengalami gejala pusing, hilang nafsu makan dan gejala-gejala khusus lainnya?" Dokter itu justru melempar pertanyaan balik padaku. Membuatku berpikir sejenak, mengingat-ingat kembali."Iya, dia mengalami penurunan nafsu makan yang drastis. Sering mengeluh capek, padahal tidak mengerjakan apa pun. Hanya itu saja Dok, tidak ada yang lain," jawabku. Dokter itu mengangguk pelan."Memangnya putra saya sakit apa, Dok?" sambungku kembali. Hatiku begitu cemas dan berharap tak terjadi sesuatu yang serius dengan buah hatiku itu."Sabar Bu, saya belum bisa memastikan tentang penyaki
"Apa ... apa, yang harus saya lakukan, Dok?! Saya ingin anak saya sembuh. Tolong ... tolong selamatkan putra saya. Aku mohon!" Aku menangkupkan kedua tanganku di dada. Memohon padanya, walau aku tahu dokter bukanlah Tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati pasien yang ia tangani. Namun aku berharap anakku masih ada kesempatan. "Secepatnya kita harus melakukan operasi transplantasi hati. Mohon Ibu dan suami segera melakukan pengecekan kesehatan sekaligus untuk mengatahui tingkat kecocokan kalian. Biasanya salah satu orang tua pasti hatinya cocok untuk di donorkan pada sang anak." ucap dokter seakan menjadi angin segar serta harapan baru bagiku. "Baik Dok, saya dan Papanya akan segera melakukan pengecekan. Saya mohon Dok, selamatkan anak saya," aku menggenggam erat tangan Dokter Farida. Menatapnya penuh harap. Tak butuh waktu lama aku segera pamit dari ruangannya. Aku berjalan setengah berlari menuju ke arah keluar dari rumah sakit. Aku berjalan ke arah parkiran tergesa-gesa bagai o
"Mas! Apa kamu tak sadar apa yang kamu katakan. Hah! Ini anakmu, Mas! Darah dagingmu sendiri. Tega kamu membaut Ammar menunggu dalam kesakitan seperti itu! Dasar bajingan!" teriakku lantang padanya. Aku luapkan segala emosi yang terpendam di dada. Bagai bom waktu yang membuncah, menghabiskan segalanya. Hingga tak ada lagi kebaikan yang tersisa dan keluar dari mulutku ini."Kenapa tidak kamu saja yang mendonorkannya pada Ammar. Kenapa harus aku?" sungut Mas Dika. "Jika aku cocok, aku tak akan mengemis denganmu Mas. Jangankan hati, jantung pun akan aku beri. Maka sebab itu berdoa pada Tuhan biar hatiku saja yang cocok dengan Ammar. Karena Ayah yang dia banggakan hanya sayang di mulut saja! Begitu tega!" teriakku tak kalah menyungut. Api amarahku sudah sampai ke ubun-ubun rasanya. "Jangan sembarangan! Aku tak mungkin tega lah Intan. Aku juga tidak lepas tangan. Aku akan mencari donor yang cocok untuk Ammar secepatnya. Aku juga akan bayar berapapun harganya! Karena aku Ayah yang baik u
Sesampainya di ruangan Dokter Farida, aku langsung disambut dan di suruh duduk di hadapannya. Aku duduk dengan diam menunggu kabar baik darinya. Dokter Farida membuka amplop dengan logo rumah sakit. Sama seperti kemarin. Namun bedanya kali ini ia yang membukanya sendiri secara langsung, bukan di berikan padaku. Dokter Farida membaca yang tertulis di kertas itu sejenak. Aku merapalkan mantra di dalam hati. Semoga aku lah yang cocok menjadi pendonornya. Semoga aku bisa. ujarku di batin penuh harap. Dari hasil pemeriksaan laboratorium kami. Organ hati yang cocok di donorkan adalah milik Pak Dika selaku Ayah kandungnya. Sedangkan punya Ibu Intan tak bisa," jelas Dokter Farida membuat tubuhku menjadi lemas. "Kenapa saya tak bisa Dok. Bukankah saya Ibu kandungnya?" protesku. Tubuhku melemas. Sudah terbayang di dalam otakku bagaimana sulitnya membujuk Mas Dika Nantinya. Aku terkadang berpikir kenapa dulu aku mau menikah dengannya. Memaklumi semua sifat-sifatnya hanya karena mulutnya yan
Aku memang bukan Ibu yang hebat, yang bisa memberikan keluarga yang sempurna. Menjamin ia kan selalu bahagia dalam setiap tumbuh kembangnya tanpa adanya sedikit pun air mata. Tapi aku pastikan satu hal. Aku akan selalu ada saat ia terjatuh, mengukurkan tangan membantunya untuk berdiri. Menghapus air matanya saat ia menagis. Memberikan punggungku untuknya bersandar di saat letih. Walau kini khayalanku untuk membesarkannya bersama seoarang suami, kini sirna seiringnya berjalannya waktu. Tak ada cinta yang abadi antara seorang lelaki dan perempuan. Semuanya bisa berubah seiring waktu yang terus berputar. Kata kami bertiga, kini berubah menjadi kita berdua, hanya ada aku dan Ammar saja.Aku tak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Dalam keadaaan sedih ataupun senang sekali pun. Kecuali dalam keadaan mendesak. Walau aku bukan lah hamba yang begitu taat, tapi setidaknya kewajiban lima waktuku kujalani dengan ketulusan hati. Karena saat menjalani hidupku yang terasa begitu pelik, hanya
Bagai orang yang tengah lomba jalan cepat. Aku mengayunkan langkah kakiku yang kini terasa begitu ringan. Seakan beban di hatiku terangkat sebagian. Lilin harapan yang tadi padam kini mulai berpijar kembali. Aku melangkah sangat cepat, meninggalkan Mas Yoga, Irene serta Mama di belakang. Andai saja berlari tidak di larang. Mungkin aku sudah berlari bagaikan atlet lari profesional.Aku sampai di ruang operasi bertepatan dengan brangkar Ammar yang sampai. Kutahan brangkar itu sejenak. Menatap wajah putraku yang terpejam. Mencium keningnya lembut dan begitu dalam."Mama yakin, Ammar kuat, Nak. Kamu pasti kuat! Jangan kecewakan Mama sayang. Mama menunggu Ammar di sini, ya. Ammar janji akan datang ke pelukan Mama kan, Nak!" ujarku lirih. Air mata ini kembali menangis. Beberapa hari ini aku seakan mengeluarkan semua simpanan air mataku. Seperti sedang mengurasnya hingga tuntas saja."Maaf Bu Intan. Tolong menyingkir segera, karena operasi harus di lakukan segera!" ucap Dokter Farida. Aku
Sunyi, senyap mencekam. Raut wajah, Dokter Farida pun berubah tak seperti biasanya. Sulit untuk aku artikan. Aku duduk di hadapannya bagaikan orang yang sedang menunggu sidang hukuman atas kesalahan. Entah kesalahan yang mana yang aku perbuat."Dok, apa saya ada salah? Kenapa Dokter menatap saya. Seperti itu?" tanyaku canggung. Wajah Dokter Farida tak seramah saat kami bertemu. Seperti ada raut jengkel dari dirinya untukku. "Tidak ada, ini untukmu!" ujarnya sambil menyodorkan sebuah amplop yang semakin membuatku bingung."Apa ini Dok?" tanyaku lagi."Buka saja, bukannya kamu ingin tahu siapa orang yang mendonorkan hatinya untuk putramu bukan?" jelas Dokter Farida yang terasa ganjal di telingaku. 'Kamu?' bukannya selama ini Dokter Farida memanggilku dengan sangat formal. Kenapa hari ini berubah? Namun nada suaranya? Ah, sudahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku yang masih diliputi kebingungan mencoba untuk santai dan menerima surat itu. Membukanya dengan perlahan namun belum
"Aku sudah baca suratmu. Terima kasih, terima kasih atas pengorbanan yang kamu lakukan padaku. Kamu boleh kok, memanggilku sayang. Sepuas apa pun yang kamu mau," kataku.Salah satu tanganku mengusap wajahnya yang tampak tirus. Rambut-rambut halus tumbuh di sana. Rasa-rasanya baru dua minggu kami tak bertemu, namun ia pun tampak sama berantakannya denganku. "Kenapa, kenapa kamu melakukan semua ini. Hatimu terbuat dari apa? Saat Ayah kandungnya saja mengabaikan, lalu kenapa kamu menjadi pahlawan. Bukankah dia bukan darah dagingmu?" kataku terus bercerita. Walau tak mendapat respons darinya. "Kamu tahu, sikap kamu seperti ini membuatku menjadi orang yang jahat, Langit. Kenapa kamu mengambil keputusan yang beresiko ini tanpa memberi tahu aku terlebih dahulu, kenapa? Kamu mau orang-orang menganggapku jahat padamu. Hmm!" ujarku lagi. Berbicara sendiri."Bangun Langit! Bangun ... dan jelaskan semuanya padaku. Aku mohon jangan pergi, jangan tutup matamu lama-lama. Aku tak sanggup melihatmu