Beranda / Romansa / Simpanan! / 86. Kenyataan tak seindah khayalan.

Share

86. Kenyataan tak seindah khayalan.

Penulis: Desti Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-20 09:09:14

Aku mengambil bantal kepala serta gulingku yang berada di dekat Mas Dika, lalu selimut baru di dalam lemari pakaian. Lebih baik aku tidur di sofa panjang di sudut ruangan.

Untung saja aku membeli sofa panjang ini untuk tempatku bersantai kala senggang. Setidaknya berguna saat seperti ini. Aku tak perlu khawatir kakiku akan menggantung, terkadang di satu sisi ada waktu di mana aku bersyukur memiliki tubuh yang kecil.

Malam berganti pagi, udara yang dingin kini mulai menghangat. Sang pengusaha siang muncul malu-malu diiringi kicauan burung gereja.

Aku sudah siap, cantik dan wangi di meja makan. Makanan sudah terhidang dengan rapi. Bukan aku yang memasak, tapi si embak yang datang setiap pagi, lalu pulang sore. Ia lah yang bertugas membersihkan semua ruangan di rumah ini serta memasak.

Aku tak pernah memasak, aku tak ingin meracuni orang lain dengan makananku yang jauh dari kata layak di konsumsi.

Aku menikmati sarapanku dengan santai. Sedangkan Maura di urus oleh Neneng. Wanita itu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Simpanan!   87. Sukma melabrak Intan.

    Apa dia pikir mencari pekerjaan sekarang mudah, apa! Di luaran sana, Bahkan banyak orang yang rela kerja di restoran cepat saji dengan gaji kecil, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Padahal ijazah yang mereka punya memiliki nilai yang cukup tinggi. Sedangkan kamu. Ya ampun Mas ... kamu benar-benar kebangetan ya jadi orang!Brak!Mas Dika menggebrak meja dengan keras. Membuat aku terperanjat kaget. Matanya menatapku nyalang. Iya tampak begitu marah padaku hingga aku meneguk ludah. Nyaliku ciut melihat amarah di wajahnya. "Apa yang kamu tahu Sukma. Yang ada di pikiranmu itu hanya uang ... uang dan uang saja. Sangat jauh berbeda dari Intan! Jika Intan yang di hadapkan dengan masalah seperti ini. Dia pasti akan mendukungku. Menenangkan aku, tidak seperti kamu!" "Apa katamu, Mas. Intan?! Jangan bilang semua akar dari masalah ini karena Intan. Kamu di pecat dari kantor karena kamu membuat masalah yang berhubungan dengan Intan. Iya kan, Mas?" tekanku.Dadaku kembali meradang, hatiku me

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-20
  • Simpanan!   88. Pelakor memang lebih ganas.

    "Lama banget sih. Ngapain aja di dalam?" gerutuku. Tanganku kembali mengetuk pintu dengan kuat. Di ketukan ke-tiga, pintu itu pun baru terbuka. Menampilkan sosok wanita yang aku cari. Wanita yang tinggi, cantik dan putih. Rambut hitam tergerai dengan wajah yang terawat. Aku melirik pakaian yang ia kenakan, begitu bagus dan berkelas. Membuatnya tampak anggun. Hatiku berdesir dengan rasa iri yang berkecamuk di dada.Aku pikir dengan merebut suaminya, hidupku akan enka dan hidupnya yang emnajdi sengsara. Namun kenyataannya, justru aku yang berada di bawah saat ini. Kenapa semuanya terasa tak adil bagiku?!"Kamu? Ada perlu apa kamu mencariku sampai kesini?" ujar Intan heran. Ia menatap kehadiranku tak suka. Aku melirik dirinya dari ujung kaki sampai ke atas. Tubuh tinggi dan body yang kini ramping membuat ia tampak cantik. Pantas saja Mas Dika kini tak dapat melupakannya. "Tak usah pakai basa-basi. Aku kesini cuma mau peringatkan kamu. Jangan ganggu suamiku! Kamu dan Mas Dika itu sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-20
  • Simpanan!   89. Astrid yang berada di kubu Intan.

    POV. AstridSuasana pagi yang begitu menentramkan. Bunyi penggorengan yang berisik, serta aroma masakan yang semerbak menerpa penciuman. Ini suasana pagi yang selalu aku hadapi setiap hari sejak dulu. Jika tak terjadi satu hari saja, terasa ada yang kurang. Kami bertiga di meja makan menikmati sarapan yang aku masak sendiri. Aku lebih suka memasak sendiri makanan untuk makan di rumah, daripada menyerahkan 100% pada pelayan. Apalagi di rumah ini sudah ada Ammar dan Intan. Setidaknya aku tak perlu memakan masakanku seorang diri.Ammar memakan makanannya dengan cepat, ia berpamitan pada kami dan pergi lebih dulu di antara oleh supir. Intan membayar seorang supir untuk mengantar jemput putranya. Mungkin ia tak mau terlalu merepotkan aku yang sudah tua ini. Jika seperti ini aku menyesal dengan segala kesalahan yang pernah aku buat di masa lalu. Banyak hal yang aku lakukan, bisa di bilang aku ikut andil dalam kehancuran pernikahannya itu. Andai aku tahu Dika bukanlah lelaki setia. Aku t

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • Simpanan!   90. Penyesalan di hati astrid.

    "Kau! Aku sempat berpikir seorang pelakor masih punya harga dibandingkan seorang p3lacvr. Namun aku salah, ternyata mereka sama saja, yang berbeda hanya status! Aku tak peduli dengan suamimu itu. Buktinya aku sudah menghibahkannya padamu lengkap dengan harta yang dimilikinya. Walau ia masih memiliki kewajiban terhadap anakku. Jika pada akhirnya Mas Dika berpaling darimu, jangan salahkan aku. Karena apa? Karena Mas Dika itu sadar semewah apa pun sebuah hotel, itu hanyalah tempat bermalam sementara, bukan rumah!" tangkas Intan tak kalah emosinya. Ikut menyulut emosiku dengan wanita itu.Luka di hati putriku belum sembuh, kini wanita itu datang dengan menambah kepedihan yang baru. Jika dia menginginkan Dika, bukan kah Intan sudah memberikan padanya. Lalu untuk apa lagi dia datang ke sini dan berteriak lantang di hadapan putriku. Hatiku yang geram sudah tak tertahan lagi. Aku berdiri dari dudukku, menghampiri mereka yang masih bertengkar. Saling melontarkan cacian dan hinaan, satu sama l

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Simpanan!   91. Menceritakan kisah lama.

    "Aku tak tahu jika Intan adalah anak Mama juga, aku tak tahu," "Jika kamu tahu, kamu akan mencari suami orang lain untuk kamu rusak rumah tangganya. Begitu maksudmu, hah! Sejak awal Mama tak setuju kamu ikut dengan Papamu. Tapi kamu menolak saat Mama ingin menjemputmu. Sekarang lihat dirimu! Lihat apa yang kamu lakukan!" balasku cepat. Aku mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada di hati. "Ma ... aku seperti ini juga karena Mama. Mama tak pernah ada saat aku membutuhkan Mama. Sekarang Mama justru lebih menyayangi dia dari pada aku. Aku ini putri kandungmu. Tak bisakah kamu memaafkan kesalahan kecil yang aku lakukan. Jika dia saja sudah mau melepaskan pria yang sekarang menjadi suamiku," ujarnya."Karena Mama?! Apa kamu ingat, apa perlu Mama ingatkan kembali. Waktu kecil memang Mama akui, Mama membiarkan papamu membawamu karena posisi Mama yang sulit. Namun saat kamu berumur lima belas tahun, Mama datang dan mengajakmu untuk ikut Mama. Tapi apa? Kamu menolak kehadiran Mama dengan menta

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-24
  • Simpanan!   92. Wanita tegar dan kuat.

    "Lalu Mama meminta cerai pada suami Mama dulu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. "Tidak! Karena saat itu nenekmu masih hidup dan dalam kondisi sakit-sakitan setelah kepergian kakekmu. Bagaimana Mama menceritakan kepedihan hati ini?" Intan mengangguk mengerti maksudku. "Terus?" Aku tersenyum getir. "Terus Mama melanjutkan pernikahan itu. Mencoba ikhlas berbagi. Berbagi hati dan suami. Namun ternyata tak mudah seperti yang diucapkan Intan. Mulut bilang ikhlas, tapi hati ini tercabik-cabik setiap madu Mama memperlihatkan kemesraannya pada Mama. Memamerkan apa yang ia dapat dari suami Mama. Kami tinggal berjauhan namun serasa di sebelah rumah. Ia kerap datang setiap lelaki itu datang menemui Mama. Seakan takut Mama mengambil kembali apa yang memang menjadi milik Mama!" "Jika terasa berat, keluarkan saja Ma! Intan akan mendengarkan semuanya," Aku tersenyum di antara kepedihan. Anak yang selama ini aku abaikan karena tidak lahir dari rahimku, justru adalah anak yang menghapus air mat

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Simpanan!   93. Hati yang gamang

    Rintik gerimis datang tanpa diundang. Membasahi hati yang gersang. Suaranya yang pelan kini mulai nyaring terdengar seiring intensitas air yang jatuh kian deras. Seketika udara dingin menerpa kulitku, membawa wangi tanah basah ke dalam Indra penciuman. Daun dan ilalang menari riang merasakan air segar yang membasahi setiap bagian lukuk tubuh mereka. Seakan menari-nari menyambut kehadirannya yang telah lama membuat dahaga. Aku yang duduk di pinggir ranjang kini beranjak menuju jendela. Berdiri diam menikmati udara dingin seraya menatap indahnya bunga yang menantang sang langit. Seakan mengucapkan terima kasih.Matahari belum naik sepenuhnya sampai ke singgasana, namun sudah diusir balik oleh awan hitam yang beriringan seperti ketua genk yang berkuasa mengusir sang pemilik siang. Langit seolah ikut bersedih dengan nasib yang kami alami. Seharian hujan menerpa tiada henti. Aku yang bosan menunggu memilih untuk pergi menjemput putraku Ammar. Rencana kepindahanku sudah di atur begitu rap

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-18
  • Simpanan!   94. Penolakan Intan.

    "Nggak Intan. Mas nggak bisa! Mas nggak bisa jika kamu pergi dari Mas. Beri Mas Kesempatan lagi. Satu kali saja! Mas janji, Mas janji tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama!" Mas Dika kembali membujuk. Namun sayang hatiku sudah karam. Tak mampu lagi untuk berlayar bersamanya. " Aku memafkanmu, tapi untuk berlayar lagi serta membangun rumah tangga denganmu. Aku tak mampu. Kadang kita tak pernah tau nilai suatu momen sampai ia jadi kenangan! Dan kamu telah menghancurkan semua kenangan itu," Kini aku sedikit menepis tangan Mas Dika. Lalu membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalamnya.Kuhidupkan mesin mobil dan membawa mobil ini berjalan meninggalkan ia yang berdiri seorang diri. Menatap kepergianku di bawah hujan yang mengguyuri payungnya. "Ma ... apa Mama tak bisa memaafkan Papa? Apa memafkan itu begitu sulit?" ujar putraku ragu-ragu di tengah perjalanan kami. Aku menoleh sekilas ke arah putraku. Senyum tipisku tersunging di bibir untuknya.Aku lupa jika putraku bukanlah p

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-23

Bab terbaru

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

  • Simpanan!   115. Penyesalan yang Terlambat.

    Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak

  • Simpanan!   114. Tertikam dari Belakang.

    "Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe

  • Simpanan!   113. Tabir Masa Lalu.

    Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P

DMCA.com Protection Status