POV. Sukma"Sukma buka pintunya!"Dor! Dor! Dor!Sayup-sayup aku mendengar pintu yang digedor-gedor secara tak sabaran. Aku membuka mata mengumpulkan kesadaranku, baru bangkit dari ranjang ternyamanku. Walau rasanya enggan melepas selimut yang memberi kehangatan di tubuhku. Kamar utama berada di sebelah depan dekat pintu masuk sedangkan kamar Maura dan pengasuhnya berada di tengah, dekat ruang keluarga. Jarak yang cukup jauh membuat mereka berdua kemungkinan tidak akan mendengar."Sukma buka pintunya! Apa telingamu tidak kamu pasang dengan benar! Cepat buka, sialan!" Lagi-lagi suara kasar itu bergema ke telingaku. Seakan menusuk gendang telinga serta menjalar ke dada lalu merobek hati. Aku mengelus dada berulang kali serta menghela napas mendengar suara umpatan dari luar pintu itu. Aku tahu suara siapa itu. Suara Mas Dika–lelaki yang dulu selalu mengumbar janji manis untukku. Namun kini nyatanya, seperti gula yang di masak terlalu lama menjadi hitam serta pahit. Seperti itu pula uca
Aku mengambil bantal kepala serta gulingku yang berada di dekat Mas Dika, lalu selimut baru di dalam lemari pakaian. Lebih baik aku tidur di sofa panjang di sudut ruangan. Untung saja aku membeli sofa panjang ini untuk tempatku bersantai kala senggang. Setidaknya berguna saat seperti ini. Aku tak perlu khawatir kakiku akan menggantung, terkadang di satu sisi ada waktu di mana aku bersyukur memiliki tubuh yang kecil. Malam berganti pagi, udara yang dingin kini mulai menghangat. Sang pengusaha siang muncul malu-malu diiringi kicauan burung gereja. Aku sudah siap, cantik dan wangi di meja makan. Makanan sudah terhidang dengan rapi. Bukan aku yang memasak, tapi si embak yang datang setiap pagi, lalu pulang sore. Ia lah yang bertugas membersihkan semua ruangan di rumah ini serta memasak. Aku tak pernah memasak, aku tak ingin meracuni orang lain dengan makananku yang jauh dari kata layak di konsumsi.Aku menikmati sarapanku dengan santai. Sedangkan Maura di urus oleh Neneng. Wanita itu
Apa dia pikir mencari pekerjaan sekarang mudah, apa! Di luaran sana, Bahkan banyak orang yang rela kerja di restoran cepat saji dengan gaji kecil, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Padahal ijazah yang mereka punya memiliki nilai yang cukup tinggi. Sedangkan kamu. Ya ampun Mas ... kamu benar-benar kebangetan ya jadi orang!Brak!Mas Dika menggebrak meja dengan keras. Membuat aku terperanjat kaget. Matanya menatapku nyalang. Iya tampak begitu marah padaku hingga aku meneguk ludah. Nyaliku ciut melihat amarah di wajahnya. "Apa yang kamu tahu Sukma. Yang ada di pikiranmu itu hanya uang ... uang dan uang saja. Sangat jauh berbeda dari Intan! Jika Intan yang di hadapkan dengan masalah seperti ini. Dia pasti akan mendukungku. Menenangkan aku, tidak seperti kamu!" "Apa katamu, Mas. Intan?! Jangan bilang semua akar dari masalah ini karena Intan. Kamu di pecat dari kantor karena kamu membuat masalah yang berhubungan dengan Intan. Iya kan, Mas?" tekanku.Dadaku kembali meradang, hatiku me
"Lama banget sih. Ngapain aja di dalam?" gerutuku. Tanganku kembali mengetuk pintu dengan kuat. Di ketukan ke-tiga, pintu itu pun baru terbuka. Menampilkan sosok wanita yang aku cari. Wanita yang tinggi, cantik dan putih. Rambut hitam tergerai dengan wajah yang terawat. Aku melirik pakaian yang ia kenakan, begitu bagus dan berkelas. Membuatnya tampak anggun. Hatiku berdesir dengan rasa iri yang berkecamuk di dada.Aku pikir dengan merebut suaminya, hidupku akan enka dan hidupnya yang emnajdi sengsara. Namun kenyataannya, justru aku yang berada di bawah saat ini. Kenapa semuanya terasa tak adil bagiku?!"Kamu? Ada perlu apa kamu mencariku sampai kesini?" ujar Intan heran. Ia menatap kehadiranku tak suka. Aku melirik dirinya dari ujung kaki sampai ke atas. Tubuh tinggi dan body yang kini ramping membuat ia tampak cantik. Pantas saja Mas Dika kini tak dapat melupakannya. "Tak usah pakai basa-basi. Aku kesini cuma mau peringatkan kamu. Jangan ganggu suamiku! Kamu dan Mas Dika itu sudah
POV. AstridSuasana pagi yang begitu menentramkan. Bunyi penggorengan yang berisik, serta aroma masakan yang semerbak menerpa penciuman. Ini suasana pagi yang selalu aku hadapi setiap hari sejak dulu. Jika tak terjadi satu hari saja, terasa ada yang kurang. Kami bertiga di meja makan menikmati sarapan yang aku masak sendiri. Aku lebih suka memasak sendiri makanan untuk makan di rumah, daripada menyerahkan 100% pada pelayan. Apalagi di rumah ini sudah ada Ammar dan Intan. Setidaknya aku tak perlu memakan masakanku seorang diri.Ammar memakan makanannya dengan cepat, ia berpamitan pada kami dan pergi lebih dulu di antara oleh supir. Intan membayar seorang supir untuk mengantar jemput putranya. Mungkin ia tak mau terlalu merepotkan aku yang sudah tua ini. Jika seperti ini aku menyesal dengan segala kesalahan yang pernah aku buat di masa lalu. Banyak hal yang aku lakukan, bisa di bilang aku ikut andil dalam kehancuran pernikahannya itu. Andai aku tahu Dika bukanlah lelaki setia. Aku t
"Kau! Aku sempat berpikir seorang pelakor masih punya harga dibandingkan seorang p3lacvr. Namun aku salah, ternyata mereka sama saja, yang berbeda hanya status! Aku tak peduli dengan suamimu itu. Buktinya aku sudah menghibahkannya padamu lengkap dengan harta yang dimilikinya. Walau ia masih memiliki kewajiban terhadap anakku. Jika pada akhirnya Mas Dika berpaling darimu, jangan salahkan aku. Karena apa? Karena Mas Dika itu sadar semewah apa pun sebuah hotel, itu hanyalah tempat bermalam sementara, bukan rumah!" tangkas Intan tak kalah emosinya. Ikut menyulut emosiku dengan wanita itu.Luka di hati putriku belum sembuh, kini wanita itu datang dengan menambah kepedihan yang baru. Jika dia menginginkan Dika, bukan kah Intan sudah memberikan padanya. Lalu untuk apa lagi dia datang ke sini dan berteriak lantang di hadapan putriku. Hatiku yang geram sudah tak tertahan lagi. Aku berdiri dari dudukku, menghampiri mereka yang masih bertengkar. Saling melontarkan cacian dan hinaan, satu sama l
"Aku tak tahu jika Intan adalah anak Mama juga, aku tak tahu," "Jika kamu tahu, kamu akan mencari suami orang lain untuk kamu rusak rumah tangganya. Begitu maksudmu, hah! Sejak awal Mama tak setuju kamu ikut dengan Papamu. Tapi kamu menolak saat Mama ingin menjemputmu. Sekarang lihat dirimu! Lihat apa yang kamu lakukan!" balasku cepat. Aku mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada di hati. "Ma ... aku seperti ini juga karena Mama. Mama tak pernah ada saat aku membutuhkan Mama. Sekarang Mama justru lebih menyayangi dia dari pada aku. Aku ini putri kandungmu. Tak bisakah kamu memaafkan kesalahan kecil yang aku lakukan. Jika dia saja sudah mau melepaskan pria yang sekarang menjadi suamiku," ujarnya."Karena Mama?! Apa kamu ingat, apa perlu Mama ingatkan kembali. Waktu kecil memang Mama akui, Mama membiarkan papamu membawamu karena posisi Mama yang sulit. Namun saat kamu berumur lima belas tahun, Mama datang dan mengajakmu untuk ikut Mama. Tapi apa? Kamu menolak kehadiran Mama dengan menta
"Lalu Mama meminta cerai pada suami Mama dulu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. "Tidak! Karena saat itu nenekmu masih hidup dan dalam kondisi sakit-sakitan setelah kepergian kakekmu. Bagaimana Mama menceritakan kepedihan hati ini?" Intan mengangguk mengerti maksudku. "Terus?" Aku tersenyum getir. "Terus Mama melanjutkan pernikahan itu. Mencoba ikhlas berbagi. Berbagi hati dan suami. Namun ternyata tak mudah seperti yang diucapkan Intan. Mulut bilang ikhlas, tapi hati ini tercabik-cabik setiap madu Mama memperlihatkan kemesraannya pada Mama. Memamerkan apa yang ia dapat dari suami Mama. Kami tinggal berjauhan namun serasa di sebelah rumah. Ia kerap datang setiap lelaki itu datang menemui Mama. Seakan takut Mama mengambil kembali apa yang memang menjadi milik Mama!" "Jika terasa berat, keluarkan saja Ma! Intan akan mendengarkan semuanya," Aku tersenyum di antara kepedihan. Anak yang selama ini aku abaikan karena tidak lahir dari rahimku, justru adalah anak yang menghapus air mat