POV. AstridSuasana pagi yang begitu menentramkan. Bunyi penggorengan yang berisik, serta aroma masakan yang semerbak menerpa penciuman. Ini suasana pagi yang selalu aku hadapi setiap hari sejak dulu. Jika tak terjadi satu hari saja, terasa ada yang kurang. Kami bertiga di meja makan menikmati sarapan yang aku masak sendiri. Aku lebih suka memasak sendiri makanan untuk makan di rumah, daripada menyerahkan 100% pada pelayan. Apalagi di rumah ini sudah ada Ammar dan Intan. Setidaknya aku tak perlu memakan masakanku seorang diri.Ammar memakan makanannya dengan cepat, ia berpamitan pada kami dan pergi lebih dulu di antara oleh supir. Intan membayar seorang supir untuk mengantar jemput putranya. Mungkin ia tak mau terlalu merepotkan aku yang sudah tua ini. Jika seperti ini aku menyesal dengan segala kesalahan yang pernah aku buat di masa lalu. Banyak hal yang aku lakukan, bisa di bilang aku ikut andil dalam kehancuran pernikahannya itu. Andai aku tahu Dika bukanlah lelaki setia. Aku t
"Kau! Aku sempat berpikir seorang pelakor masih punya harga dibandingkan seorang p3lacvr. Namun aku salah, ternyata mereka sama saja, yang berbeda hanya status! Aku tak peduli dengan suamimu itu. Buktinya aku sudah menghibahkannya padamu lengkap dengan harta yang dimilikinya. Walau ia masih memiliki kewajiban terhadap anakku. Jika pada akhirnya Mas Dika berpaling darimu, jangan salahkan aku. Karena apa? Karena Mas Dika itu sadar semewah apa pun sebuah hotel, itu hanyalah tempat bermalam sementara, bukan rumah!" tangkas Intan tak kalah emosinya. Ikut menyulut emosiku dengan wanita itu.Luka di hati putriku belum sembuh, kini wanita itu datang dengan menambah kepedihan yang baru. Jika dia menginginkan Dika, bukan kah Intan sudah memberikan padanya. Lalu untuk apa lagi dia datang ke sini dan berteriak lantang di hadapan putriku. Hatiku yang geram sudah tak tertahan lagi. Aku berdiri dari dudukku, menghampiri mereka yang masih bertengkar. Saling melontarkan cacian dan hinaan, satu sama l
"Aku tak tahu jika Intan adalah anak Mama juga, aku tak tahu," "Jika kamu tahu, kamu akan mencari suami orang lain untuk kamu rusak rumah tangganya. Begitu maksudmu, hah! Sejak awal Mama tak setuju kamu ikut dengan Papamu. Tapi kamu menolak saat Mama ingin menjemputmu. Sekarang lihat dirimu! Lihat apa yang kamu lakukan!" balasku cepat. Aku mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada di hati. "Ma ... aku seperti ini juga karena Mama. Mama tak pernah ada saat aku membutuhkan Mama. Sekarang Mama justru lebih menyayangi dia dari pada aku. Aku ini putri kandungmu. Tak bisakah kamu memaafkan kesalahan kecil yang aku lakukan. Jika dia saja sudah mau melepaskan pria yang sekarang menjadi suamiku," ujarnya."Karena Mama?! Apa kamu ingat, apa perlu Mama ingatkan kembali. Waktu kecil memang Mama akui, Mama membiarkan papamu membawamu karena posisi Mama yang sulit. Namun saat kamu berumur lima belas tahun, Mama datang dan mengajakmu untuk ikut Mama. Tapi apa? Kamu menolak kehadiran Mama dengan menta
"Lalu Mama meminta cerai pada suami Mama dulu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. "Tidak! Karena saat itu nenekmu masih hidup dan dalam kondisi sakit-sakitan setelah kepergian kakekmu. Bagaimana Mama menceritakan kepedihan hati ini?" Intan mengangguk mengerti maksudku. "Terus?" Aku tersenyum getir. "Terus Mama melanjutkan pernikahan itu. Mencoba ikhlas berbagi. Berbagi hati dan suami. Namun ternyata tak mudah seperti yang diucapkan Intan. Mulut bilang ikhlas, tapi hati ini tercabik-cabik setiap madu Mama memperlihatkan kemesraannya pada Mama. Memamerkan apa yang ia dapat dari suami Mama. Kami tinggal berjauhan namun serasa di sebelah rumah. Ia kerap datang setiap lelaki itu datang menemui Mama. Seakan takut Mama mengambil kembali apa yang memang menjadi milik Mama!" "Jika terasa berat, keluarkan saja Ma! Intan akan mendengarkan semuanya," Aku tersenyum di antara kepedihan. Anak yang selama ini aku abaikan karena tidak lahir dari rahimku, justru adalah anak yang menghapus air mat
Rintik gerimis datang tanpa diundang. Membasahi hati yang gersang. Suaranya yang pelan kini mulai nyaring terdengar seiring intensitas air yang jatuh kian deras. Seketika udara dingin menerpa kulitku, membawa wangi tanah basah ke dalam Indra penciuman. Daun dan ilalang menari riang merasakan air segar yang membasahi setiap bagian lukuk tubuh mereka. Seakan menari-nari menyambut kehadirannya yang telah lama membuat dahaga. Aku yang duduk di pinggir ranjang kini beranjak menuju jendela. Berdiri diam menikmati udara dingin seraya menatap indahnya bunga yang menantang sang langit. Seakan mengucapkan terima kasih.Matahari belum naik sepenuhnya sampai ke singgasana, namun sudah diusir balik oleh awan hitam yang beriringan seperti ketua genk yang berkuasa mengusir sang pemilik siang. Langit seolah ikut bersedih dengan nasib yang kami alami. Seharian hujan menerpa tiada henti. Aku yang bosan menunggu memilih untuk pergi menjemput putraku Ammar. Rencana kepindahanku sudah di atur begitu rap
"Nggak Intan. Mas nggak bisa! Mas nggak bisa jika kamu pergi dari Mas. Beri Mas Kesempatan lagi. Satu kali saja! Mas janji, Mas janji tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama!" Mas Dika kembali membujuk. Namun sayang hatiku sudah karam. Tak mampu lagi untuk berlayar bersamanya. " Aku memafkanmu, tapi untuk berlayar lagi serta membangun rumah tangga denganmu. Aku tak mampu. Kadang kita tak pernah tau nilai suatu momen sampai ia jadi kenangan! Dan kamu telah menghancurkan semua kenangan itu," Kini aku sedikit menepis tangan Mas Dika. Lalu membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalamnya.Kuhidupkan mesin mobil dan membawa mobil ini berjalan meninggalkan ia yang berdiri seorang diri. Menatap kepergianku di bawah hujan yang mengguyuri payungnya. "Ma ... apa Mama tak bisa memaafkan Papa? Apa memafkan itu begitu sulit?" ujar putraku ragu-ragu di tengah perjalanan kami. Aku menoleh sekilas ke arah putraku. Senyum tipisku tersunging di bibir untuknya.Aku lupa jika putraku bukanlah p
Mataku memindai setiap saung, satu demi satu. Hingga tak sengaja mataku bertemu pada mata seorang pria yang sangat aku kenal. Ia sedang duduk berdua dengan temannya. Senyum tipisnya terukir menyapaku. Aku hanya diam dan mengalihkan pandangan. Di antara banyak tempat, kenapa kami harus bertemu di tempat ini? Seketika aku merutuki kebodohanku. Tentu saja saja kami akan bertemu di sini. Bukannya ini adalah tempat favorit kami saat masih pacaran dulu. Tempat yang paling aku sukai. "Apa kabar Intan?" sapanya padaku membuatku terkejut. Baru sebentar mengalihkan pandangan, pria ini sudah berada di hadapanku saja seperti hantu. Tanpa izin dariku dia langsung naik dan duduk di hadapanku. Bola mataku melebar. "Kabar baik. Kenapa kamu di sini?" "Kenapa? Apa tak boleh?" tanyanya balik dengan wajah sok polos. "Tentu! Kamu tadi bersama temanmu jadi duduklah dengannya. Lagi pula tak enak di lihat orang," jelasku. Namun pria di hadapanku ini seolah tak peduli. Dari dulu langit memang begitu, ia
Aku menendang nendang ban belakangku keras. Bagaimana bisa banku bocor begini. Padahal tadi masih baik-baik saja. "Kenapa Intan? Apa ada masalah?" Aku menoleh dan menatap Langit sangar. Wajah polos tak berdosanya membuatku bertambah kesal. "Nggak usah sok tak tahu deh ... ini pasti ulah kamu, kan? Iseng banget jadi orang!" tuduhku. Langit melebarkan matanya seakan kaget mendengar ucapanku. "Jangan su'udzon sama orang. Bagaimana aku melakukannya, sedangkan aku saja makan sama kamu tadi. Memang bannya ban kamu kempes. Apa kempes saat kamu datang kesini? Kamu aja yang nggak merasa," dalihnya. Dia pikir aku baru belajar naik mobil apa. Sampa-sampai ban mobil oleng nggak kerasa. Aku mengambil ponselku yang ada di saku celana. Merapatkan jaket yang aku kenakan. Angin malam yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Aku menekan kombinasi angka yang di berikan Mas Yoga padaku waktu itu. Nomor seorang montir yang dapat membantuku. "Kamu menelpon siapa?" tanya Langit penuh selidik. "Su