Rintik gerimis datang tanpa diundang. Membasahi hati yang gersang. Suaranya yang pelan kini mulai nyaring terdengar seiring intensitas air yang jatuh kian deras. Seketika udara dingin menerpa kulitku, membawa wangi tanah basah ke dalam Indra penciuman. Daun dan ilalang menari riang merasakan air segar yang membasahi setiap bagian lukuk tubuh mereka. Seakan menari-nari menyambut kehadirannya yang telah lama membuat dahaga. Aku yang duduk di pinggir ranjang kini beranjak menuju jendela. Berdiri diam menikmati udara dingin seraya menatap indahnya bunga yang menantang sang langit. Seakan mengucapkan terima kasih.Matahari belum naik sepenuhnya sampai ke singgasana, namun sudah diusir balik oleh awan hitam yang beriringan seperti ketua genk yang berkuasa mengusir sang pemilik siang. Langit seolah ikut bersedih dengan nasib yang kami alami. Seharian hujan menerpa tiada henti. Aku yang bosan menunggu memilih untuk pergi menjemput putraku Ammar. Rencana kepindahanku sudah di atur begitu rap
"Nggak Intan. Mas nggak bisa! Mas nggak bisa jika kamu pergi dari Mas. Beri Mas Kesempatan lagi. Satu kali saja! Mas janji, Mas janji tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama!" Mas Dika kembali membujuk. Namun sayang hatiku sudah karam. Tak mampu lagi untuk berlayar bersamanya. " Aku memafkanmu, tapi untuk berlayar lagi serta membangun rumah tangga denganmu. Aku tak mampu. Kadang kita tak pernah tau nilai suatu momen sampai ia jadi kenangan! Dan kamu telah menghancurkan semua kenangan itu," Kini aku sedikit menepis tangan Mas Dika. Lalu membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalamnya.Kuhidupkan mesin mobil dan membawa mobil ini berjalan meninggalkan ia yang berdiri seorang diri. Menatap kepergianku di bawah hujan yang mengguyuri payungnya. "Ma ... apa Mama tak bisa memaafkan Papa? Apa memafkan itu begitu sulit?" ujar putraku ragu-ragu di tengah perjalanan kami. Aku menoleh sekilas ke arah putraku. Senyum tipisku tersunging di bibir untuknya.Aku lupa jika putraku bukanlah p
Mataku memindai setiap saung, satu demi satu. Hingga tak sengaja mataku bertemu pada mata seorang pria yang sangat aku kenal. Ia sedang duduk berdua dengan temannya. Senyum tipisnya terukir menyapaku. Aku hanya diam dan mengalihkan pandangan. Di antara banyak tempat, kenapa kami harus bertemu di tempat ini? Seketika aku merutuki kebodohanku. Tentu saja saja kami akan bertemu di sini. Bukannya ini adalah tempat favorit kami saat masih pacaran dulu. Tempat yang paling aku sukai. "Apa kabar Intan?" sapanya padaku membuatku terkejut. Baru sebentar mengalihkan pandangan, pria ini sudah berada di hadapanku saja seperti hantu. Tanpa izin dariku dia langsung naik dan duduk di hadapanku. Bola mataku melebar. "Kabar baik. Kenapa kamu di sini?" "Kenapa? Apa tak boleh?" tanyanya balik dengan wajah sok polos. "Tentu! Kamu tadi bersama temanmu jadi duduklah dengannya. Lagi pula tak enak di lihat orang," jelasku. Namun pria di hadapanku ini seolah tak peduli. Dari dulu langit memang begitu, ia
Aku menendang nendang ban belakangku keras. Bagaimana bisa banku bocor begini. Padahal tadi masih baik-baik saja. "Kenapa Intan? Apa ada masalah?" Aku menoleh dan menatap Langit sangar. Wajah polos tak berdosanya membuatku bertambah kesal. "Nggak usah sok tak tahu deh ... ini pasti ulah kamu, kan? Iseng banget jadi orang!" tuduhku. Langit melebarkan matanya seakan kaget mendengar ucapanku. "Jangan su'udzon sama orang. Bagaimana aku melakukannya, sedangkan aku saja makan sama kamu tadi. Memang bannya ban kamu kempes. Apa kempes saat kamu datang kesini? Kamu aja yang nggak merasa," dalihnya. Dia pikir aku baru belajar naik mobil apa. Sampa-sampai ban mobil oleng nggak kerasa. Aku mengambil ponselku yang ada di saku celana. Merapatkan jaket yang aku kenakan. Angin malam yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Aku menekan kombinasi angka yang di berikan Mas Yoga padaku waktu itu. Nomor seorang montir yang dapat membantuku. "Kamu menelpon siapa?" tanya Langit penuh selidik. "Su
Mas Dika membalas tatapan tajam Langit. Ia bertambah kesal mendengar ucapan lelaki yang pernah menjadi temannya itu. Mas Dika kembali melayangkan kepalan tangannya pada Langit. Langit yang gesit menahan tinjuan itu dan berbalik meninju Mas Dika. Langit mendaratkan tiga bogem mentah ke arah Mas Dika. Tepat ke arah wajah dan perut. Membuat Mas Dika mundur beberapa langkah. Darahnya seakan mendidih, ia memukul Mas Dika secara membabi-buta. Walau Mas Dika beberapa kali menahan, namun ia tetap kalah tenaga dari Langit."Kamu itu tak pantas untuknya. Aku menyesal membiarkan dia hidup denganmu. Jika tahu kamu akan menyakitinya, maka aku sudah pasti merebutnya dari dulu! Dasar brengsek!" Lagi-lagi Langit kembali menghantam tinjunya yang langsung di tepis Mas Dika yang sigap.Mas Dika tidak tinggal diam. Ia mencoba membalas pukulan Langit kembali. Langit yang sudah terbawa emosi menjadi tidak fokus. Satu pukulan pun akhirnya lolos di wajahnya. Hingga menyebabkan bibirnya sedikit robek dan men
"Tak tertarik, menikah itu merepotkan. Kecuali jika kamu yang mengajakku menikah, dengan senang hati aku menerimanya," jawabnya yang terdengar asal di telingaku. "Jangan ngaur. Aku tak berminat menjalin rumah tangga lagi setelah apa yang terjadi. Menyendiri lebih baik sambil fokus untuk membesarkan Ammar," balasku tegas. Wajah Langit seketika berubah datar. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. "Sudah selesai! Mungkin untuk beberapa hari kamu akan merasakan nyeri di bibirmu. Untung hanya sobek sedikit!" Aku memundurkan bangkuku menjauh sedikit darinya, lalu menyusun kembali peralatan yang aku gunakan tadi. "Menikahlah Langit. Carilah wanita untuk menjadi pendamping hidupmu. Apa kamu tak risih dengan tanggapan orang yang negatif padamu. Kisah di antara kita telah usai. Kamu baik, aku yakin kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik. Jangan sia-siakan hidupmu untuk sesuatu yang tak pasti," tegurku. Mungkin terdengar begitu jahat. Tapi lebih baik mengatakan apa adanya tanpa ha
"Mana Nini? Kenapa Mama tak melihat dia pagi ini?" tanyanya. Mata Mama mengitari setiap sudut dapur yang terjangkau oleh pandangannya. "Nini ke pasar. Bahan stok yang ada di kulkas pada habis. Jadi dia menawarkan diri untuk berbelanja," jawabku. Mama mengangguk. Aku menoleh pada Ammar yang tampak diam menikmati sarapannya. "Sayang, kamu kenapa diam saja?" tanyaku. Pertanyaan basa-basi di pagi hari. Sejak kecil hingga sekarang putraku memang seperti itu, tak banyak omong kecuali jika ada sesuatu yang penting saja, atau ada sesuatu yang mengganjal di hatinya."Tak ada, Ma. Lagi mikirin jawaban soal yang aku hapal tadi malam. Masuk ke dalam otak atau tidak? Atau justru keluar lagi melalui telinga," jawabnya asal. membuatku tersenyum sambil menyugar rambutnya yang masih basah. Waktu berjalan begitu cepat, Ammar yang perfect tidak mau masuk ke sekolah dalam keadaan terlambat. Jadi aku mengantar dirinya ke sekolah. Sepanjang perjalanan, putraku ini masih membuka buku dan menghapal. Men
"Happy birthday ya cantik, semoga tetap menjadi Ibu yang hebat, panjang umur dan murah rezeki dan tak lupa ... cepat nambah jodoh!" ucapnya membaut semua yang hadir tertawa. Satu persatu teman-temanku juga mengucapkan selamat padaku. Ada lima orang yang Irene undang dalam perayaan ulang tahunku kali ini.Laura dan Stevani serta Mas Yoga sedangkan dua lagi adalah dua orang lelaki yang aku tak tahu mereka adalah siapa. Mungkin saja pasangan Stevani atau Irene."Ya ampun ... lama nggak nampak, kamu jadi tambah cantik aja sih Intan. Jadi pangling, sumpah deh," ujar Stevani padaku. "Ah ... kalian bisa saja, oh ya ... Ammar sayang beri salam sama Om dan Tante ini," aku memanggil Ammar yang sedari tadi diam bergeming di sebelahku. Mungkin putraku itu bingung. "Hello ... tak bisakah kalian nanti saja mengerumuni pemeran utama kita malam ini. Kasihan si Pak duda ini yang sedari tadi memegang kue, tapi diabaikan!" sindir Irene terlalu ceplas-ceplos.Laura dan Stevani tertawa. Aku menghampir