"Apa sekarang kamu menyesal, Mas? Kita akan tahu seberapa beharga pasangan kita saat kita sudah kehilangan. Seperti apa yang kamu lakukan saat ini. Iya, kan, Mas! Tapi sayang, rasa penyesalan dan kehilanganmu itu sudah terlambat. Hati ini ...," Lanjutku sambil menunjuk dada sebelah kiriku. "Di sini sudah mati, tak ada lagi rasa untukmu. Karena telah kamu hancurkan berkeping-keping dan tak bersisa,""Tak bisakah kamu memberikanku kesempatan ke-dua, Intan? Tuhan saja maha pemaaf, masa kamu tidak?" "Tapi aku bukan Tuhan, Mas! Aku manusia, wanita rapuh yang berpura-pura menjadi kuat. Namun di hati ini, remuk redam, Mas! Bagiku tak ada yang namanya kesempatan ke-dua bagi seorang penghianat. Untuk Apa kesempatan ke-dua jika pada akhirnya kamu akan mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan sampai detik ini saja, kamu tak menyadari kesalahanmu itu apa! Aku tak sanggup mengobati luka!" tekanku. Aku langsung membelokkan badanku, meninggalkan dia untuk masuk ke dalam rumah. Tanganku dengan cepat men
Keputusanku untuk pindah itu sudah bulat. Aku juga sudah mengurus semuanya. Hanya saja kini sedang terhalang, karena Ammar sedang memasuki ujian semester akhir. Jadi aku harus menunggu putraku itu selesai ujian. Itu artinya keputusan pindahku tertunda hingga bulan depan. Hari yang begitu cerah membuatku sayang menyia-byiakan hidupku hanya untuk menangis di kamar. Setelah mengantar Ammar ke sekolah. Aku memilih untuk pergi ke mall. Membeli kebutuhan dapur yang sudah mau habis.Sedangkan Mama, ia sibuk dengan putri kesayangannya. Aku tak dapat menyalahkan dan tak ingin mengganggu juga. Hal yang wajar jika saat ini, dia lebih memihak keseebakh sana. Karena masalah yang dihadapi Ayu, jauh lebih ruwet dan pelik dibandingkan masalahku.Tak terasa sudah sebulan Irene pergi keluar negeri. Aku merindukannya, aku membutuhkan teman cerita. Entah lah ... apa yang ia lakukan di negara orang tersebut. Statusnya yang singgle tanpa adanya seorang anak, membuatnya begitu bebas berkelana dari satu cin
"Tunggu Langit! Apa maksud semua ini?! Lepaskan troly aku. Kamu belanja saja sendiri dengan troly-mu!" protesku sambil menahan troly yang ia pegang. "Sekalian aja, Intan. Biar cepat dan hemat ruang," jawabnya santai. "Nggak! Lepaskan. Pindahkan lagi barang-barangmu, aku mau belanja sendiri!" Aku menarik troly mundur ke belakang, mau memindahkan barangnya ke dalam troly yang ditinggal tadi. Mataku mendelik melihat pria itu menahannya. Terjadilah aksi saling tarik menarik di antara kami. Tanpa aku sadari menjadi tontonan orang banyak. "Masya Allah, Mbak. Suami istri nggak boleh berantem, berbeda pendapat sama suami boleh. Berembuk berdua, mau maju atau mundur?" ujar seorang wanita berjilbab syar'i. Ia menegurku, tentu saja aku tercengang. Siapa yang suami istri? Apa kami tampak sedekat itu?"Bukan Mbak, kami bukan ...,""Terima kasih, istri saya memang suka keras kepala, namun hatinya sangat baik. Harap di maklumi saja," jawabnya memotong ucapanku. Wanita itu pun mengangguk pelan l
"Laras mau beli apa?" tanyaku pada gadis kecil yang ada dalam gandengan tanganku. Kami jalan berdua dengan tangan berayun. Laras berlari-lari kecil dengan riang. Gadis kecil ini memang aktif. Membuat Mas Yoga terkadang kewalahan. Namun akan menurut jika ia merasa nyaman. Dibandingkan semua itu, menurutku gadis kecil ini cerdas. "Aku mau beli cemilan Tante. Kita pergi ke lorong itu, ya!" pintanya. Jari kecil itu menunjuk lorong yang ada di sebelah kiri kami. Lorong panjang yang berisi aneka Snack ringan dan roti dari berbagai merek serta beberapa cemilan home Made.Tangan kecil itu melepas genggamannya di tanganku. Lalu berlari ke deretan rak yang berisi keripik kentang serta keripik yang rasa rumput laut. Seketika dalam hitungan detik, tangannya sudah penuh."Papa!" panggilnya Papa Mas Yoga yang menyusul di belakang. Sedangkan Langit, ia juga ikut menyusul dan berjalan beriringan dengan Mas Yoga. Jangan lupakan wajahnya yang di tekuk bagai kertas kusut."Tidak sayang, jangan sebanyak
"Aku suka udang krispy, cumi Krispy, ayam chentaky dan keripik kentang, siomay, pangsit dan burger!" Gadis kecil ini mulai menjabarkan satu persatu menu makanan yang ia sukai. Dan hampir sebagian yang ia sebut itu adalah jenis makanan junk food. Tak sehat dan tak baik dikonsumsi setiap hari, apalagi untuk anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan. "Kenapa makanan cepat saji semua, sayang?" tanyaku iseng. "Karena masakan Bibi tak enak. Apalagi masakan Papa, gosong dan pahit. Wuekk!" ejek Laras. Kepalaku sedikit menoleh, sudut mataku memandang ke arah Mas Yoga yang terlihat canggung. Langit yang berada di samping Mas Yoga juga turut tertawa mengejek."Om jangan tertawakan Papa aku. Om juga pasti nggak bisa masak kan, seperti Papa aku?" Aku melongo. Setelah menjatuhkan harga pasaran Ayahnya di mataku. Kini gadis kecil ini membela sang Papa dengan berani. "Nggak ... Om nggak ketawa kok, nih lihat!" jawab Langit mengecoh bocah kecil. Padahal sebenarnya bibir itu begetar menahan tawa.
POV. Sukma"Sukma buka pintunya!"Dor! Dor! Dor!Sayup-sayup aku mendengar pintu yang digedor-gedor secara tak sabaran. Aku membuka mata mengumpulkan kesadaranku, baru bangkit dari ranjang ternyamanku. Walau rasanya enggan melepas selimut yang memberi kehangatan di tubuhku. Kamar utama berada di sebelah depan dekat pintu masuk sedangkan kamar Maura dan pengasuhnya berada di tengah, dekat ruang keluarga. Jarak yang cukup jauh membuat mereka berdua kemungkinan tidak akan mendengar."Sukma buka pintunya! Apa telingamu tidak kamu pasang dengan benar! Cepat buka, sialan!" Lagi-lagi suara kasar itu bergema ke telingaku. Seakan menusuk gendang telinga serta menjalar ke dada lalu merobek hati. Aku mengelus dada berulang kali serta menghela napas mendengar suara umpatan dari luar pintu itu. Aku tahu suara siapa itu. Suara Mas Dika–lelaki yang dulu selalu mengumbar janji manis untukku. Namun kini nyatanya, seperti gula yang di masak terlalu lama menjadi hitam serta pahit. Seperti itu pula uca
Aku mengambil bantal kepala serta gulingku yang berada di dekat Mas Dika, lalu selimut baru di dalam lemari pakaian. Lebih baik aku tidur di sofa panjang di sudut ruangan. Untung saja aku membeli sofa panjang ini untuk tempatku bersantai kala senggang. Setidaknya berguna saat seperti ini. Aku tak perlu khawatir kakiku akan menggantung, terkadang di satu sisi ada waktu di mana aku bersyukur memiliki tubuh yang kecil. Malam berganti pagi, udara yang dingin kini mulai menghangat. Sang pengusaha siang muncul malu-malu diiringi kicauan burung gereja. Aku sudah siap, cantik dan wangi di meja makan. Makanan sudah terhidang dengan rapi. Bukan aku yang memasak, tapi si embak yang datang setiap pagi, lalu pulang sore. Ia lah yang bertugas membersihkan semua ruangan di rumah ini serta memasak. Aku tak pernah memasak, aku tak ingin meracuni orang lain dengan makananku yang jauh dari kata layak di konsumsi.Aku menikmati sarapanku dengan santai. Sedangkan Maura di urus oleh Neneng. Wanita itu
Apa dia pikir mencari pekerjaan sekarang mudah, apa! Di luaran sana, Bahkan banyak orang yang rela kerja di restoran cepat saji dengan gaji kecil, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Padahal ijazah yang mereka punya memiliki nilai yang cukup tinggi. Sedangkan kamu. Ya ampun Mas ... kamu benar-benar kebangetan ya jadi orang!Brak!Mas Dika menggebrak meja dengan keras. Membuat aku terperanjat kaget. Matanya menatapku nyalang. Iya tampak begitu marah padaku hingga aku meneguk ludah. Nyaliku ciut melihat amarah di wajahnya. "Apa yang kamu tahu Sukma. Yang ada di pikiranmu itu hanya uang ... uang dan uang saja. Sangat jauh berbeda dari Intan! Jika Intan yang di hadapkan dengan masalah seperti ini. Dia pasti akan mendukungku. Menenangkan aku, tidak seperti kamu!" "Apa katamu, Mas. Intan?! Jangan bilang semua akar dari masalah ini karena Intan. Kamu di pecat dari kantor karena kamu membuat masalah yang berhubungan dengan Intan. Iya kan, Mas?" tekanku.Dadaku kembali meradang, hatiku me
Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu
Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La
Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka
Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d
Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem
Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat
Sudah berkali-kali dan berhari-hari Mama mencoba meminta Maaf padaku. Berkali-kali aku juga diam. Kini keputusanku untuk pindah semakin kuat. Taka ada lagi yang perlu aku pertahankan lagi tinggal disini. Hidupku juga sudah selesai, resmi dengan status janda yang tersemat.Ammar juga kondisinya sudah semakin pulih. Ia juga sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari ini aku bersiap-siap di depan cermin. Memoles sedikit make-up di wajahku yang pucat. Hari ini adalah jadwal control rutin Ammar. Kali ini aku tidak datang ke rumah sakit dimana Ammar operasi kemarin. Tapi pindah ke rumah sakit yang lain. Tentunya rumah sakit yang sama besarnya dan fasilitas yang lengkap tentunya. Setelah dirasa pantas, aku keluar kamar. Membantu Ammar untuk berjalan menuju mobil. Walaupun ia sudah agak mendingan, namun sesekali putraku kerap merasa nyeri di bagian dadanya. Untuk Langit, aku memang tidak dapat menjenguknya. Bukan berarti aku tidak terima kasih atas apa yang ia lakukan pada putrak
"Kalau tidak kenapa, Ma?" Aku keluar dari persembunyianku menatap tajam Mama yang terkejut dan langsung mematikan sambungan telponnya. Kedua tanganku terkepal di kedua sisi tubuhku. "Intan ... sejak kapan kamu berada di situ, sayang?" tanya Mama gugup. Seperti penciri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya. "Cukup lama untuk mendengar semua kebohongan Mama. Jadi benar apa yang dikatakan Bu Dahlia itu. Kenapa Mama lakukan ini padaku, Ma. Kenapa?!" teriakku penuh amarah. "Bukan begitu Intan, Maafkan Mama. Mama khilaf melakukan semua itu. Maafkan Mama, Nak. Kamu tahu sendiri saat itu Papa kamu mengalami krisis keuangan. Uang hasil panen sawit yang biasanya melimpah, tiba-tiba berkurang hampir setengahnya karena harga sawit turun. Sedangkan Mama saat itu tidak tahu kalau Papamu punya kebun lain yang dialihkan atas namamu. Uang yang di berikan Papamu tidak cukup,""Tidak cukup memenuhi keinginan Mama untuk foya-foya!" selaku sinis. "Bukan begitu, Intan. Dika menyukaimu sejak pe
Kuusap kepala Ammar dengan lembut. Menemaninya hingga ia terbuai mimpi. Bocahku ini sangat suka diusap-usap kepalanya. Bahkan ia akan cepat tertidur jika aku perlakukan demikian.Setelah Ammar tidur, aku kembali keluar. Merenggangkan tangan serta badanku yang terasa remuk. Perutku juga lapar tapi aku tak mungkin pergi meninggalkan anakku seorang diri di kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar langsung beradu hidung dengan Mas Yoga."Apa aku mengganggumu. Kamu mau kemana? Mau membeli makanan?" tebaknya tepat. Setidaknya aku bisa meminta bantuannya untuk menjaga Ammar. "Iya Mas, aku lapar. Bisa minta tolong nggak, Mas? Tolong jagain Ammar sebentar," pintaku. "Untuk apa keluar ... ini aku bawakan makanan untukmu," Mas Yoga mengangkat plastik putih yang ia bawa ke dapan wajahku. Bau wangi dari bungkusan itu menggoda indra penciumanku. Membuat cacing di perutku semakin berdendang. Kata orang, jika rezeki tak akan lari walau hujan menerpa. Seperti itu juga lah rezekiku hari ini. P