"Benar kok Pak, di sini alamatnya. Coba bapak konfirmasi lagi deh. Dari pada saya bolak-balik lagi. Jauh Pak," dalihku. Aku memasang tampang memelas. "Ya sudah sini sama saya barang itu. Biar saya sampaikan ke atas," Pak tua itu mengulurkan tangannya ingin meraih kotak kado yang aku bawa. "Tidak boleh, Pak. Pesan bos saya harus orang bersangkutan yang ambil," elakku. Kalau ia ambil kadonya dan aku ditinggal sendiri di sisi. Tamat lah aku. Ya Tuhan ... kenapa hati ini, aku merasa satpam-satpam ini menyebalkan. "Tapi Bu ...,""Ya ampun, Pak. Kasihani lah saya Pak. Bapak tega memperumit kerja saya, saya juga punya anak kecil di rumah yang menunggu kepulangan saya, Pak. Sehabis mengantar paket ini, saya mau pulang menemui dia. Lagi pula ... Bapak lihat saja tampang saya, apa ada wajah orang jahat," Jari telunjukku menuding ke arah wajahku sendiri. Memasang tampang memelas. Aku sudah mulai kesal saat ini. Satpam itu pun menatap aku dari bawah ke atas. Akhirnya ia menghela napas dan mem
Ceritakan padaku semuanya, apa yang sebenarnya terjadi saat ini, Ma!" pintaku. Aku masih belum puas jika hanya mendengarnya setengah-setengah. Sedangkan tangisan Mama yang begitu pilu memakna lain di kepalaku. Ayu mengusap pelan punggung Mama. Gurat kepedihan yang mendalam tersirat di wajah manisnya. Ayu yang aku kenal begitu angkuh kini telah hilang seiring berjalannya waktu.Lama tak jumpa membuat dirinya yang begitu manja, kini berganti menjadi wanita mandiri yang anggun. Aku suka kepribadian ini, walau aku yakin ada kisah sedih di balik terbentuknya karakter ini. "Waktu itu aku tak sengaja menabrak mobil yang dikendarai seorang wanita serta anaknya yang berumur dua tahun. Semuanya terjadi begitu cepat. Akibat kecelakaan itu, Ibu dan anak itu meninggal di tempat. Sedangkan aku hanya mengalami cidera di lengan serta kakiku saja," Ayu menjeda ucapannya. Menenangkan gejolak hati, meremas erat ujung gaun yang ada di pahanya. Matanya memandang lurus ke satu objek. Lalu menarik napas
"Setelah tertangkap olehnya. Aku di kurung, diperlakukan kasar dengan segala kebencian yang ia pendam terhadapku. Karena tak tahan, aku memohon dan meminta ampun. Namun pria itu tak mau melepaskanku. Hingga akhirnya kami membuat kesepakatan." "Kesepakatan apa?!" Aku yang tak sabaran terus mendesaknya. Perasaanku tak enak dengan ujung dari cerita Ayu. Mama terus menangis meratapi nasib putri kesayangannya. Aku mengerti, Bahkan sangat mengerti bagaimana perasaannya. Karena aku juga seorang Ibu."Mengandung anaknya sebagai ganti anaknya yang telah meninggal," cicitnya. "Apa kalian menikah?" Ayu menggelengkan kepala. Mataku terbelalak lebar dengan napas yang seakan terhenti sejenak karena pasokan oksigen seakan menghilang. "Apa kamu gila Ayu. Kamu mengandung anak pria itu tanpa status pernikahan. Apa akalmu sudah hilang!" ujarku penuh amarah. Napasku pun ikut naik turun, rahangku mengerat. Ayu menundukkan kepalanya. Tangannya tak henti-henti mengusap pelan perutnya. "Apa lagi yang b
"Topan!" teriak Edward lantang. Lelaki berseragam hitam yang tadi membiarkan aku masuk menghampiri dengan tubuh yang gemetaran.Matanya melirik ke arahku. Kentara sekali rasa penyesalan di mimik wajahnya. Menyesal karena telah membiarkan aku masuk, hingga berdampak nasib sial untuk dirinya."Maafkan saya, Pak!" batinku berbicara lewat tatapan mata. "Aku sudah mengatakan padamu, Topan. Jangan biarkan orang asing masuk ke dalam rumahku!" hardik Edward.Eh ... busyet. Selain ganteng, ternyata pria ini juga sombong. Rumor yang mengatakan bahwa seorang Edward Snowden yang dingin dan tak berperasaan itu memang benar. Nggak kebayang, hidup sebagai Ayu. Betapa tersiksa batinnya menghadapi lelaki arogan ini."Tapi mereka bukan orang asing. Mereka keluargaku," timpal Ayu. Tangannya yang berkeringat mencengkram lenganku erat. "Aku tak peduli mereka keluargamu atau bukan. Bagiku mereka hanya orang asing!" Edwar menatap Ayu tajam. Tangannya terayun ke atas. Jari tengah dan jempol beradu membuat
"Apa kamu sakit, Mas. Oh ... atau jangan-jangan kamu habis jatuh ya, lalu kepalamu terpentok dinding?" sindirku. Terdengar sangat sarkas. "Mas serius Intan. Mas tahu ... Mas salah padamu, dan sekarang aku ingin memperbaikinya!" ucapnya begitu tegas. Namun membuatku ingin tertawa. Aku tertawa terbahak-bahak. Bagai suara kunti yang terkikik di waktu menjelang magrib. Membuat merinding.Aku mengusap sedikit air mata yang timbul di sudut mataku. Tawaku yang begitu nyaring membuat dadaku sesak seakan ingin mati. Aku menarik nafas dan menetralkan tawaku. "Aku acungi jempol keseriusanmu Mas. Keseriusan menghancurkan hatiku. Kamu ingin memperbaikinya? Memperbaiki dengan apa? Apa yang bisa kamu perbaiki, hah! Apa dengan menceraikan Sukma lalu kembali denganku, kamu pikir semuanya akan bisa kembali lagi seperti awal lagi, begitu, iya!" bentakku dipenuhi emosi. Walau intonasi suaraku harus aku tekan sedikit agar perdebatan ini tak terdengar hingga ke tetangga. "Bukan begitu Intan. Sukma han
"Apa sekarang kamu menyesal, Mas? Kita akan tahu seberapa beharga pasangan kita saat kita sudah kehilangan. Seperti apa yang kamu lakukan saat ini. Iya, kan, Mas! Tapi sayang, rasa penyesalan dan kehilanganmu itu sudah terlambat. Hati ini ...," Lanjutku sambil menunjuk dada sebelah kiriku. "Di sini sudah mati, tak ada lagi rasa untukmu. Karena telah kamu hancurkan berkeping-keping dan tak bersisa,""Tak bisakah kamu memberikanku kesempatan ke-dua, Intan? Tuhan saja maha pemaaf, masa kamu tidak?" "Tapi aku bukan Tuhan, Mas! Aku manusia, wanita rapuh yang berpura-pura menjadi kuat. Namun di hati ini, remuk redam, Mas! Bagiku tak ada yang namanya kesempatan ke-dua bagi seorang penghianat. Untuk Apa kesempatan ke-dua jika pada akhirnya kamu akan mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan sampai detik ini saja, kamu tak menyadari kesalahanmu itu apa! Aku tak sanggup mengobati luka!" tekanku. Aku langsung membelokkan badanku, meninggalkan dia untuk masuk ke dalam rumah. Tanganku dengan cepat men
Keputusanku untuk pindah itu sudah bulat. Aku juga sudah mengurus semuanya. Hanya saja kini sedang terhalang, karena Ammar sedang memasuki ujian semester akhir. Jadi aku harus menunggu putraku itu selesai ujian. Itu artinya keputusan pindahku tertunda hingga bulan depan. Hari yang begitu cerah membuatku sayang menyia-byiakan hidupku hanya untuk menangis di kamar. Setelah mengantar Ammar ke sekolah. Aku memilih untuk pergi ke mall. Membeli kebutuhan dapur yang sudah mau habis.Sedangkan Mama, ia sibuk dengan putri kesayangannya. Aku tak dapat menyalahkan dan tak ingin mengganggu juga. Hal yang wajar jika saat ini, dia lebih memihak keseebakh sana. Karena masalah yang dihadapi Ayu, jauh lebih ruwet dan pelik dibandingkan masalahku.Tak terasa sudah sebulan Irene pergi keluar negeri. Aku merindukannya, aku membutuhkan teman cerita. Entah lah ... apa yang ia lakukan di negara orang tersebut. Statusnya yang singgle tanpa adanya seorang anak, membuatnya begitu bebas berkelana dari satu cin
"Tunggu Langit! Apa maksud semua ini?! Lepaskan troly aku. Kamu belanja saja sendiri dengan troly-mu!" protesku sambil menahan troly yang ia pegang. "Sekalian aja, Intan. Biar cepat dan hemat ruang," jawabnya santai. "Nggak! Lepaskan. Pindahkan lagi barang-barangmu, aku mau belanja sendiri!" Aku menarik troly mundur ke belakang, mau memindahkan barangnya ke dalam troly yang ditinggal tadi. Mataku mendelik melihat pria itu menahannya. Terjadilah aksi saling tarik menarik di antara kami. Tanpa aku sadari menjadi tontonan orang banyak. "Masya Allah, Mbak. Suami istri nggak boleh berantem, berbeda pendapat sama suami boleh. Berembuk berdua, mau maju atau mundur?" ujar seorang wanita berjilbab syar'i. Ia menegurku, tentu saja aku tercengang. Siapa yang suami istri? Apa kami tampak sedekat itu?"Bukan Mbak, kami bukan ...,""Terima kasih, istri saya memang suka keras kepala, namun hatinya sangat baik. Harap di maklumi saja," jawabnya memotong ucapanku. Wanita itu pun mengangguk pelan l