Mataku memindai setiap saung, satu demi satu. Hingga tak sengaja mataku bertemu pada mata seorang pria yang sangat aku kenal. Ia sedang duduk berdua dengan temannya. Senyum tipisnya terukir menyapaku. Aku hanya diam dan mengalihkan pandangan. Di antara banyak tempat, kenapa kami harus bertemu di tempat ini? Seketika aku merutuki kebodohanku. Tentu saja saja kami akan bertemu di sini. Bukannya ini adalah tempat favorit kami saat masih pacaran dulu. Tempat yang paling aku sukai. "Apa kabar Intan?" sapanya padaku membuatku terkejut. Baru sebentar mengalihkan pandangan, pria ini sudah berada di hadapanku saja seperti hantu. Tanpa izin dariku dia langsung naik dan duduk di hadapanku. Bola mataku melebar. "Kabar baik. Kenapa kamu di sini?" "Kenapa? Apa tak boleh?" tanyanya balik dengan wajah sok polos. "Tentu! Kamu tadi bersama temanmu jadi duduklah dengannya. Lagi pula tak enak di lihat orang," jelasku. Namun pria di hadapanku ini seolah tak peduli. Dari dulu langit memang begitu, ia
Aku menendang nendang ban belakangku keras. Bagaimana bisa banku bocor begini. Padahal tadi masih baik-baik saja. "Kenapa Intan? Apa ada masalah?" Aku menoleh dan menatap Langit sangar. Wajah polos tak berdosanya membuatku bertambah kesal. "Nggak usah sok tak tahu deh ... ini pasti ulah kamu, kan? Iseng banget jadi orang!" tuduhku. Langit melebarkan matanya seakan kaget mendengar ucapanku. "Jangan su'udzon sama orang. Bagaimana aku melakukannya, sedangkan aku saja makan sama kamu tadi. Memang bannya ban kamu kempes. Apa kempes saat kamu datang kesini? Kamu aja yang nggak merasa," dalihnya. Dia pikir aku baru belajar naik mobil apa. Sampa-sampai ban mobil oleng nggak kerasa. Aku mengambil ponselku yang ada di saku celana. Merapatkan jaket yang aku kenakan. Angin malam yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Aku menekan kombinasi angka yang di berikan Mas Yoga padaku waktu itu. Nomor seorang montir yang dapat membantuku. "Kamu menelpon siapa?" tanya Langit penuh selidik. "Su
Mas Dika membalas tatapan tajam Langit. Ia bertambah kesal mendengar ucapan lelaki yang pernah menjadi temannya itu. Mas Dika kembali melayangkan kepalan tangannya pada Langit. Langit yang gesit menahan tinjuan itu dan berbalik meninju Mas Dika. Langit mendaratkan tiga bogem mentah ke arah Mas Dika. Tepat ke arah wajah dan perut. Membuat Mas Dika mundur beberapa langkah. Darahnya seakan mendidih, ia memukul Mas Dika secara membabi-buta. Walau Mas Dika beberapa kali menahan, namun ia tetap kalah tenaga dari Langit."Kamu itu tak pantas untuknya. Aku menyesal membiarkan dia hidup denganmu. Jika tahu kamu akan menyakitinya, maka aku sudah pasti merebutnya dari dulu! Dasar brengsek!" Lagi-lagi Langit kembali menghantam tinjunya yang langsung di tepis Mas Dika yang sigap.Mas Dika tidak tinggal diam. Ia mencoba membalas pukulan Langit kembali. Langit yang sudah terbawa emosi menjadi tidak fokus. Satu pukulan pun akhirnya lolos di wajahnya. Hingga menyebabkan bibirnya sedikit robek dan men
"Tak tertarik, menikah itu merepotkan. Kecuali jika kamu yang mengajakku menikah, dengan senang hati aku menerimanya," jawabnya yang terdengar asal di telingaku. "Jangan ngaur. Aku tak berminat menjalin rumah tangga lagi setelah apa yang terjadi. Menyendiri lebih baik sambil fokus untuk membesarkan Ammar," balasku tegas. Wajah Langit seketika berubah datar. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. "Sudah selesai! Mungkin untuk beberapa hari kamu akan merasakan nyeri di bibirmu. Untung hanya sobek sedikit!" Aku memundurkan bangkuku menjauh sedikit darinya, lalu menyusun kembali peralatan yang aku gunakan tadi. "Menikahlah Langit. Carilah wanita untuk menjadi pendamping hidupmu. Apa kamu tak risih dengan tanggapan orang yang negatif padamu. Kisah di antara kita telah usai. Kamu baik, aku yakin kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik. Jangan sia-siakan hidupmu untuk sesuatu yang tak pasti," tegurku. Mungkin terdengar begitu jahat. Tapi lebih baik mengatakan apa adanya tanpa ha
"Mana Nini? Kenapa Mama tak melihat dia pagi ini?" tanyanya. Mata Mama mengitari setiap sudut dapur yang terjangkau oleh pandangannya. "Nini ke pasar. Bahan stok yang ada di kulkas pada habis. Jadi dia menawarkan diri untuk berbelanja," jawabku. Mama mengangguk. Aku menoleh pada Ammar yang tampak diam menikmati sarapannya. "Sayang, kamu kenapa diam saja?" tanyaku. Pertanyaan basa-basi di pagi hari. Sejak kecil hingga sekarang putraku memang seperti itu, tak banyak omong kecuali jika ada sesuatu yang penting saja, atau ada sesuatu yang mengganjal di hatinya."Tak ada, Ma. Lagi mikirin jawaban soal yang aku hapal tadi malam. Masuk ke dalam otak atau tidak? Atau justru keluar lagi melalui telinga," jawabnya asal. membuatku tersenyum sambil menyugar rambutnya yang masih basah. Waktu berjalan begitu cepat, Ammar yang perfect tidak mau masuk ke sekolah dalam keadaan terlambat. Jadi aku mengantar dirinya ke sekolah. Sepanjang perjalanan, putraku ini masih membuka buku dan menghapal. Men
"Happy birthday ya cantik, semoga tetap menjadi Ibu yang hebat, panjang umur dan murah rezeki dan tak lupa ... cepat nambah jodoh!" ucapnya membaut semua yang hadir tertawa. Satu persatu teman-temanku juga mengucapkan selamat padaku. Ada lima orang yang Irene undang dalam perayaan ulang tahunku kali ini.Laura dan Stevani serta Mas Yoga sedangkan dua lagi adalah dua orang lelaki yang aku tak tahu mereka adalah siapa. Mungkin saja pasangan Stevani atau Irene."Ya ampun ... lama nggak nampak, kamu jadi tambah cantik aja sih Intan. Jadi pangling, sumpah deh," ujar Stevani padaku. "Ah ... kalian bisa saja, oh ya ... Ammar sayang beri salam sama Om dan Tante ini," aku memanggil Ammar yang sedari tadi diam bergeming di sebelahku. Mungkin putraku itu bingung. "Hello ... tak bisakah kalian nanti saja mengerumuni pemeran utama kita malam ini. Kasihan si Pak duda ini yang sedari tadi memegang kue, tapi diabaikan!" sindir Irene terlalu ceplas-ceplos.Laura dan Stevani tertawa. Aku menghampir
Untuk sejenak aku terdiam. Hingga aku kembali menetralkan raut wajahku seperti semula. Mencoba setenang mungkin walau hati sedang bergulat. "Bercandamu benar-benar kuno, Mas. Ngomong-ngomong restoran ini baru, ya? Makanan disini enak-enak, aku suka," ucapku mengalihkan topik pembicaraan di antara kami. Hubungan dan pasangan, menjadi topik yang sangat sensitif bagiku saat ini. Belum satu tahun berpisah, lagi pula aku bukan lah perawan tua yang sedang di kejar umur yang harus cepat-cepat mencari pasangan baru. Aku mengalihkan pandanganku ke sembarang arah. Seolah menikmati pemandangan. Padahal sebenarnya aku sedang menghindari tatapan matanya yang tajam. Atmosfer di antara kami saat ini terasa begitu canggung bagiku. "Aku tidak bercanda Intan. Dan jangan mengalihkan topik pembicaraan," ucapnya. Mas Yoga meraih tanganku. Aku yang tersentak langsung menarik tanganku kembali dari genggaman tangannya. Aku meletakkan tanganku ke atas paha. Aku cukup terkejut dengan sikapnya yang sedikit
"Sebenarnya kejutan ini tu, Mas yoga yang mempersiapkan untukmu. Aku hanya membantunya saja. Aku tahu mungkin kamu nggak akan suka dengan apa yang aku katakan. Tapi menurut aku, tak ada salahnya kamu membuka diri. Jika kamu terus terpuruk dalam lukamu, maka bagaimana kamu akan bangkit. Toh ... kalian sama-sama singgle. Past record-nya cukup baik, dia pria yang setia!" tekannya membuat mataku membulat. Aku cukup terkejut dengan penjelasan sahabatku itu. Aku tak menyangka pria itu begitu repot-repot menyiapkan semua ini untukku. Aku akui catatan masa lalu Mas Yoga juga sangat baik, ia duda yang ditinggal mati, bertahun-tahun menduda ia juga tak begitu banyak mengenal wanita. Lebih fokus menjalani hidupnya sebagai orang tua tunggal. Tapi tetap saja, tak membuat hatiku bergeming."Ucapkan terima kasih padanya, dariku," ujarku akhirnya. Berusaha sesantai mungkin menghadapi pembahasan ini. Aku mengalihkan pandangan dengan memandang rumput di balik punggungnya. "Hanya terima kasih. Kamu pe
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P