Home / Romansa / Simpanan! / 105. Donor Hati Untuk Ammar.

Share

105. Donor Hati Untuk Ammar.

last update Last Updated: 2024-02-26 14:48:56

"Apa ... apa, yang harus saya lakukan, Dok?! Saya ingin anak saya sembuh. Tolong ... tolong selamatkan putra saya. Aku mohon!" Aku menangkupkan kedua tanganku di dada. Memohon padanya, walau aku tahu dokter bukanlah Tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati pasien yang ia tangani. Namun aku berharap anakku masih ada kesempatan.

"Secepatnya kita harus melakukan operasi transplantasi hati. Mohon Ibu dan suami segera melakukan pengecekan kesehatan sekaligus untuk mengatahui tingkat kecocokan kalian. Biasanya salah satu orang tua pasti hatinya cocok untuk di donorkan pada sang anak." ucap dokter seakan menjadi angin segar serta harapan baru bagiku.

"Baik Dok, saya dan Papanya akan segera melakukan pengecekan. Saya mohon Dok, selamatkan anak saya," aku menggenggam erat tangan Dokter Farida. Menatapnya penuh harap. Tak butuh waktu lama aku segera pamit dari ruangannya.

Aku berjalan setengah berlari menuju ke arah keluar dari rumah sakit. Aku berjalan ke arah parkiran tergesa-gesa bagai o
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Simpanan!   106. Lelaki Pengecut.

    "Mas! Apa kamu tak sadar apa yang kamu katakan. Hah! Ini anakmu, Mas! Darah dagingmu sendiri. Tega kamu membaut Ammar menunggu dalam kesakitan seperti itu! Dasar bajingan!" teriakku lantang padanya. Aku luapkan segala emosi yang terpendam di dada. Bagai bom waktu yang membuncah, menghabiskan segalanya. Hingga tak ada lagi kebaikan yang tersisa dan keluar dari mulutku ini."Kenapa tidak kamu saja yang mendonorkannya pada Ammar. Kenapa harus aku?" sungut Mas Dika. "Jika aku cocok, aku tak akan mengemis denganmu Mas. Jangankan hati, jantung pun akan aku beri. Maka sebab itu berdoa pada Tuhan biar hatiku saja yang cocok dengan Ammar. Karena Ayah yang dia banggakan hanya sayang di mulut saja! Begitu tega!" teriakku tak kalah menyungut. Api amarahku sudah sampai ke ubun-ubun rasanya. "Jangan sembarangan! Aku tak mungkin tega lah Intan. Aku juga tidak lepas tangan. Aku akan mencari donor yang cocok untuk Ammar secepatnya. Aku juga akan bayar berapapun harganya! Karena aku Ayah yang baik u

    Last Updated : 2024-02-26
  • Simpanan!   107. Pertolongan yang Datang.

    Sesampainya di ruangan Dokter Farida, aku langsung disambut dan di suruh duduk di hadapannya. Aku duduk dengan diam menunggu kabar baik darinya. Dokter Farida membuka amplop dengan logo rumah sakit. Sama seperti kemarin. Namun bedanya kali ini ia yang membukanya sendiri secara langsung, bukan di berikan padaku. Dokter Farida membaca yang tertulis di kertas itu sejenak. Aku merapalkan mantra di dalam hati. Semoga aku lah yang cocok menjadi pendonornya. Semoga aku bisa. ujarku di batin penuh harap. Dari hasil pemeriksaan laboratorium kami. Organ hati yang cocok di donorkan adalah milik Pak Dika selaku Ayah kandungnya. Sedangkan punya Ibu Intan tak bisa," jelas Dokter Farida membuat tubuhku menjadi lemas. "Kenapa saya tak bisa Dok. Bukankah saya Ibu kandungnya?" protesku. Tubuhku melemas. Sudah terbayang di dalam otakku bagaimana sulitnya membujuk Mas Dika Nantinya. Aku terkadang berpikir kenapa dulu aku mau menikah dengannya. Memaklumi semua sifat-sifatnya hanya karena mulutnya yan

    Last Updated : 2024-02-26
  • Simpanan!   108. Sebuah Penggarapan.

    Aku memang bukan Ibu yang hebat, yang bisa memberikan keluarga yang sempurna. Menjamin ia kan selalu bahagia dalam setiap tumbuh kembangnya tanpa adanya sedikit pun air mata. Tapi aku pastikan satu hal. Aku akan selalu ada saat ia terjatuh, mengukurkan tangan membantunya untuk berdiri. Menghapus air matanya saat ia menagis. Memberikan punggungku untuknya bersandar di saat letih. Walau kini khayalanku untuk membesarkannya bersama seoarang suami, kini sirna seiringnya berjalannya waktu. Tak ada cinta yang abadi antara seorang lelaki dan perempuan. Semuanya bisa berubah seiring waktu yang terus berputar. Kata kami bertiga, kini berubah menjadi kita berdua, hanya ada aku dan Ammar saja.Aku tak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Dalam keadaaan sedih ataupun senang sekali pun. Kecuali dalam keadaan mendesak. Walau aku bukan lah hamba yang begitu taat, tapi setidaknya kewajiban lima waktuku kujalani dengan ketulusan hati. Karena saat menjalani hidupku yang terasa begitu pelik, hanya

    Last Updated : 2024-02-28
  • Simpanan!   109. Malaikat Penolong.

    Bagai orang yang tengah lomba jalan cepat. Aku mengayunkan langkah kakiku yang kini terasa begitu ringan. Seakan beban di hatiku terangkat sebagian. Lilin harapan yang tadi padam kini mulai berpijar kembali. Aku melangkah sangat cepat, meninggalkan Mas Yoga, Irene serta Mama di belakang. Andai saja berlari tidak di larang. Mungkin aku sudah berlari bagaikan atlet lari profesional.Aku sampai di ruang operasi bertepatan dengan brangkar Ammar yang sampai. Kutahan brangkar itu sejenak. Menatap wajah putraku yang terpejam. Mencium keningnya lembut dan begitu dalam."Mama yakin, Ammar kuat, Nak. Kamu pasti kuat! Jangan kecewakan Mama sayang. Mama menunggu Ammar di sini, ya. Ammar janji akan datang ke pelukan Mama kan, Nak!" ujarku lirih. Air mata ini kembali menangis. Beberapa hari ini aku seakan mengeluarkan semua simpanan air mataku. Seperti sedang mengurasnya hingga tuntas saja."Maaf Bu Intan. Tolong menyingkir segera, karena operasi harus di lakukan segera!" ucap Dokter Farida. Aku

    Last Updated : 2024-02-28
  • Simpanan!   110. Mantan Terindah.

    Sunyi, senyap mencekam. Raut wajah, Dokter Farida pun berubah tak seperti biasanya. Sulit untuk aku artikan. Aku duduk di hadapannya bagaikan orang yang sedang menunggu sidang hukuman atas kesalahan. Entah kesalahan yang mana yang aku perbuat."Dok, apa saya ada salah? Kenapa Dokter menatap saya. Seperti itu?" tanyaku canggung. Wajah Dokter Farida tak seramah saat kami bertemu. Seperti ada raut jengkel dari dirinya untukku. "Tidak ada, ini untukmu!" ujarnya sambil menyodorkan sebuah amplop yang semakin membuatku bingung."Apa ini Dok?" tanyaku lagi."Buka saja, bukannya kamu ingin tahu siapa orang yang mendonorkan hatinya untuk putramu bukan?" jelas Dokter Farida yang terasa ganjal di telingaku. 'Kamu?' bukannya selama ini Dokter Farida memanggilku dengan sangat formal. Kenapa hari ini berubah? Namun nada suaranya? Ah, sudahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku yang masih diliputi kebingungan mencoba untuk santai dan menerima surat itu. Membukanya dengan perlahan namun belum

    Last Updated : 2024-02-28
  • Simpanan!   111. Amarah Seorang Ibu.

    "Aku sudah baca suratmu. Terima kasih, terima kasih atas pengorbanan yang kamu lakukan padaku. Kamu boleh kok, memanggilku sayang. Sepuas apa pun yang kamu mau," kataku.Salah satu tanganku mengusap wajahnya yang tampak tirus. Rambut-rambut halus tumbuh di sana. Rasa-rasanya baru dua minggu kami tak bertemu, namun ia pun tampak sama berantakannya denganku. "Kenapa, kenapa kamu melakukan semua ini. Hatimu terbuat dari apa? Saat Ayah kandungnya saja mengabaikan, lalu kenapa kamu menjadi pahlawan. Bukankah dia bukan darah dagingmu?" kataku terus bercerita. Walau tak mendapat respons darinya. "Kamu tahu, sikap kamu seperti ini membuatku menjadi orang yang jahat, Langit. Kenapa kamu mengambil keputusan yang beresiko ini tanpa memberi tahu aku terlebih dahulu, kenapa? Kamu mau orang-orang menganggapku jahat padamu. Hmm!" ujarku lagi. Berbicara sendiri."Bangun Langit! Bangun ... dan jelaskan semuanya padaku. Aku mohon jangan pergi, jangan tutup matamu lama-lama. Aku tak sanggup melihatmu

    Last Updated : 2024-02-28
  • Simpanan!   112. Fakta Tentang Masa Lalu.

    "Mbak sudah! Tahan emosimu, Mbak. Kita bicarakan semua dengan kepala dingin! Ini rumah sakit Mbak!" ujar Dokter Farida. Ia sedang mencoba menenangkan induk singa yang sedang mengamuk karena anaknya terluka. Naasnya, aku lah yang menjadi bulanan kemarahan induk singa tersebut. Andai ada lobang di sini. Aku ingin sekali membenamkan tubuhku ke dalam lobang tersebut. Aku merasa tubuhku kecil di kelilingi para raksasa yang memaki-maki diriku dan siap menerkamku.Bisikan para penonton bagai suara nyamuk yang berdenging di telinga. Berisik dan menyakitkan hati. Mereka berkomentar seolah mereka tahu segalanya. "Diam kamu Farida. Rumah sakitmu ini bisa aku tuntut!" Telunjuk Bu Dahlia menunjuk ke arah Dokter Farida. Lalu secepat membalikkan telapak tangan beralih padaku. Tatapn mata itu semakin tajam. Hilang sudah image lemah lembut yang selaam ini aku ketahui tentangnya. Ternyata orang yang lembut saat marah jauh lebih mengerikan dari yang bisa aku banyangkan. "Dan kamu! Mana lelaki yang be

    Last Updated : 2024-02-28
  • Simpanan!   113. Tabir Masa Lalu.

    Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P

    Last Updated : 2024-02-29

Latest chapter

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

  • Simpanan!   115. Penyesalan yang Terlambat.

    Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak

  • Simpanan!   114. Tertikam dari Belakang.

    "Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe

  • Simpanan!   113. Tabir Masa Lalu.

    Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P

DMCA.com Protection Status