"Laras mau beli apa?" tanyaku pada gadis kecil yang ada dalam gandengan tanganku. Kami jalan berdua dengan tangan berayun. Laras berlari-lari kecil dengan riang. Gadis kecil ini memang aktif. Membuat Mas Yoga terkadang kewalahan. Namun akan menurut jika ia merasa nyaman. Dibandingkan semua itu, menurutku gadis kecil ini cerdas. "Aku mau beli cemilan Tante. Kita pergi ke lorong itu, ya!" pintanya. Jari kecil itu menunjuk lorong yang ada di sebelah kiri kami. Lorong panjang yang berisi aneka Snack ringan dan roti dari berbagai merek serta beberapa cemilan home Made.Tangan kecil itu melepas genggamannya di tanganku. Lalu berlari ke deretan rak yang berisi keripik kentang serta keripik yang rasa rumput laut. Seketika dalam hitungan detik, tangannya sudah penuh."Papa!" panggilnya Papa Mas Yoga yang menyusul di belakang. Sedangkan Langit, ia juga ikut menyusul dan berjalan beriringan dengan Mas Yoga. Jangan lupakan wajahnya yang di tekuk bagai kertas kusut."Tidak sayang, jangan sebanyak
"Aku suka udang krispy, cumi Krispy, ayam chentaky dan keripik kentang, siomay, pangsit dan burger!" Gadis kecil ini mulai menjabarkan satu persatu menu makanan yang ia sukai. Dan hampir sebagian yang ia sebut itu adalah jenis makanan junk food. Tak sehat dan tak baik dikonsumsi setiap hari, apalagi untuk anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan. "Kenapa makanan cepat saji semua, sayang?" tanyaku iseng. "Karena masakan Bibi tak enak. Apalagi masakan Papa, gosong dan pahit. Wuekk!" ejek Laras. Kepalaku sedikit menoleh, sudut mataku memandang ke arah Mas Yoga yang terlihat canggung. Langit yang berada di samping Mas Yoga juga turut tertawa mengejek."Om jangan tertawakan Papa aku. Om juga pasti nggak bisa masak kan, seperti Papa aku?" Aku melongo. Setelah menjatuhkan harga pasaran Ayahnya di mataku. Kini gadis kecil ini membela sang Papa dengan berani. "Nggak ... Om nggak ketawa kok, nih lihat!" jawab Langit mengecoh bocah kecil. Padahal sebenarnya bibir itu begetar menahan tawa.
POV. Sukma"Sukma buka pintunya!"Dor! Dor! Dor!Sayup-sayup aku mendengar pintu yang digedor-gedor secara tak sabaran. Aku membuka mata mengumpulkan kesadaranku, baru bangkit dari ranjang ternyamanku. Walau rasanya enggan melepas selimut yang memberi kehangatan di tubuhku. Kamar utama berada di sebelah depan dekat pintu masuk sedangkan kamar Maura dan pengasuhnya berada di tengah, dekat ruang keluarga. Jarak yang cukup jauh membuat mereka berdua kemungkinan tidak akan mendengar."Sukma buka pintunya! Apa telingamu tidak kamu pasang dengan benar! Cepat buka, sialan!" Lagi-lagi suara kasar itu bergema ke telingaku. Seakan menusuk gendang telinga serta menjalar ke dada lalu merobek hati. Aku mengelus dada berulang kali serta menghela napas mendengar suara umpatan dari luar pintu itu. Aku tahu suara siapa itu. Suara Mas Dika–lelaki yang dulu selalu mengumbar janji manis untukku. Namun kini nyatanya, seperti gula yang di masak terlalu lama menjadi hitam serta pahit. Seperti itu pula uca
Aku mengambil bantal kepala serta gulingku yang berada di dekat Mas Dika, lalu selimut baru di dalam lemari pakaian. Lebih baik aku tidur di sofa panjang di sudut ruangan. Untung saja aku membeli sofa panjang ini untuk tempatku bersantai kala senggang. Setidaknya berguna saat seperti ini. Aku tak perlu khawatir kakiku akan menggantung, terkadang di satu sisi ada waktu di mana aku bersyukur memiliki tubuh yang kecil. Malam berganti pagi, udara yang dingin kini mulai menghangat. Sang pengusaha siang muncul malu-malu diiringi kicauan burung gereja. Aku sudah siap, cantik dan wangi di meja makan. Makanan sudah terhidang dengan rapi. Bukan aku yang memasak, tapi si embak yang datang setiap pagi, lalu pulang sore. Ia lah yang bertugas membersihkan semua ruangan di rumah ini serta memasak. Aku tak pernah memasak, aku tak ingin meracuni orang lain dengan makananku yang jauh dari kata layak di konsumsi.Aku menikmati sarapanku dengan santai. Sedangkan Maura di urus oleh Neneng. Wanita itu
Apa dia pikir mencari pekerjaan sekarang mudah, apa! Di luaran sana, Bahkan banyak orang yang rela kerja di restoran cepat saji dengan gaji kecil, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Padahal ijazah yang mereka punya memiliki nilai yang cukup tinggi. Sedangkan kamu. Ya ampun Mas ... kamu benar-benar kebangetan ya jadi orang!Brak!Mas Dika menggebrak meja dengan keras. Membuat aku terperanjat kaget. Matanya menatapku nyalang. Iya tampak begitu marah padaku hingga aku meneguk ludah. Nyaliku ciut melihat amarah di wajahnya. "Apa yang kamu tahu Sukma. Yang ada di pikiranmu itu hanya uang ... uang dan uang saja. Sangat jauh berbeda dari Intan! Jika Intan yang di hadapkan dengan masalah seperti ini. Dia pasti akan mendukungku. Menenangkan aku, tidak seperti kamu!" "Apa katamu, Mas. Intan?! Jangan bilang semua akar dari masalah ini karena Intan. Kamu di pecat dari kantor karena kamu membuat masalah yang berhubungan dengan Intan. Iya kan, Mas?" tekanku.Dadaku kembali meradang, hatiku me
"Lama banget sih. Ngapain aja di dalam?" gerutuku. Tanganku kembali mengetuk pintu dengan kuat. Di ketukan ke-tiga, pintu itu pun baru terbuka. Menampilkan sosok wanita yang aku cari. Wanita yang tinggi, cantik dan putih. Rambut hitam tergerai dengan wajah yang terawat. Aku melirik pakaian yang ia kenakan, begitu bagus dan berkelas. Membuatnya tampak anggun. Hatiku berdesir dengan rasa iri yang berkecamuk di dada.Aku pikir dengan merebut suaminya, hidupku akan enka dan hidupnya yang emnajdi sengsara. Namun kenyataannya, justru aku yang berada di bawah saat ini. Kenapa semuanya terasa tak adil bagiku?!"Kamu? Ada perlu apa kamu mencariku sampai kesini?" ujar Intan heran. Ia menatap kehadiranku tak suka. Aku melirik dirinya dari ujung kaki sampai ke atas. Tubuh tinggi dan body yang kini ramping membuat ia tampak cantik. Pantas saja Mas Dika kini tak dapat melupakannya. "Tak usah pakai basa-basi. Aku kesini cuma mau peringatkan kamu. Jangan ganggu suamiku! Kamu dan Mas Dika itu sudah
POV. AstridSuasana pagi yang begitu menentramkan. Bunyi penggorengan yang berisik, serta aroma masakan yang semerbak menerpa penciuman. Ini suasana pagi yang selalu aku hadapi setiap hari sejak dulu. Jika tak terjadi satu hari saja, terasa ada yang kurang. Kami bertiga di meja makan menikmati sarapan yang aku masak sendiri. Aku lebih suka memasak sendiri makanan untuk makan di rumah, daripada menyerahkan 100% pada pelayan. Apalagi di rumah ini sudah ada Ammar dan Intan. Setidaknya aku tak perlu memakan masakanku seorang diri.Ammar memakan makanannya dengan cepat, ia berpamitan pada kami dan pergi lebih dulu di antara oleh supir. Intan membayar seorang supir untuk mengantar jemput putranya. Mungkin ia tak mau terlalu merepotkan aku yang sudah tua ini. Jika seperti ini aku menyesal dengan segala kesalahan yang pernah aku buat di masa lalu. Banyak hal yang aku lakukan, bisa di bilang aku ikut andil dalam kehancuran pernikahannya itu. Andai aku tahu Dika bukanlah lelaki setia. Aku t
"Kau! Aku sempat berpikir seorang pelakor masih punya harga dibandingkan seorang p3lacvr. Namun aku salah, ternyata mereka sama saja, yang berbeda hanya status! Aku tak peduli dengan suamimu itu. Buktinya aku sudah menghibahkannya padamu lengkap dengan harta yang dimilikinya. Walau ia masih memiliki kewajiban terhadap anakku. Jika pada akhirnya Mas Dika berpaling darimu, jangan salahkan aku. Karena apa? Karena Mas Dika itu sadar semewah apa pun sebuah hotel, itu hanyalah tempat bermalam sementara, bukan rumah!" tangkas Intan tak kalah emosinya. Ikut menyulut emosiku dengan wanita itu.Luka di hati putriku belum sembuh, kini wanita itu datang dengan menambah kepedihan yang baru. Jika dia menginginkan Dika, bukan kah Intan sudah memberikan padanya. Lalu untuk apa lagi dia datang ke sini dan berteriak lantang di hadapan putriku. Hatiku yang geram sudah tak tertahan lagi. Aku berdiri dari dudukku, menghampiri mereka yang masih bertengkar. Saling melontarkan cacian dan hinaan, satu sama l