Apa dia pikir mencari pekerjaan sekarang mudah, apa! Di luaran sana, Bahkan banyak orang yang rela kerja di restoran cepat saji dengan gaji kecil, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Padahal ijazah yang mereka punya memiliki nilai yang cukup tinggi. Sedangkan kamu. Ya ampun Mas ... kamu benar-benar kebangetan ya jadi orang!Brak!Mas Dika menggebrak meja dengan keras. Membuat aku terperanjat kaget. Matanya menatapku nyalang. Iya tampak begitu marah padaku hingga aku meneguk ludah. Nyaliku ciut melihat amarah di wajahnya. "Apa yang kamu tahu Sukma. Yang ada di pikiranmu itu hanya uang ... uang dan uang saja. Sangat jauh berbeda dari Intan! Jika Intan yang di hadapkan dengan masalah seperti ini. Dia pasti akan mendukungku. Menenangkan aku, tidak seperti kamu!" "Apa katamu, Mas. Intan?! Jangan bilang semua akar dari masalah ini karena Intan. Kamu di pecat dari kantor karena kamu membuat masalah yang berhubungan dengan Intan. Iya kan, Mas?" tekanku.Dadaku kembali meradang, hatiku me
"Lama banget sih. Ngapain aja di dalam?" gerutuku. Tanganku kembali mengetuk pintu dengan kuat. Di ketukan ke-tiga, pintu itu pun baru terbuka. Menampilkan sosok wanita yang aku cari. Wanita yang tinggi, cantik dan putih. Rambut hitam tergerai dengan wajah yang terawat. Aku melirik pakaian yang ia kenakan, begitu bagus dan berkelas. Membuatnya tampak anggun. Hatiku berdesir dengan rasa iri yang berkecamuk di dada.Aku pikir dengan merebut suaminya, hidupku akan enka dan hidupnya yang emnajdi sengsara. Namun kenyataannya, justru aku yang berada di bawah saat ini. Kenapa semuanya terasa tak adil bagiku?!"Kamu? Ada perlu apa kamu mencariku sampai kesini?" ujar Intan heran. Ia menatap kehadiranku tak suka. Aku melirik dirinya dari ujung kaki sampai ke atas. Tubuh tinggi dan body yang kini ramping membuat ia tampak cantik. Pantas saja Mas Dika kini tak dapat melupakannya. "Tak usah pakai basa-basi. Aku kesini cuma mau peringatkan kamu. Jangan ganggu suamiku! Kamu dan Mas Dika itu sudah
POV. AstridSuasana pagi yang begitu menentramkan. Bunyi penggorengan yang berisik, serta aroma masakan yang semerbak menerpa penciuman. Ini suasana pagi yang selalu aku hadapi setiap hari sejak dulu. Jika tak terjadi satu hari saja, terasa ada yang kurang. Kami bertiga di meja makan menikmati sarapan yang aku masak sendiri. Aku lebih suka memasak sendiri makanan untuk makan di rumah, daripada menyerahkan 100% pada pelayan. Apalagi di rumah ini sudah ada Ammar dan Intan. Setidaknya aku tak perlu memakan masakanku seorang diri.Ammar memakan makanannya dengan cepat, ia berpamitan pada kami dan pergi lebih dulu di antara oleh supir. Intan membayar seorang supir untuk mengantar jemput putranya. Mungkin ia tak mau terlalu merepotkan aku yang sudah tua ini. Jika seperti ini aku menyesal dengan segala kesalahan yang pernah aku buat di masa lalu. Banyak hal yang aku lakukan, bisa di bilang aku ikut andil dalam kehancuran pernikahannya itu. Andai aku tahu Dika bukanlah lelaki setia. Aku t
"Kau! Aku sempat berpikir seorang pelakor masih punya harga dibandingkan seorang p3lacvr. Namun aku salah, ternyata mereka sama saja, yang berbeda hanya status! Aku tak peduli dengan suamimu itu. Buktinya aku sudah menghibahkannya padamu lengkap dengan harta yang dimilikinya. Walau ia masih memiliki kewajiban terhadap anakku. Jika pada akhirnya Mas Dika berpaling darimu, jangan salahkan aku. Karena apa? Karena Mas Dika itu sadar semewah apa pun sebuah hotel, itu hanyalah tempat bermalam sementara, bukan rumah!" tangkas Intan tak kalah emosinya. Ikut menyulut emosiku dengan wanita itu.Luka di hati putriku belum sembuh, kini wanita itu datang dengan menambah kepedihan yang baru. Jika dia menginginkan Dika, bukan kah Intan sudah memberikan padanya. Lalu untuk apa lagi dia datang ke sini dan berteriak lantang di hadapan putriku. Hatiku yang geram sudah tak tertahan lagi. Aku berdiri dari dudukku, menghampiri mereka yang masih bertengkar. Saling melontarkan cacian dan hinaan, satu sama l
"Aku tak tahu jika Intan adalah anak Mama juga, aku tak tahu," "Jika kamu tahu, kamu akan mencari suami orang lain untuk kamu rusak rumah tangganya. Begitu maksudmu, hah! Sejak awal Mama tak setuju kamu ikut dengan Papamu. Tapi kamu menolak saat Mama ingin menjemputmu. Sekarang lihat dirimu! Lihat apa yang kamu lakukan!" balasku cepat. Aku mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada di hati. "Ma ... aku seperti ini juga karena Mama. Mama tak pernah ada saat aku membutuhkan Mama. Sekarang Mama justru lebih menyayangi dia dari pada aku. Aku ini putri kandungmu. Tak bisakah kamu memaafkan kesalahan kecil yang aku lakukan. Jika dia saja sudah mau melepaskan pria yang sekarang menjadi suamiku," ujarnya."Karena Mama?! Apa kamu ingat, apa perlu Mama ingatkan kembali. Waktu kecil memang Mama akui, Mama membiarkan papamu membawamu karena posisi Mama yang sulit. Namun saat kamu berumur lima belas tahun, Mama datang dan mengajakmu untuk ikut Mama. Tapi apa? Kamu menolak kehadiran Mama dengan menta
"Lalu Mama meminta cerai pada suami Mama dulu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. "Tidak! Karena saat itu nenekmu masih hidup dan dalam kondisi sakit-sakitan setelah kepergian kakekmu. Bagaimana Mama menceritakan kepedihan hati ini?" Intan mengangguk mengerti maksudku. "Terus?" Aku tersenyum getir. "Terus Mama melanjutkan pernikahan itu. Mencoba ikhlas berbagi. Berbagi hati dan suami. Namun ternyata tak mudah seperti yang diucapkan Intan. Mulut bilang ikhlas, tapi hati ini tercabik-cabik setiap madu Mama memperlihatkan kemesraannya pada Mama. Memamerkan apa yang ia dapat dari suami Mama. Kami tinggal berjauhan namun serasa di sebelah rumah. Ia kerap datang setiap lelaki itu datang menemui Mama. Seakan takut Mama mengambil kembali apa yang memang menjadi milik Mama!" "Jika terasa berat, keluarkan saja Ma! Intan akan mendengarkan semuanya," Aku tersenyum di antara kepedihan. Anak yang selama ini aku abaikan karena tidak lahir dari rahimku, justru adalah anak yang menghapus air mat
Rintik gerimis datang tanpa diundang. Membasahi hati yang gersang. Suaranya yang pelan kini mulai nyaring terdengar seiring intensitas air yang jatuh kian deras. Seketika udara dingin menerpa kulitku, membawa wangi tanah basah ke dalam Indra penciuman. Daun dan ilalang menari riang merasakan air segar yang membasahi setiap bagian lukuk tubuh mereka. Seakan menari-nari menyambut kehadirannya yang telah lama membuat dahaga. Aku yang duduk di pinggir ranjang kini beranjak menuju jendela. Berdiri diam menikmati udara dingin seraya menatap indahnya bunga yang menantang sang langit. Seakan mengucapkan terima kasih.Matahari belum naik sepenuhnya sampai ke singgasana, namun sudah diusir balik oleh awan hitam yang beriringan seperti ketua genk yang berkuasa mengusir sang pemilik siang. Langit seolah ikut bersedih dengan nasib yang kami alami. Seharian hujan menerpa tiada henti. Aku yang bosan menunggu memilih untuk pergi menjemput putraku Ammar. Rencana kepindahanku sudah di atur begitu rap
"Nggak Intan. Mas nggak bisa! Mas nggak bisa jika kamu pergi dari Mas. Beri Mas Kesempatan lagi. Satu kali saja! Mas janji, Mas janji tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama!" Mas Dika kembali membujuk. Namun sayang hatiku sudah karam. Tak mampu lagi untuk berlayar bersamanya. " Aku memafkanmu, tapi untuk berlayar lagi serta membangun rumah tangga denganmu. Aku tak mampu. Kadang kita tak pernah tau nilai suatu momen sampai ia jadi kenangan! Dan kamu telah menghancurkan semua kenangan itu," Kini aku sedikit menepis tangan Mas Dika. Lalu membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalamnya.Kuhidupkan mesin mobil dan membawa mobil ini berjalan meninggalkan ia yang berdiri seorang diri. Menatap kepergianku di bawah hujan yang mengguyuri payungnya. "Ma ... apa Mama tak bisa memaafkan Papa? Apa memafkan itu begitu sulit?" ujar putraku ragu-ragu di tengah perjalanan kami. Aku menoleh sekilas ke arah putraku. Senyum tipisku tersunging di bibir untuknya.Aku lupa jika putraku bukanlah p